ACEH, borneoreview.co – Bencana banjir besar menyapu Nangroe Aceh Darussalam. Air cokelat menelan sawah, dapur, gudang pangan, dan jalur distribusi.
Di tengah situasi genting, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) menghadapi ujian berlapis. Stok bahan pangan menipis. Gas lenyap dari peredaran. Air bersih terhenti. Listrik tersendat.
Situasi ini bukan sekadar gangguan teknis. Ini soal perut ribuan warga. Ini soal keberlanjutan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Di ruang dapur sederhana, para pengelola SPPG memilih beradaptasi daripada menyerah.
Kepala Regional SPPG Badan Gizi Nasional Aceh, Mustafa Kamal, mengakui kondisi darurat ini, memaksa perubahan cepat.
“Kami sedang berupaya mengganti menu dengan menu lokal, karena bahan pangan untuk SPPG mengalami kelangkaan,” ujar Mustafa Kamal kepada media.
Keputusan ini bukan langkah spontan. Ini hasil hitung matang. Ini respons atas bencana.
Aceh memiliki kekayaan pangan lokal. Umbi tumbuh di kebun warga. Kacang tersedia di ladang kecil. Tahu tempe diproduksi pengrajin rumahan. Ikan hidup di kolam kampung.
Mustafa Kamal menyebut wilayah Aceh Barat, Bireuen, Pidie masih menyimpan stok pangan lokal memadai. Bahan ini mudah dijangkau. Harga lebih stabil. Distribusi lebih singkat.
“Kami mengusulkan menu berbasis umbi, kacang, tahu, tempe, ikan kolam warga,” kata Mustafa Kamal.
Langkah ini menyelamatkan dapur SPPG. Menu lokal menjaga asupan protein, karbohidrat, lemak sehat.
Nilai gizi tetap terjaga. Rantai pasok lokal bergerak. Petani kecil terbantu. Nelayan kolam memperoleh pasar. Di balik krisis, ekonomi mikro ikut berdenyut.
Asa Energi Darurat
Masalah belum selesai. Gas elpiji langka. Pasokan tersendat. Distribusi terganggu banjir. Waktu pemulihan diperkirakan satu hingga dua bulan.
SPPG tidak menunggu. Koordinasi digelar bersama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh. Alternatif dipilih. Briket batu bara masuk opsi.
“Kami bertemu ESDM Aceh. Mereka menawarkan briket batu bara,” ujar Mustafa Kamal.
Briket bukan solusi ideal. Namun, situasi darurat menuntut pilihan realistis. Briket tersedia lokal. Daya panas stabil. Biaya terjangkau.

Risiko operasional dapat dikendalikan melalui standar keamanan dapur. Bagi SPPG, keberlanjutan layanan lebih utama.
Air bersih berubah menjadi barang langka. Instalasi PDAM rusak. Pipa terendam. Lumpur menyumbat aliran. Produksi makanan terganggu.
SPPG telah berkoordinasi bersama PDAM. Namun, kepastian perbaikan belum ada. Tanpa air bersih, dapur tak mungkin beroperasi optimal.
Masalah ini memukul ritme kerja relawan. Proses cuci bahan, sanitasi alat, kebersihan dapur menjadi tantangan harian. Setiap liter air dihitung. Setiap ember dipakai bergantian.
Masalah belum selesai. Jaringan listrik Aceh ikut tumbang. Gardu terendam. Kabel rusak. Arus hidup mati tanpa pola. Dapur SPPG bergantung pada listrik. Pendingin bahan pangan terganggu. Peralatan masak tak berfungsi maksimal.
Ketidakstabilan listrik memperpanjang waktu produksi. Risiko bahan rusak meningkat. Beban kerja relawan bertambah.
SPPG Berhenti Sejenak
Dampak terberat terjadi di Kabupaten Bireuen. Sebanyak 19 SPPG terpaksa berhenti total. Dapur sunyi. Kompor padam. Rak makanan kosong.
“Penyebab utama kelangkaan bahan baku, gas, air bersih, listrik,” demikian hasil temuan Tim Deputi Pemantauan dan Pengawasan Badan Gizi Nasional.
Tim dipimpin Deputi Tauwas Letjen TNI Purn Dadang Hendrayuda. Peninjauan lapangan berlangsung pada Selasa, 2 Desember 2025. Data dicatat rinci. Kondisi dinilai kritis.
Secara keseluruhan, Bireuen memiliki 26 SPPG aktif. Dua lokasi terdampak langsung sejak awal banjir. Kecamatan Jangka serta Peusangan menjadi titik terparah.
Sekolah diliburkan. Anak didik tinggal di rumah. Program MBG tak dihentikan. Sasaran dialihkan.
Sebanyak 21 SPPG mengalihkan penerima manfaat. Paket makanan diserahkan kepada warga terdampak banjir. Lansia, ibu, anak menjadi prioritas.
Langkah ini memperluas dampak sosial program gizi nasional. MBG menjelma bantuan kemanusiaan.
Data distribusi menunjukkan skala kerja besar. Tanggal 26 November 2025, disalurkan 62.826 paket.
Tanggal 27 November 2025, tersalurkan 30.261 paket. Tanggal 28 November 2025 terdistribusi 37.180 paket. Tanggal 29 November 2025 dikirim 38.668 paket.
“Angka ini mencerminkan dedikasi relawan. Di tengah keterbatasan, dapur tetap mengepul,” ujar Mustafa Kamal.
Ada Kolaborasi Daerah
SPPG tidak bekerja sendiri. Pemerintah Kabupaten Bireuen terlibat langsung. Lima kendaraan operasional dipinjamkan. Distribusi menjangkau wilayah sulit akses.
Pada 2 Desember 2025, tiga mobil distribusi kembali dikerahkan. Bantuan mencapai lokasi terdampak paling parah.

Sinergi lintas lembaga mempercepat respon. Namun, energi relawan memiliki batas. Stok menipis. Infrastruktur belum pulih.
Gabungan persoalan memaksa keputusan pahit. SPPG menghentikan operasional sementara. Dapur ditutup. Produksi dihentikan.
“Untuk sementara, kami baru dapat melanjutkan operasional, hingga hari ini” kata Mustafa Kamal.
Keputusan ini bukan kegagalan. Ini jeda strategis. Menunggu pasokan pulih. Menjaga keselamatan relawan. Menata ulang sistem darurat.
Bencana banjir Aceh membuka pelajaran besar. Ketahanan pangan lokal terbukti krusial.
Energi alternatif perlu disiapkan sejak awal. Infrastruktur dasar, menjadi tulang punggung layanan publik.
SPPG menjadi cermin. Program gizi nasional tak sekadar urusan dapur. Ini soal sistem. Kesiapsiagaan dan kemanusiaan.
Di balik data, terdapat wajah ibu menunggu bantuan. Ada anak memegang kotak makanan. Ada relawan memasak tanpa lelah.
Bencana memaksa pilihan sulit. Namun, kreativitas, solidaritas, keberanian tetap hidup. Aceh bertahan. Dapur rakyat kelak menyala kembali.***
