Site icon Borneo Review

Di Balik Rokok Selundupan Kalbar: Saat Barang Bukti Lenyap, Siapa Menangkis?

Rokok Ilegal

Salah satu rokok ilegal merek ERA beredar di Kalimantan Barat. (borneoreview/istimewa)

PONTIANAK, borneoreview.co – Bayangkan ini 40.320 batang rokok—cukup untuk membuat asap mengepul dari setiap sudut Kota Pontianak Kalimantan Barat tiba-tiba menguap.

Bukan karena dibakar, bukan karena dihisap, tapi lenyap begitu saja dari gudang penyimpanan barang bukti Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Barat (Kalbagbar).

Tidak ada suara ledakan. Tak ada jejak kaki. Hanya surat penyidikan bernomor PDP-01/KHUSUS/WBC.14/PPNS/2025 tertanggal 1 Agustus 2025 yang menyisakan tanda tanya besar di tengah heningnya birokrasi.

Jumlahnya jelas, 320 batang rokok merek ERA dan 40.000 batang ORIS. Tapi di lapangan? Entah kemana perginya. Seperti daun kering yang tertiup angin menghilang tanpa jejak, tanpa saksi, tanpa pertanggungjawaban.

Inilah yang membuat PW GNPK RI Kalimantan Barat angkat suara. Bukan sekadar protes. Ini jeritan moral dari rakyat kecil yang lelah melihat hukum jadi panggung sandiwara, tempat bukti bisa “dipotong” seperti sayur di dapur.

Hukum Bisa Disusutkan?

Bicara logika sederhana, barang bukti adalah nyawa dari proses hukum. Tanpa bukti fisik, dakwaan jadi omong kosong. Tanpa rokok itu, siapa yang bisa membuktikan bahwa ada jaringan ilegal yang merugikan negara miliaran rupiah?

Namun, dalam dunia birokrasi kita, nyawa itu ternyata bisa “disusutkan”. Dan ironisnya, penyusutan itu justru terjadi di tangan mereka yang seharusnya menjaga integritas proses hukum.

PW GNPK RI Kalbar tak main-main. Pasal 10 huruf a UU 31/1999 Junto UU 20/2001 menjerit pilu pejabat yang sengaja menghilangkan atau merusak barang bukti terancam 2–7 tahun penjara dan denda Rp100–350 juta.

Bila benar ada penyusutan, itu bukan lagi salah administratif, melainkan luka korupsi yang mencabik nurani.

Korupsi bukan hanya soal uang. Korupsi juga soal kepercayaan. Soal keadilan yang dijual murah di balik pintu tertutup.

Dari Kroco ke Dalang?

Yang paling menyayat hati bukan hanya hilangnya rokok, tapi siapa yang dihukum dan siapa yang dilindungi.

Selama ini, penegakan hukum di sektor cukai sering berhenti di level kroco kurir, sopir truk, atau penjaga gudang.

Mereka jadi tumbal, sementara pemilik modal, agen besar, bahkan aktor intelektual di balik jaringan peredaran rokok ilegal tetap duduk nyaman di balik meja ber-AC itu.

Jangan biarkan hukum dijadikan pedang busuk untuk ambisi segelintir orang. Menegakkan keadilan tak pernah layak ditempuh dengan menginjaknya sendiri itu pengkhianatan yang menyesakkan, luka yang meneteskan air mata bagi siapa pun yang masih percaya pada nurani.

Kalimat itu bukan retorika. Itu jeritan dari rakyat yang tahu, selama sistem membiarkan bukti menguap, selama itu pula keadilan jadi ilusi.

Inilah inti dari kasus yang sesungguhnya bukan soal rokok, tapi soal harga diri bangsa. Saat negara tak mampu menjaga barang bukti sendiri, bagaimana rakyat percaya bahwa negara mampu menjaga hak mereka?

Transparansi atau Teater?

Pertanyaannya kini bukan hanya apa yang hilang, tapi siapa yang membiarkan hilang.

Apakah ini kelalaian? Ataukah bagian dari skenario yang sudah diatur? Jika benar ada unsur kesengajaan, maka ini bukan sekadar kejahatan administratif, ini pengkhianatan terhadap amanah publik.

PW GNPK RI Kalimantan Barat menuntut transparansi total. Bukan sekadar klarifikasi basa-basi.

Tapi audit forensik, pelacakan logistik, hingga pemeriksaan silang terhadap semua pihak yang pernah menyentuh barang bukti itu.

Karena dalam dunia hukum yang sehat, tidak ada ruang untuk “misteri”. Semua harus terukur, tercatat, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Di balik angka-angka statistik dan pasal-pasal hukum, ada wajah-wajah yang tak pernah muncul di layar kaca.

Petani tembakau yang dihimpit cukai tinggi, ibu rumah tangga yang membeli rokok ilegal karena harganya lebih murah, Pegawai Bea Cukai yang jujur tapi tak berdaya melawan sistem.

Dan jutaan warga yang membayar pajak, tapi melihat uangnya menguap bersama rokok yang tak pernah sampai ke pengadilan.

Inilah masalah yang sebenarnya, kisah manusia yang terjepit di antara kebijakan dan praktik korupsi.

Ketika bukti lenyap, yang tersisa hanyalah air mata air mata yang tak pernah masuk dalam laporan tahunan, tapi mengalir deras di hati rakyat.

Keadilan Masih Ada?

Kasus penyusutan rokok di Kalimantan Barat bukan hanya urusan Bea Cukai. Ini cermin dari krisis kepercayaan nasional terhadap institusi penegak hukum. Jika bukti bisa hilang begitu saja, lalu apa yang bisa dipercaya?

PW GNPK RI Kalbar telah melempar batu pertama. Kini giliran aparat hukum menjawab.
Apakah mereka akan mengejar cuma kroco lagi? Atau berani menyusuri rantai hingga ke puncak?

Karena keadilan bukan soal siapa yang paling keras berteriak. Tapi siapa yang paling berani menghadapi kebenaran, meski itu berarti mengguncang kursi empuk di atas sana.

Jika tidak, maka jangan heran bila suatu hari nanti, bukan hanya rokok yang menghilang. Tapi juga kepercayaan rakyat pada negara ini.***

Exit mobile version