JAKARTA, borneoreview.co – Perubahan iklim kini semakin nyata dirasakan di Indonesia. Rekor suhu panas dan banjir rob akibat kenaikan muka air laut menjadi pengingat pentingnya aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pemerintah telah mengambil langkah serius sejak meratifikasi Perjanjian Paris pada 2016, dengan inisiatif seperti Program Kampung Iklim yang dimulai sejak 2012.
Selain itu, fokus pemerintah tertuju pada pengurangan emisi gas rumah kaca, terutama dari sektor kehutanan dan energi. Pendanaan menjadi tantangan besar untuk mewujudkan langkah-langkah ini. Pendekatan yang dilakukan mencakup kolaborasi internasional, seperti skema pembayaran berbasis kinerja (Result-Based Payment/RBP) yang telah menghasilkan pendanaan besar. Misalnya, Indonesia menerima 103,8 juta dolar AS dari Green Climate Fund (GCF) atas pengurangan 20,3 juta ton CO2e, serta 100 juta dolar AS dari Norwegia pada akhir 2023.
Pendanaan langsung ke tingkat masyarakat juga menjadi prioritas melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Dana tersebut digunakan untuk program berbasis komunitas seperti sekolah Adiwiyata dan kelompok masyarakat yang mendukung aksi iklim. Selain itu, dana filantropi kini mendukung penelitian terapan di 15 perguruan tinggi di Indonesia.
Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Utusan Khusus Presiden Hashim S. Djojohadikusumo menegaskan fokus Indonesia pada pasar karbon. Sistem Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI) mulai diakui secara internasional, salah satunya melalui kerja sama Mutual Recognition Arrangement (MRA) dengan Jepang.
Dengan total Rp24,96 triliun dikelola BPDLH, inovasi pendanaan ini bertujuan tidak hanya untuk aksi iklim, tetapi juga memberdayakan masyarakat di tingkat tapak. Langkah ini memastikan aksi iklim memiliki dampak langsung bagi masyarakat, sejalan dengan target pembangunan hijau yang inklusif dan berkelanjutan. (Ant)