Donald Trump dan Panggung Politik Piala Dunia Antarklub Chelsea dan PSG

Presiden Amerika Serikat Donald Trump

NEWYORK, borneoreview.co – Panggung final Piala Dunia Antarklub 2025 dicoba dicuri sorot kameranya oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Laga final yang berlangsung panas antara Chelsea menghadapi Paris Saint-Germain (PSG) di Stadion MetLife, New York, Senin (14/7/2025) pagi WIB.

Piala Antarklub itu, seolah-olah menjadi kesempatan emas bagi Donald Trump, untuk muncul dan mengambil alih sorotan dunia.

Sejatinya panggung final dalam kompetisi dengan format baru ini adalah milik Chelsea yang menghajar jawara Liga Champions musim ini, Paris Saint-Germain, dengan keunggulan tiga gol tanpa balas.

Jika ditanya seseorang yang layak memperoleh sorotan utama tentu saja aksi dari Cole Palmer yang membawa The Blues jawara setelah menyumbangkan dua gol dan satu assits dalam laga ini.

Pemain tim nasional Inggris tersebut juga diganjar gelar pemain terbaik turnamen atas aksinya yang begitu konsisten hingga mengantarkan Chelsea juara.

Namun, sorotan utama seakan dicuri dari Palmer, setelah Trump muncul sebagai cameo dalam laga final ini.

Trump dan Sorotan

Dalam kondisi suhu New York yang berada di titik 30 derajat celcius, upacara pengangkatan trofi Piala Dunia Antarklub 2025 justru terkesan bertele-tele.

Secara susunan waktu, kick-off laga ini juga terlambat selama sembilan menit dari waktu yang dijadwalkan.

Upacara seremoni pengangkatan trofi dilakukan pada pukul 22.58 waktu setempat, atau memakan kurang lebih durasi 40 menit untuk mempersiapkan panggung upacara seremoni.

Seremoni pengangkatan trofi juga tak berjalan baik, ketika Trump yang seharusnya meninggalkan podium malah ikut berselebrasi di samping kapten Chelsea, Reece James.

Padahal aksi Trump tersebut menuai tanda tanya dan reaksi dari para pemain Chelsea yang berdiri di belakangnya seperti Robert Sanchez, Marc Cucurella, dan Cole Palmer.

Dalam sebuah seremoni, tak seharusnya Trump ikut berdiri merayakan kemenangan dengan tim juara terlepas posisinya kini sebagai Presiden Amerika Serikat.

Ini menjadi seremoni buruk yang terkesan menjadi panggung bagi para politisi khususnya Trump yang ingin mencuri perhatian publik melalui gelaran turnamen sepak bola.

Padahal kehadiran Trump sejak awal memang tak begitu dianggap setelah serangkaian cemooh dilontarkan para penggemar di stadion ketika kamera menyorot dan menampilkannya di layar raksasa saat pertandingan akan dimulai.

Namun, Presiden berusia 79 tahun tersebut tetap memanfaatkan panggung sepak bola ini sebagai salah satu momentum mendapatkan sorotan publik.

Trump mengungkapkan bahwa olahraga bisa menjadi salah satu alat untuk bisa menyatukan perdamaian dunia.

“Ini tentang persatuan, tentang semua orang berkumpul, banyak cinta antara negara-negara. Saya rasa ini adalah olahraga yang paling internasional, itu benar-benar bisa menyatukan dunia,” kata Trump sebagaimana dikutip dari DAZN.

Segala cara kini coba dilakukan oleh Trump yang memang tengah dalam sorotan sebagai salah satu dalang di balik sejumlah kebijakan kontroversial, seperti mengenai penetapan tarif perdagangan Amerika Serikat hingga keikutsertaan Amerika Serikat dalam perang antara Israel melawan Iran.

Sepak Bola Alat Politik

Trump bukanlah satu-satunya politisi yang memanfaatkan sepak bola sebagai momen untuk bisa memperoleh sorotan dunia.

Sepak bola sebagai ajang olahraga yang paling digemari oleh publik di seluruh jagad raya ini memang kerap dimanfaatkan oleh politisi untuk bisa menuai popularitas hingga membangun citra.

Ajang sepak bola kini tak bisa dipisahkan dengan alat propaganda politik, bahkan fenomena ini sudah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Hal yang mendasari fenomena ini bisa terjadi adalah karena sepak bola bisa menjadi magnet yang kuat untuk bisa menarik berbagai aspek kepentingan.

Sebut saja gelaran Piala Dunia 1934 yang berlangsung di Italia sebagai alat politik dari Benito Mussolini.

Mussolini kala itu ingin menanamkan paham fasisme agar lebih kuat mengakar di Italia, serta memperkenalkan fasisme ke dunia dengan menghelat ajang sepak bola yang punya muatan dan kental dengan hal-hal berbau fasis.

Lalu Piala Dunia 1978 yang berlangsung di Argentina sebagai alat propaganda dari Jorge Rafael Videla yang tengah berupaya membangun citra kepada dunia pasca kudeta.

Jorge Rafael Videla yang naik takhta dan memimpin Argentina sejak Maret 1976 memang mempersiapkan ajang Piala Dunia 1978 untuk memoles citranya sebagai pemimpin yang baik-baik saja dan memperkuat nasionalisme penduduk Argentina.

“Piala Dunia 1978 amat penting bagi Videla. Ajang empat tahunan FIFA itu bahkan bisa memberikan dampak besar terhadap kekuasaannya: menunjukkan Argentina masih baik-baik saja, memperkuat semangat nasionalisme, hingga memberikan kesempatan lebih besar bagi Videla untuk membungkam musuh-musuhnya,” tulis Jonathan Wilson dalam bukunya Angel with Dirty Faces (2015).

Hal yang sama juga terjadi di gelaran Piala Dunia 2018, ketika Rusia selaku tuan rumah ingin memanfaatkan ajang tersebut sebagai panggung untuk memperbaiki citra dan reputasi mereka di mata dunia internasional.

Kala itu, Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson menuding Presiden Rusia Vladimir Putin mencurigai bahwa ajang Piala Dunia 2018 dimanfaatkan sebagai propaganda Rusia.

Melihat sorotan yang begitu besar diperoleh dari pentas sepak bola, rasanya terlalu naif jika para politisi tak memanfaatkannya bahkan untuk sekedar soft selling.

Melepaskan sepak bola dengan politisi seakan menjadi mitos dan bualan semata yang dijual hingga kini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *