JAKARTA, borneoreview.co – Tumpukan buku beragam warna berjejer di lemari-lemari dalam ruangan di pojok SD Negeri 003 Sukajadi Dumai, Riau.
Sebagian besar sampul plastik buku itu mulai terbuka dengan lembaran kertas lusuh. Beberapa buku bahkan robek di ujungnya.
Kondisi itu adalah jejak yang ditinggalkan murid-murid dengan tangan-tangan kecil mereka.
Membaca lembar demi lembar, menyerap informasi dan melatih literasi.
Salah satu siswa yang ikut menyebabkan kondisi itu adalah Caca, siswi kelas V di SDN 003 Sukajadi.
Sama seperti siswa lain di sekolah itu, Caca diwajibkan untuk pergi ke perpustakaan mungil itu minimal satu hari dalam sepekan bersama anak-anak lain di kelasnya.
Setelahnya mereka diminta menulis rangkuman atau menceritakan ulang apa yang mereka baca pada hari itu.
Buku favorit Caca adalah yang bergambar dan menuturkan cerita rakyat. Hampir setiap pekan dia berganti memilih kisah dan dongeng dari berbagai daerah di Indonesia.
Anggota pasukan pengibar bendera itu mengaku lebih suka membaca buku, dibandingkan bermain gawai, seperti kebanyakan teman sebayanya.
Terlalu lama melihat layar gawai dapat membuatnya kepalanya pusing.
Tidak hanya di ruang perpustakaan, Caca selalu menyempatkan diri membuka buku yang ada di pojok kelas saat istirahat.
Yang ditempatkan di setiap kelas karena keterbatasan ruang di perpustakaan.
Dampaknya mungkin perlahan dan tak terlihat, tapi bagi yang berbicara langsung dengannya, akan melihat kelancarannya berbicara dalam Bahasa Indonesia.
Yang tertata, sesekali diselingi dengan kosa kata khas Melayu.
Hal serupa juga dapat terlihat dari sosok Jihan, siswi kelas V SD Negeri 003 Pangkalan Sesai yang juga berada di Dumai.
Setiap Rabu, dia dan teman sekelasnya diwajibkan pergi ke perpustakaan untuk membaca, yang kemudian harus dituturkan ulang atau ditulis ringkasannya ketika mereka kembali ke kelas.
Sama seperti anak-anak seumurannya, Jihan senang memilih buku bergambar. Buku terakhir yang dia baca adalah yang bercerita soal beragam fenomena cuaca di dunia.
Meski mengaku lebih sering menonton video daring dibandingkan membaca ketika berada di rumah.
Dia menyebut perpustakaan masih menjadi salah satu tempat favoritnya ketika berada di sekolah, karena memiliki banyak buku yang bisa dia baca.
Ketertarikan Caca dan Jihan untuk membaca bukanlah sesuatu yang terjadi secara instan.
Tapi merupakan hasil dari proses panjang yang dilakukan oleh guru dan staf pengajar di masing-masing sekolah.
Kepala Sekolah SD Negeri 003 Pangkalan Sesai, Yusnidar, menyampaikan bahwa bantuan bahan bacaan dari berbagai pihak, adalah salah satu aspek penting dari upaya peningkatan literasi siswa.
Keberadaan buku bacaan itu kemudian didukung oleh guru-guru yang membentuk tim untuk bergerilya di kelas dan di pustaka.
Dimulai dari membentuk pojok baca dengan pajangan yang menarik tidak hanya di ruang kelas tapi juga di kantin, termasuk dengan menampilkan buku-buku dengan gambar untuk mendapatkan perhatian para murid.
Dilakukan pula metode membaca nyaring, yang dimulai dari tingkat kelas II SD.
Dimulai dari bacaan sederhana dan secara perlahan dinaikkan tingkat kesulitannya dalam periode tertentu.
Dengan pengenalan sedini mungkin, maka kegiatan membaca diharapkan tidak hanya dapat membantu siswa mengenali struktur kalimat tapi juga membantu tingkat pengayaan dan pemahaman mereka.
Peningkatan Literasi
Kecintaan terhadap membaca dan peningkatan literasi itu sendiri sangat diapresiasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
Buku-buku yang dinikmati oleh Caca, Jihan, dan siswa lain di dua sekolah itu merupakan bagian dari 1.600 eksemplar buku.
Yang diserahkan sebagai bantuan oleh Badan Bahasa Kemendikdasmen kepada kedua sekolah tersebut pada 2022.
Bantuan itu sendiri diberikan kepada wilayah yang masuk dalam kategori tertinggal, terdepan dan terluar atau 3T, serta daerah dengan tingkat literasi rendah.
Kepala Badan Bahasa Hafidz Muksin menyebut bahwa berbagai langkah terus dilakukan untuk meningkatkan tingkat literasi di Indonesia, termasuk di tingkat sekolah dasar dan menengah yang menjadi fokus Kemendikdasmen.
Urgensi itu bukan tanpa sebab. Skor Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2022 memperlihatkan sejumlah tantangan dalam sektor pendidikan.
Hasil PISA 2022 memperlihatkan bahwa dalam kategori pengetahuan matematika, Indonesia mendapatkan 366 poin dan 383 poin untuk sains. Nilai paling rendah untuk Indonesia adalah dalam kategori membaca dengan skor 359 poin.
Meski hasil tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi pandemi COVID-19 yang membuat belajar mengajar dilakukan daring, namun di saat bersamaan, ketertarikan membaca masyarakat Indonesia juga masih rendah.
Data UNESCO memperlihatkan bahwa indeks minat membaca Indonesia berada di kisaran 0,001 persen atau hanya 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca.
Literasi sendiri bukan hanya soal bisa membaca sebuah kalimat dan menghafal kosa kata, tapi juga pemahaman.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti sempat menyoroti bahwa 75 persen dari anak usia 15 tahun di Indonesia bisa membaca, tapi mereka tidak dapat memahami apa yang mereka baca.
Kemampuan membaca anak-anak dalam kategori tersebut berada di bawah standar PISA level 2, di mana mereka menghadapi kesulitan memahami gagasan utama dari sebuah bacaan yang panjang.
Tidak hanya itu, Badan Bahasa juga mencatat bahwa tantangan lain muncul, seiring dengan penggunaan gawai yang semakin populer oleh anak-anak.
Tidak dipungkiri bahwa berbagai aplikasi yang kini dapat dengan mudah diakses oleh para siswa, juga berdampak kepada ketertarikan membaca buku.
Badan Bahasa, sebagai representasi hadirnya negara, sudah menyiapkan sejumlah langkah untuk meningkatkan literasi melalui sekolah.
Mulai dari bantuan buku bacaan berkualitas yang rencananya dalam waktu dekat akan dilakukan kembali pada 2026.
Saat ini, Badan Bahasa sedang fokus menyiapkan buku-buku bacaan yang berkualitas dan menarik.
Dikumpulkan lewat sayembara menulis, penulisan serta penerjemahan buku dari bahasa daerah ke Bahasa Indonesia.
Hal itu merupakan perwujudan upaya untuk terus menyediakan buku bacaan berkualitas yang dapat menarik perhatian siswa-siswi di tingkat sekolah dasar dan menengah.
Kemendikdasmen juga merancang adanya aktivitas rutin yang dilakukan melalui jam kunjung wajib ke perpustakaan, sehingga dapat membantu meningkatkan minat membaca anak-anak.
Didukung dengan keberadaan pojok baca di ruang kelas yang dapat dimanfaatkan siswa, saat waktu istirahat atau jam kosong.
Di saat bersamaan, tidak hanya pemahaman dan penggunaan Bahasa Indonesia yang terus disosialisasikan.
Literasi bahasa daerah juga terus digencarkan, terutama untuk memastikan regenerasi penuturnya.
Terkait hal itu, Kemendikdasmen telah mengusulkan agar ada program bantuan untuk para pelestari bahasa daerah pada 2026.
Hal itu penting dilakukan karena sejumlah bahasa daerah di Indonesia kini berada di kondisi kritis atau bahkan terancam punah.
Menurut data Kemendikdasmen terdapat 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia, lima di antaranya sudah punah karena sudah tidak ada penuturnya lagi.
Diharapkan dengan bantuan kepada pelestari bahasa tersebut dapat membantu memastikan bahasa daerah terus digunakan, terutama oleh generasi muda.
Hal itu sesuai dengan prinsip Trigatra Bangun Bahasa yang diusung pemerintah, yaitu mengutamakan Bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.
Dengan demikian, generasi muda Indonesia ke depan tidak hanya memiliki kemampuan untuk membaca.
Tapi juga meningkatkan kemampuan pengayaan dan pemahaman yang menjadi fondasi kuat untuk pembangunan bangsa ke depan.(Ant)