JAKARTA, borneoreview.co – Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra menekankan pentingnya melatih empati.
Juga melibatkan anak-anak dalam aktivitas sosial sebagai salah satu solusi pencegahan dari aksi kekerasan seperti tawuran.
Menurut Psikolog UGM itu, anak dan remaja membutuhkan ruang yang aman dan suportif untuk menyalurkan tekanan emosional yang mereka rasakan, terutama pada masa transisi seperti awal tahun ajaran baru.
“Empati itu bisa dilatih. Anak perlu diberi ruang untuk mengalami dan melihat langsung berbagai situasi kehidupan sosial, misalnya lewat kegiatan kemanusiaan, gotong royong, atau membantu teman yang kesulitan,” kata Novi ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta.
Novi menyampaikan, salah satu cara yang dinilai paling berdampak adalah memberi kesempatan kepada anak untuk terlibat dalam kegiatan sosial yang membangun rasa peduli terhadap sesama.
Selain itu, lingkungan yang menerima kondisi anak apa adanya juga turut memainkan peran penting.
Ia menyebut, pendekatan ini dapat merangsang kerja bagian otak yang berperan dalam pengambilan keputusan (prefrontal cortex), sehingga anak mampu merespons situasi emosional dengan lebih bijak.
Dengan demikian, anak punya tempat menyalurkan energinya dengan cara yang sehat, serta kecenderungan untuk melampiaskan emosi lewat kekerasan akan jauh berkurang.
“Itu semua akan melatih otak nalarnya agar bekerja lebih baik, sehingga dia akan membuat keputusan lebih baik saat mendapat peristiwa yang memancing emosi,” ujarnya.
Lebih lanjut Novi mengatakan, pendekatan korektif seperti ini lebih berdampak jangka panjang dibanding sekadar hukuman yang bersifat memutus akses anak terhadap fasilitas seperti ponsel atau uang jajan.
Dari sisi psikologis, ia menjelaskan bahwa perilaku agresif pada remaja didorong oleh tekanan emosi tinggi yang dipicu oleh hormon stres (kortisol), yang umum terjadi di usia pubertas.
Tekanan ini membuat kerja otak bagian prefrontal cortex atau pusat pengambilan keputusan akan menurun, dan respons anak lebih sering dikendalikan oleh bagian otak primitif (amigdala) yang cenderung reaktif.
“Inilah mengapa mereka mudah terpancing atau terprovokasi. Ditambah lagi, jika mereka tidak mendapat validasi atau apresiasi dari orang tua dan guru, maka pujian dari teman sebaya meskipun untuk tindakan negatif bisa terasa sangat berarti,” jelas Novi.
Ia juga kembali mengingatkan bahwa kurangnya interaksi anak dengan keluarga dan hilangnya minat terhadap aktivitas positif bisa menjadi sinyal bahwa anak sedang berada dalam pengaruh lingkungan berisiko tinggi.
“Peran orang tua dan guru sangat besar. Bukan hanya mengawasi, tapi menjadi teladan, teman bicara, dan pembuka jalan anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat,” pungkas Novi.(ant)