PONTIANAK, Borneoreview.co – Industri kelapa sawit sering menjadi sorotan dunia, terutama karena hubungannya dengan deforestasi. Di satu sisi, sawit adalah tulang punggung ekonomi bagi negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia. Sawit menyumbang miliaran dolar dan jutaan lapangan kerja.
Di sisi lain, ekspansi perkebunan sawit kerap dituding sebagai penyebab hilangnya hutan hujan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati. Namun, seberapa akurat tuduhan ini? Apa fakta di baliknya, mana yang hanya mitos, dan bagaimana solusi nyata dapat diterapkan? Artikel ini akan mengupas tuntas isu tersebut dengan pendekatan berimbang.
Fakta: Sawit dan Hilangnya Hutan

Tidak dapat dipungkiri bahwa ekspansi perkebunan sawit berkontribusi pada deforestasi. Menurut data dari Global Forest Watch, antara tahun 2001 dan 2020, Indonesia kehilangan sekitar 28 juta hektare tutupan pohon, dan sebagian besar terkait dengan konversi lahan untuk pertanian, termasuk sawit.
Hutan hujan tropis, yang menjadi rumah bagi spesies seperti orangutan, harimau Sumatra, dan berbagai flora endemik, sering ditebang untuk membuka lahan baru. Proses ini juga melepaskan karbon yang tersimpan di pohon dan tanah, memperburuk perubahan iklim.
Namun, sawit bukan satu-satunya penyebab. Aktivitas lain seperti pertambangan, pertanian subsisten, dan pembalakan liar juga berperan besar. Studi dari World Resources Institute (WRI) menunjukkan bahwa sawit hanya bertanggung jawab atas sekitar 20-25% deforestasi di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Ini berarti, meskipun sawit memiliki dampak signifikan, narasi bahwa sawit adalah “musuh utama hutan” perlu dikaji ulang.
Fakta lain yang sering terlewat: sawit sangat efisien. Satu hektare kebun sawit menghasilkan 3-4 ton minyak per tahun, jauh lebih banyak dibandingkan minyak nabati lain seperti kedelai (0,4 ton/hektare) atau bunga matahari (0,7 ton/hektare). Jika permintaan minyak nabati dunia dipenuhi oleh alternatif ini, deforestasi justru bisa lebih parah karena dibutuhkan lahan yang jauh lebih luas.
Benarkah Sawit Selalu Merusak?
Ada beberapa mitos yang sering mengelilingi industri sawit. Pertama, anggapan bahwa semua perkebunan sawit dibuka dengan menebang hutan primer. Kenyataannya, banyak perkebunan modern memanfaatkan lahan terdegradasi atau bekas penggunaan lain, seperti pertanian yang ditinggalkan.
Di Indonesia, misalnya, pemerintah telah mendorong penggunaan lahan non-hutan melalui kebijakan moratorium sejak 2011, meskipun implementasinya masih penuh tantangan.
Mitos kedua adalah bahwa sawit tidak bisa berkelanjutan. Padahal, inisiatif seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) telah menetapkan standar untuk meminimalkan dampak lingkungan. Perkebunan bersertifikat RSPO wajib menjaga kawasan bernilai konservasi tinggi (HCV) dan menghindari pembukaan hutan primer.
Meski demikian, hanya sekitar 19% minyak sawit dunia bersertifikat RSPO hingga 2023, menunjukkan bahwa keberlanjutan masih jauh dari ideal.
Terakhir, ada mitos bahwa boikot sawit akan menyelamatkan hutan. Faktanya, mengganti sawit dengan minyak nabati lain bisa memperburuk masalah, seperti disebutkan sebelumnya. Boikot juga berisiko merugikan jutaan petani kecil yang bergantung pada sawit untuk hidup.
Menuju Sawit yang Ramah Lingkungan

Jika sawit tidak bisa dihilangkan dari peta ekonomi dan pangan global, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampaknya pada deforestasi? Berikut beberapa solusi nyata:
-
Peningkatan Produktivitas
Daripada membuka lahan baru, fokus pada peningkatan hasil per hektare. Penelitian varietas sawit unggul dan teknik budidaya modern bisa meningkatkan produksi hingga 6-8 ton/hektare tanpa ekspansi. -
Pemanfaatan Lahan Terdegradasi
Ada jutaan hektare lahan terdegradasi di Asia Tenggara yang bisa direhabilitasi untuk sawit. Ini mengurangi tekanan pada hutan primer dan sekaligus memulihkan ekosistem. -
Penegakan Hukum dan Sertifikasi
Pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap pembukaan lahan ilegal. Sertifikasi seperti RSPO harus diperluas dan didukung insentif ekonomi agar lebih banyak produsen bergabung. -
Transparansi Rantai Pasok
Teknologi seperti blockchain dapat melacak asal-usul minyak sawit, memastikan konsumen hanya membeli produk dari sumber berkelanjutan. -
Edukasi Konsumen dan Petani
Konsumen di negara maju bisa mendorong permintaan sawit berkelanjutan, sementara petani kecil perlu pelatihan untuk mengadopsi praktik ramah lingkungan.
Penutup
Deforestasi dan sawit memang saling terkait, tetapi hubungan ini tidak hitam-putih. Ada fakta yang tak terbantahkan tentang dampak lingkungan, namun juga mitos yang membesar-besarkan peran sawit sebagai penutup cerita.
Solusi nyata ada di tangan kita semua—pemerintah, industri, petani, dan konsumen. Dengan pendekatan yang seimbang, sawit bisa tetap menjadi sumber daya berharga tanpa mengorbankan hutan yang tersisa.
Pertanyaannya bukan “apakah kita harus menghapus sawit?”, melainkan “bagaimana kita membuatnya lebih baik?” Jawabannya ada pada tindakan kolektif yang dimulai hari ini.***