SAMARINDA, borneoreview.co – Kalimantan Timur, provinsi kaya sumber daya alam, berperan penting dalam industri tambang Indonesia, menyumbang sekitar 60% dari produksi batu bara nasional. Aktivitas pertambangan yang intensif di wilayah ini tidak hanya memberikan kontribusi ekonomi, tetapi juga memicu dampak sosial dan lingkungan yang serius.
Berdasarkan Risalah Kebijakan dari Kelompok A-1, peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II di BPSDM Kalimantan Timur, yang disampaikan oleh Marselinus Jebaru, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada seminar di BPSDM Kaltim 31 Oktober 2024, Kalimantan Timur telah mengalami perubahan besar akibat penambangan yang berlangsung selama beberapa dekade.
Ribuan izin tambang yang diterbitkan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang signifikan, dan dampak negatif ini mayoritas harus ditanggung oleh masyarakat lokal serta pemerintah daerah.
Marselinus menekankan bahwa salah satu dampak yang paling kentara adalah kerusakan lingkungan akibat lubang tambang yang dibiarkan terbengkalai dan terisi air asam.
“Lubang-lubang bekas tambang ini tidak hanya mengganggu keindahan alam, tetapi juga mengancam keselamatan warga, terutama anak-anak yang kerap bermain di sekitar area tersebut,” jelasnya.
Selain itu, kehadiran truk pengangkut batu bara yang menggunakan jalan umum menyebabkan kerusakan jalan dan kerap menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas.
“Kondisi ini menciptakan dilema bagi masyarakat yang meminta penertiban tambang, namun di sisi lain, pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak karena izin dan kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah pusat,” lanjut Marselinus.
Terbatasnya anggaran pemerintah daerah dalam menangani dampak ini semakin memperburuk situasi. Sementara itu, banyak perusahaan tambang yang melanggar aturan lingkungan dan mengabaikan kewajiban reklamasi lahan bekas tambang, menambah beban bagi pemerintah dan masyarakat lokal.
Marselinus juga mengungkapkan adanya perbedaan kebijakan antara pusat yang mendorong industri tambang dan daerah yang berupaya menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat.
“Sampai kapan masyarakat dan pemerintah daerah harus menanggung dampak negatif tambang? Apakah sudah saatnya pemerintah pusat lebih memprioritaskan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah penghasil tambang seperti Kalimantan Timur?” katanya.
Ia menekankan pentingnya peran perusahaan dalam memenuhi tanggung jawab sosial (CSR) serta penerapan regulasi yang lebih ketat untuk mengurangi beban masyarakat.
“Diharapkan adanya kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam pengelolaan tambang di Kalimantan Timur agar generasi mendatang tidak perlu menanggung kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang saat ini,” tutup Marselinus. (Nia)