PONTIANAK, borneoreview.co – Kondisi kampong halamanku di Kota Pontianak, yang berada di kawasan rawa, dibutuhkan cara cerdas membangun rumah yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Di masa lalu, ketersediaan teknologi masih terbatas, sehingga konstruksi yang dikembangkan dalam membangun rumah, pilihannya harus berkolong tinggi, material yang digunakan juga harus yang ringan.
Jika terlampau berat, tanah aluvial atau tanah gambut yang mendominasi di kampong halaman, tak sanggup menyangga rumah dan fondasinya.
Tanah aluvial yang terbentuk dari endapan halus di aliran sungai, tergolong sebagai tanah muda. Jenis tanah ini memiliki struktur tanah yang pejal dan tergolong liat atau liat berpasir.
Sementara tanah gambut yang terbentuk dari pembusukan anaerob bahan organik, memiliki tingkat kompresibilitas dan kandungan air yang tinggi.
Kedua jenis tanah ini memiliki sifat daya dukung rendah, yang kurang baik sebagai pendukung bangunan-bangunan konstruksi.
Pada bangunan-bangunan lama, penggunaan papan dari spesies lokal. Seperti, kayu meranti, bengkirai, kruing atau belian.
Banyak rumah yang dindingnya terbuat dari plesteran semen. Plesteran semen ini menggunakan perkuatan dari plat atau kawat baja, yang disebut simpai.
Dinding simpai hanya dapat dibangun pada bangunan dengan struktur rangka dari kayu. Kawat atau plat baja yang digunakan sebagai perkuatan, dipasang langsung pada struktur rangka kayu.
Kemudian, dengan bantuan kayu penahan (mal) dari tripleks atau papan sampiran, adukan semen basah ditempelkan secara bertahap untuk mencapai ketebalan yang diinginkan.
Adukan semen ditunggu hingga kering dan menyatu. Setelah dua atau tiga hari kemudian, mal penahan dilepaskan. Selanjutnya, adukan semen basah ditambahkan pada bagian sebelahnya.
Di bangunan SMP Negeri 1 lama yang telah dibongkar, dimana aku pernah bersekolah, aplikasi dinding simpai digunakan.
Ketebalan dinding bangunan bertingkat dua ini mencapai 5 centimeter, dimana lembar-lembar simpai plat baja ditempelkan ke kayu-kayu belian berukuran 20 kali 20 centimeter.
Wajar karena bangunan ini, dibangun pada saat kayu masih berlimpah di akhir 1950-an. Sebagai perbandingan, rumah orang tuaku yang dibangun pada akhir 1980-an.
Kayu-kayu belian yang digunakan hanya berukuran 8 kali 8 centimeter, dan ketebalan dinding simpainya hanya tinggal 3 centimeter.
Saat ini, sudah jarang kutemui pembangunan rumah baru dengan menggunakan dinding simpai. Kesulitan memperoleh kayu salah satu penyebabnya.
Ironis memang, krisis kayu terjadi di salah satu pulau yang pernah dikenal sebagai pulau penghasil kayu terbanyak di negeri ini. Banyak rumah-rumah baru yang kemudian memilih struktur rangka beton, yang kurang pas jika berdinding simpai.
Penyebab lainnya, ketersediaan bahan bangunan lainnya, yang ringan, lebih murah atau mudah digunakan. Seperti, batako dan hebel.
Mungkin juga, karena banyak yang menganggap rumah berangka kayu dan berdinding simpai, sudah kuno dan ketinggalan jaman.***
Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)