SAMPIT, borneoreview.co – Skema pengelolaan perkebunan kelapa sawit oleh PT Agrinas Palma Nusantara di Kalimantan Tengah rawan gagal dan perlu ditinjau ulang.
Dikatakan Pengamat Kebijakan Publik, Muhammad Gumarang, banyak aspek yang berpotensi menimbulkan persoalan baru dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit, mulai dari status hukum lahan hingga kerentanan konflik sosial.
Sebelumnya, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melakukan penyitaan 240 ribu hektare lahan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah yang berstatus kawasan hutan.
Dari jumlah tersebut, sekitar 12.059 hektare eks lahan PT Globalindo Alam Perkasa di Sampit diserahkan kepada PT Agrinas, perusahaan di bawah naungan super holding BUMN, Danantara.
Namun, menurut Gumarang, lahan yang dialihkan tersebut masih berstatus kawasan hutan sehingga tidak memiliki dasar hukum operasional yang jelas.
Sehingga timbul pertanyaan, dasar hukum apa yang mendasari PT Agrinas terhadap perizinan operasionalnya? Ini sangat krusial dan rawan dipersoalkan,” ujar Gumarang kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (6/9/2025).
Selain itu, kata dia, lahan tersebut rawan konflik agraria maupun klaim masyarakat setempat. Menurutnya, potensi gesekan dengan warga sangat besar jika pengelolaan dilakukan tanpa penyelesaian persoalan mendasar.
“Karena kawasan tersebut masih berstatus kawasan hutan maka tetap rawan terjadi klaim lahan oleh masyarakat atau konflik agraria dengan pengelola baru,” tuturnya.
Ia juga menyinggung rekam jejak BUMN yang dinilai kerap bermasalah dalam pengelolaan usaha non perbankan.
Perusahaan di bawah naungan plat merah memiliki rekam jejak yang jelek atau selalu rugi, akibat korupsi dan pemborosan. Selama ini hanya sektor perbankan yang relatif sukses dalam pengelolaan bisnis oriented,” tegasnya.
Gumarang menyoroti keterlibatan pihak luar, yakni Yayasan Pesantren Al Aisyah Bondowoso, Jawa Timur, dan PT PMN asal Jakarta dalam operasional PT Agrinas.
Menurutnya, kebijakan tersebut mencederai⁹ kearifan lokal, terutama di tengah banyaknya masalah agraria dan kewajiban plasma 20 persen yang belum terselesaikan.
Lebih jauh, ia menduga kehadiran PT PMN asal Jakarta hanya merupakan modus untuk melanjutkan keterlibatan pihak lama. Sebab, pengambilalihan bukan hanya mencakup lahan kebun sawit, tetapi juga fasilitas perusahaan seperti pabrik, kantor, dan perumahan.
Kondisi ini, kata dia, menimbulkan kesan hanya sekadar pergantian pemain yang dikemas dengan simbol BUMN.
Gumarang menyarankan PT Agrinas meninjau ulang skema pengelolaan dengan melibatkan perusahaan atau pelaku usaha lokal.***