Site icon Borneo Review

Dampak Tarif Impor 19 Persen dari AS terhadap Industri Sawit Indonesia

PONTIANAK, borneoreview.co – Industri sawit Indonesia kembali menjadi sorotan global setelah Amerika Serikat memberlakukan tarif impor sebesar 19 persen terhadap produk minyak sawit dan turunannya. Kebijakan ini memicu respons beragam dari pelaku industri, pemerintah, hingga analis ekonomi karena berpotensi memengaruhi daya saing ekspor dan stabilitas ekonomi nasional.

Indonesia merupakan produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, dengan pangsa ekspor global mencapai lebih dari 55 persen. Salah satu pasar penting adalah Amerika Serikat, yang selama ini menyerap sekitar 2,25 juta ton produk sawit Indonesia setiap tahunnya.

Meski kontribusi ekspor sawit ke AS tergolong kecil dibanding pasar utama seperti India dan Tiongkok, peran AS tetap strategis karena produk yang diekspor umumnya adalah sawit olahan bernilai tinggi, seperti oleochemical dan produk perawatan pribadi.

Ancaman atau Peluang?

Sebelum kesepakatan tarif 19% ditetapkan, AS sempat mengancam akan memberlakukan tarif hingga 32%. Dengan demikian, tarif saat ini dipandang sebagai “kompromi terbaik” yang menghindarkan Indonesia dari potensi penurunan ekspor yang lebih tajam.

Sementara Malaysia, sebagai pesaing utama Indonesia di sektor sawit, terkena tarif sebesar 25% untuk produk serupa. Hal ini justru memberi keunggulan kompetitif bagi Indonesia, dengan selisih tarif sekitar 6 poin persentase yang bisa dimanfaatkan untuk mempertahankan bahkan memperluas pangsa pasar di AS.

Namun, tetap saja tarif 19% menyebabkan biaya masuk yang cukup tinggi bagi importir AS, yang bisa menurunkan permintaan dan menggeser preferensi ke minyak nabati lain seperti kedelai atau kanola. Pelaku industri di dalam negeri, terutama eksportir skala menengah dan kecil, berpotensi terdampak jika margin keuntungan menipis.

Meski dampak langsung lebih terasa pada eksportir besar, petani sawit pun berpotensi terdampak secara tidak langsung. Penurunan permintaan bisa menurunkan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani, terutama jika stok menumpuk atau ekspor ke AS melambat.

Dari sisi makroekonomi, beberapa analis memperkirakan potensi penurunan ekspor sawit ke AS bisa memengaruhi sekitar 0,3% dari PDB nasional, jika tidak segera diantisipasi dengan diversifikasi pasar.

Sebagai respons, pemerintah dan pelaku industri mendorong diversifikasi pasar ke wilayah seperti Timur Tengah, Afrika, dan negara-negara Asia lainnya. Beberapa negara bahkan menawarkan insentif bagi produk sawit berkelanjutan.

Pemerintah Indonesia juga terus menjalin diplomasi dagang dengan AS untuk menegosiasikan kemungkinan pengecualian tarif bagi produk tertentu seperti crude palm oil (CPO) dan produk sawit bernilai tinggi lainnya.

Meningkatkan ekspor produk sawit olahan—seperti biodiesel, kosmetik, dan bahan kimia industri—menjadi salah satu strategi jangka panjang. Produk hilir ini memiliki nilai tambah lebih tinggi dan lebih tahan terhadap fluktuasi tarif.

Ke depan, pemenuhan standar keberlanjutan dan transparansi rantai pasok akan semakin penting. Ini sejalan dengan kebijakan global seperti EUDR (EU Deforestation Regulation) yang mulai berlaku pada 2026.

Pemberlakuan tarif impor 19% dari AS memang menjadi tantangan baru bagi industri sawit Indonesia. Namun, jika direspons secara strategis, kebijakan ini dapat menjadi momentum untuk:

– Mendorong peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi,
– Memperluas pasar non-tradisional,
– Meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan industri.

Dengan kekuatan produksi yang solid dan dukungan kebijakan yang adaptif, Indonesia tetap memiliki posisi yang kuat sebagai pemain utama di pasar sawit global.***

Exit mobile version