Bulu Tangkis di Kudus, Bibit Pemain dan Nafas Tak Pernah Padam dari PB Djarum

Bulu Tangkis Kudus

KUDUS, borneoreview.co – Di Kudus, suara raket yang beradu dengan kok, terdengar seperti detak jantung yang bergegas.

Anak-anak usia belasan tahun berlarian mengejar kok, sebagian masih tampak kikuk dan demam panggung. Sebagian lain sudah menyimpan percikan keyakinan, dalam sorot matanya.

Dari tribun, sulit membedakan mana yang kelak akan jadi juara dunia dan mana yang berhenti di tengah jalan.

Namun, ajang bernama Polytron Superliga Junior 2025, justru diciptakan untuk membiarkan waktu, pengalaman, dan mental yang menguji siapa yang bertahan.

Yoppy Rosimin dari PB Djarum tahu persis bahwa, kemenangan teknik hanyalah sebagian dari cerita juara.

Karena itu, ajang Superliga Junior 2025 menambahkan dua kategori kelompok usia baru.

Yakni, U-13 dan U-15 agar sejak dini anak-anak sudah ditempa untuk bermental baja.

Mereka harus belajar menghadapi sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri: tim.

Hanya ada di Kudus dari seluruh penjuru bumi pada 2025 ini, kompetisi beregu yang mempertandingkan pebulutangkis di bawah 15 dan 13 tahun.

Dalam pertandingan beregu, kemenangan pribadi tak menjamin jadi juara bersama-sama. Ada pelajaran yang sulit dipelajari di luar lapangan.

Yaitu, rasa tanggung jawab pada rekan setim, dan kesadaran bahwa ego bukan satu-satunya jalan menuju kemenangan.

Seorang pelatih muda dari tim Champion Kudus Muhammad Revindra menyebut bahwa persoalan utama anak-anak ini justru bukan teknik, melainkan mental.

Di usia 10 sampai 12 tahun, kemampuan memukul kok sering kali sudah mumpuni.

Tapi hati mereka mudah ciut ketika sorak-sorai menekan atau mata rekan setim bergantung pada hasil pertandingan.

Jam terbang, katanya. Itu yang mahal, dan itu yang dicari para pebulutangkis usia dini di sini.

Dan turnamen ini, dengan segala tekanannya, adalah kelas paling nyata yang bisa mereka ikuti.

La Ode Muhammad Ahsan Kamil, murid dari Revindra, bocah 11 tahun yang baru pindah dari Papua ke Kudus setahun belakangan, sangat kecewa dengan dirinya.

“Fisiknya kurang, mau ditingkatin lagi. Mentalnya juga mau ditingkatin lagi, juga tekniknya,” kata Ahsan, seperti mendendam pada dirinya sendiri.

Dia dan timnya kalah telak 3-0 di semifinal.

Fasilitas Istimewa

Di tengah suasana itu, Susy Susanti hadir seperti cermin masa lalu. Ia mengingat bagaimana dulu dirinya tidak punya kesempatan bermain beregu sebanyak anak-anak ini.

Hanya nomor perorangan, hanya mengandalkan diri sendiri. Baru ketika diturunkan di nomor beregu, ia sadar ada dunia berbeda.

Main beregu menuntut kerja sama dan kerendahan hati.

Maka, ketika melihat generasi baru ditempa dalam format beregu sejak usia dini, Susy menyebutnya sebagai “kesempatan luar biasa” yang harus dimaksimalkan.

Kalau sendiri dan menang, hanya egois sama diri sendiri, selesai sudah. Tapi kalau beregu, menang pun belum tentu tim menang.

“Jadi, bagaimana kita belajar untuk selain tidak egois, tapi juga kerja tim. Saling support satu sama lain,” katanya.

Namun, jalan pembinaan bukan tanpa tanda tanya. Presiden Direktur Djarum Foundation Victor Hartono, menyimpan optimisme dari anak-anak ini.

Baginya, kemenangan Indonesia di World Junior Championship 2024 di China adalah bukti regenerasi berjalan.

“Indonesia tidak ada yang tertinggal,” ujarnya.

Optimisme itu seperti obor, menerangi jalan ketika prestasi para pebulutangkis Indonesia sedang redup.

Ia percaya, seperti Brasil di sepak bola, bulu tangkis Indonesia hanya sedang menunggu momen untuk kembali ke puncak.

Tetapi di sisi lain, ada suara kritis dari legenda bulu tangkis Indonesia Liem Swie King.

Sang Raja Smes menatap generasi muda dengan kagum sekaligus cemas.

Kagum, karena teknik anak-anak 15 tahun sekarang jauh melampaui dirinya ketika remaja.

Cemas, karena ia melihat latihan fisik kini tak lagi sekeras zamannya.

“Kalau rubber set, banyak pemain kita habis fisiknya,” ucapnya.

Baginya, tanpa daya tahan, bakat secemerlang apa pun bisa layu sebelum mekar.

King masih ingat betapa ia dulu harus lari 25 kilometer seminggu sekali untuk menempa staminanya. Betapa keringat dan rasa sakit adalah bagian dari disiplin, bukan kutukan.

Ia heran mengapa banyak atlet sekarang justru diam-diam mengurangi porsi latihan. “Pokoknya jangan takut capek, jangan takut menyerah,” katanya.

Bagi King, keuletan dan disiplin bukan sekadar program pelatih, melainkan fondasi hidup seorang atlet.

Superliga Junior 2025 pun menjadi titik temu antara harapan dan keraguan.

Dari satu sisi, atmosfer beregu memberi bekal mental yang mungkin menjadi pembeda generasi.

Dari sisi lain, kritik dari sang legenda tentang disiplin dan daya tahan mengingatkan bahwa pembinaan tak cukup hanya dengan jam terbang.

Tapi ada kerja keras, ada ketekunan, ada pengorbanan.

Di gelanggang olahraga berisi 12 lapangan di Kudus itu, semua pandangan berpadu menjadi sebuah kisah besar tentang bulu tangkis Indonesia.

Anak-anak itu adalah harapan bulutangkis Indonesia di masa depan. Barangkali di antara mereka ada calon juara dunia, peraih emas Olimpiade. Atau, tim yang sama perebut Piala Thomas atau Uber.

Superliga Junior 2025 hanya satu dari banyak perjalanan panjang yang mereka harus hadapi.

Pada setiap kok yang jatuh, setiap poin yang direbut, setiap sorakan yang terdengar, tertulislah babak-babak kecil dari sejarah bulu tangkis Indonesia.

Sebab, pada akhirnya, yang akan bertahan bukan hanya yang paling berbakat, tetapi mereka yang paling kuat hatinya untuk terus melampaui lelahnya latihan dan pahitnya kekalahan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *