Site icon Borneo Review

Ekspor Sawit ke AS Terancam Stagnan, Gapki Soroti Dampak Tarif Impor Baru Trump

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksi potensi stagnasi ekspor minyak kelapa sawit ke Amerika Serikat (AS) imbas penerapan tarif impor baru dari Presiden Donald Trump ke Indonesia. (ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS)

JAKARTA, borneoreview.co – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan kekhawatirannya terhadap potensi stagnasi ekspor minyak kelapa sawit ke Amerika Serikat (AS) akibat kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.

Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, mengungkapkan bahwa ekspor sawit Indonesia ke AS mengalami pertumbuhan signifikan dalam lima tahun terakhir. Dari yang sebelumnya di bawah 1 juta ton per tahun, kini angkanya telah menembus 2,2 juta ton pada tahun 2024. Namun, dengan diterapkannya tarif tambahan sebesar 32 persen untuk produk asal Indonesia, tren positif tersebut diprediksi akan berhenti.

“Tahun 2024 ekspor minyak sawit ke US sebesar 2,2 juta ton. Paling tidak akan terjadi stagnasi besaran ekspor ke US,” ujar Eddy dalam keterangannya, Jumat (5/4/2025).

Lebih lanjut, Eddy menegaskan bahwa tidak semua produk minyak sawit dapat digantikan oleh minyak nabati lain. Sebagai contoh, margarin tidak bisa dibuat dari minyak kedelai karena kandungan trans-fat-nya dinilai berbahaya bagi kesehatan, bahkan dapat memicu kanker. Demikian pula dengan produk turunan sawit seperti oleochemical, yang hingga kini belum memiliki substitusi yang sepadan.

“Kalau minyak sawit tetap dibutuhkan, yang dirugikan sebenarnya adalah konsumen di Amerika Serikat,” kata Eddy.

Meski begitu, Gapki tidak tinggal diam. Eddy menyatakan bahwa pihaknya akan terus mencari pasar alternatif di luar AS sebagai langkah strategis menghadapi tantangan ini. Ia juga mendorong pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan dalam negeri seperti Domestic Market Obligation (DMO), Persetujuan Ekspor (PE), dan Bea Keluar (BK) guna meringankan beban pelaku usaha.

Diketahui, per 2 April lalu, pemerintah AS resmi memberlakukan tarif dasar sebesar 10 persen ditambah bea masuk tambahan 32 persen terhadap sejumlah produk dari Indonesia. Padahal, total ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam tahun lalu mencapai USD31 miliar atau sekitar Rp500 triliun, dengan komoditas utama meliputi alas kaki, tekstil, minyak nabati, dan alat-alat listrik.

Langkah proteksionis AS ini tak hanya berisiko menekan sektor sawit, tetapi juga dapat berdampak pada ketahanan ekonomi nasional, mengingat sektor kelapa sawit merupakan penyumbang devisa terbesar Indonesia dan menjadi sumber penghidupan bagi jutaan petani.

Gapki berharap pemerintah Indonesia dapat merespons dengan strategi perdagangan yang adaptif serta memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara-negara potensial lainnya di Asia, Afrika, dan Timur Tengah.***

Exit mobile version