Site icon Borneo Review

Bidai Kalbar, Lebih dari Sekadar Tikar Rotan

Bidai Kalbar

perajin saat menganyam rotan guna membuat bidai Kalbar (ig@bidaitijar)

PONTIANAK, borneoreview.co – Bidai Kalbar artinya tikar rotan dari Kalimantan Barat. Dia adalah warisan leluhur yang patut lestari.

Artinya, bidai Kalbar bukan sekadar produk kerajinan, namun juga simbol filosofi, identitas, dan kearifan lokal masyarakat Dayak.

Anyaman bidai Kalbar menggunakan bahan alam hingga membuatnya kuat atau tahan lama, sekalipun sering terkena air dan panas matahari.

Melansir berbagai sumber, Senin (15/9/2025), secara umum, bidai Kalbar digunakan sebagai alas duduk, alas tidur, dan perlengkapan rumah tangga sehari-hari.

Pada masa lalu, bidai juga banyak digunakan untuk menjemur hasil panen.

Dalam konteks sosial dan adat, bidai juga berfungsi penting. Misalnya dalam upacara naik dango, musyawarah adat, maupun pertemuan lintas suku, bidai menjadi simbol pemersatu.

Tikar ini digelar sebagai tempat duduk bersama, menciptakan ruang yang setara bagi semua peserta, tanpa memandang status atau latar belakang.

Bidai Kalbar juga digunakan dalam ritual penyambutan tamu, sebagai bentuk penghormatan dan penerimaan.

Berikut cara membuat bidai Kalbar:

1. Bahan dan Peralatan
Bahan dan peralatan yang dibutuhkan di antaranya rotan, bisa berjenis saga, lahoa, bulu mata, dan bulu padi.

Lalu, kulit kayu tarap (pantongan) yang diambil dari bagian dalam pohon tarap.

Pun beberapa peralatan seperti parang, pisau kecil, palu kayu, penjepit, meteran, dan kayu pengukur.

2. Pengolahan Rotan
Pengambilan rotan dilakukan dengan cara memotong sekitar 15 cm dari akar.

Ini dilakukan agar tanaman tetap dapat tumbuh kembali, sebagai praktik yang berkelanjutan.

Rotan yang terkumpul lalu direndam selama satu minggu untuk melenturkannya.

Proses ini dilanjutkan dengan pengikisan kulit luar, pembelahan menjadi bilah kecil selebar sekitar 0,5 cm, penjemuran, dan perautan agar permukaannya halus dan siap dianyam.

3. Pengolahan Kulit Kayu Tarap
Kulit kayu tarap, atau pantongan, diambil dari bagian dalam pohon tarap yang memiliki tekstur lentur dan kuat.

Setelah dipisahkan dari lapisan luar, kulit kayu dipukul menggunakan palu kayu agar menjadi lebih fleksibel dan menyerupai lembaran kain kasar.

Selanjutnya, kulit tersebut dikeringkan, dilipat, dan dibelah menjadi helai-helai selebar sekitar 2 cm.

Helai kulit kayu ini berfungsi sebagai dasar anyaman dan pengikat antar bilah rotan dalam struktur tikar bidai.

4. Penganyaman
Menganyam secara manual dengan teknik satu langkah, di mana bilah rotan disusupkan di antara galah-galah (lusi) yang telah dijepit dan ditahan agar tidak bergeser.

Rotan dianyam dari arah kiri ke kanan, diselingi dengan helai kulit kayu untuk membentuk motif geometris yang khas.

Proses ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran tinggi. Setiap helai harus diposisikan dengan presisi agar menghasilkan pola yang rapi dan simetris.

Motif yang dihasilkan biasanya berupa garis lurus, kotak-kotak, atau pola horizontal, tergantung kreativitas pengrajin.

5. Finishing
Setelah dianyam, lanjut pada tahap finishing untuk memperkuat dan memperindah hasil akhir.

Teknik ‘nepo’ digunakan untuk menambahkan helai kulit kayu di bagian depan dan belakang tikar.

Kemudian, proses ‘ngalape’ dilakukan dengan menganyam kulit kayu di antara bilah rotan agar struktur lebih kokoh dan tidak mudah lepas.

Terakhir, tahap ‘ngalalitn’ mengikat seluruh anyaman menggunakan tali dari kulit kayu, memastikan kekuatan dan kerapian produk.

Tikar kemudian dibalik, bagian yang tidak terpakai dipotong, dan hasil akhir diperiksa sebelum digunakan atau dijual.***

Exit mobile version