PONTAIANK, borneoreview.co – Jaman remajaku di kampong halaman pada akhir 1980-an, kawasan di dekat rumahku masih terbilang sepi.
Tak heran, jika beberapa teman sekolahku pun menggelari kawasan rumahku sebagai tempat jin buang anak. Rumah-rumah yang ada masih sangat jarang, jika dibandingkan saat ini.
Kebun rambutan, kebun singkong dan tanah kosong penuh ilalang lebih mendominasi pemanfaatan lahan pada waktu itu. Kebun-kebun yang ada amat jarang disambangi pemiliknya.
Tanah-tanah kebun itu diperlakukan bak tabungan investasi oleh para pemiliknya. Jika pun ada yang rajin, paling mereka datang menjengguk di saat musim buah, untuk memanen buah-buahan yang ada.
Lebih sering pengarit rumput atau teman-teman sebayaku yang menyambangi kebun-kebun itu. Kami biasanya mencari tempat bermain, sembari mencicipi hasil kebun yang ada.
Pada masa itu, pemukim kampong kami diperbolehkan memanfaatkan hasil kebun yang ada dengan cuma-Cuma. Syaratnya, dikonsumsi di tempat dan tidak diperjualbelikan.
Di kebun-kebun rambutan dan tanah kosong berilalang pada masa itu, banyak dijumpai unggas liar. Yakni, burung keroak atau nama latinnya Amaurornis phoenicurus, yang dagingnya enak dikonsumsi.
Bagiku, rasa daging goreng burung ini, enaknya jauh melebihi rasa daging ayam. Burung yang dikenal pula sebagai ruak-ruak atau kreo padi ini, sejatinya termasuk burung air.
Burung ini memiliki kebiasaan bersuara uwok-uwok dan sangat ribut. Tak jarang beberapa burung ini bersuara secara bersamaan.
Aku pernah beberapa kali menemani teman-teman sebaya menangkap buru ini, bermodalkan sejenis suling dan jaring yang dibentangkan.
Perburuan dilakukan di malam hari, biasanya setelah shalat isya hingga tengah malam. Ada seorang temanku yang bertugas memainkan suling khusus, untuk memanggil keroak datang.
Tugasku dan teman lainnya menangkap burung yang menabrak jaring dengan menggunakan serokan, yang biasa dipakai menangkap ikan.
Kejadian yang paling menarik adalah pada perburuan terakhirku, yang dilakukan di saat malam Jumat. Seingatku ada empat orang teman lainnya yang ikut serta dalam operasi perburuan ini.
Temanku yang bertugas meniup suling adalah peniup yang jago, namun penakutnya luar biasa. Kami berlima bermodalkan peralatan lengkap dan sarung sebagai pelindung tubuh dari serangan nyamuk, memasang jaring di sebuah lapangan ilalang tak jauh dari parit.
Kami mengambil posisi masing-masing, kami berempat yang menjadi penangkap berada di dekat bagian depan jaring, sementara si peniup suling berada di tempat terpisah pada bagian belakang jaring.
Perburuan malam itu cukup sukses, setidaknya sudah lebih dari delapan ekor burung yang kami tangkap. Tiba-tiba, temanku yang meniup suling berhenti meniup dan berteriak histeris kuntilanak, sembari berlari meninggalkan arena perburuan.
Mendengar teriakan itu, kami berempat yang ada di dekat jaring pun ikut lari tunggang langgang. Tak ada satu pun dari kami yang peduli dengan hasil tangkapan dan peralatan kami.
Wajar, karena banyak cerita yang kami dapatkan, burung jenis ini sering hadir bersamaan dengan kuntilanak.
Sesampainya di tempat yang agak ramai kami berkumpul dan sepakat untuk pulang ke rumah masingmasing.
Kelima wajah kami pucat pasi, akibat ketakuan dan letih berlari. Kotor dan bilur di badan tak kami pedulikan.
Aku sendiri sehabis mandi, langsung berupaya susah payah menidurkan diri. Keesokan harinya, sepulang sekolah aku menjumpai temantemanku.
Barang-barang yang kami bawa saat berburu sudah lengkap ada. Pun, burung keroak gorengnya sudah tersaji. Rupanya, malam itu kami dikerjai oleh kelompok teman yang lain.
Mereka tahu akan rencana perburuan kami. Saat kami asik berburu, mereka melemparkan kerudung putih ke dekat peniup suling yang penakut.
Paska kami lari ketakukan, sambil tertawa kegirangan, mereka mengumpulkan peralatan dan hasil buruan kami. Karena niatnya hanya mengerjai kami, mereka mengembalikan peralatan dan hasil buruan yang telah digoreng.
Setelah kejadian ini, tak kunjung aku mau diajak lagi berburu. Jera, sembari membayangkan jika betul malam itu benar-benar kuntilanak yang mendatangi kami.
Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)