Era Digital, Berkarya Tanpa Menghamba Algoritma

Bijak dan Antihoaks

PONTIANAK, borneoreviwew.co – Algoritma menjelma menjadi penguasa dunia digital, menuntut para pekerja media dan kreator konten untuk tunduk pada ritmenya.

Karya tak lagi lahir dari pencarian makna, melainkan dari kejaran angka tayangan.

Mungkin sudah saatnya jeda diambil, agar dalam hiruk-pikuk itu kita tak kehilangan diri sebagai manusia.

Ketika kreativitas diukur dengan algoritma, banyak yang lupa untuk mengedepankan makna dalam berkarya.

Di tengah gemuruh digital, manusia semestinya tetap menjadi tuan, bukan hamba dari teknologi ciptaannya sendiri.

Era digital nyatanya telah mengubah cara manusia mencipta, berinteraksi, dan mengukur nilai dari sebuah karya.

Jika dulu karya dinilai dari kedalaman pesan atau ketulusan ekspresi, kini sering kali ukurannya ditentukan oleh tingkat keterlibatan, penayangan, dan jumlah pengikut.

Algoritma menjadi penguasa baru yang diam-diam mengatur visibilitas, menentukan apa yang patut tampil di layar, dan apa yang terbenam dalam senyap.

Berkarya, yang awalnya demi mengekspresikan diri, perlahan bisa berubah jadi bertarung demi bertahan di mata mesin.

Dalam situasi ini, para kreator kerap terjebak pada dilema: berkarya dengan hati atau menyesuaikan diri dengan pola algoritma.

Fenomena ini selaras dengan pandangan Brooke Erin Duffy profesor madya di Departemen Komunikasi Universitas Cornell New York, AS.

Dalam bukunya (Not) Getting Paid to Do What You Love (2017), ia mengemukakan bahwa banyak kreator digital bekerja di bawah tekanan ekonomi dan algoritmik.

Mereka memproduksi konten bukan lagi semata-mata sebagai ekspresi diri, tapi sebagai strategi bertahan di tengah kompetisi yang dikendalikan mesin.

Duffy menyebut kondisi ini sebagai bentuk kerja afektif, di mana emosi, kepribadian, dan daya tarik personal dikomodifikasi menjadi produk.

Sementara itu, terdapat teori attention economy dari ilmuan polimatik AS yang juga peneliti ilmu komputer, Herbert Simon.

Dia berpendapat bahwa di era banjir informasi, perhatian manusia adalah sumber daya langka.

Setiap unggahan di media sosial berkompetisi memperebutkan atensi audiens.

Akibatnya, banyak kreator merasa harus terus hadir dan tampil mencolok agar tidak tenggelam di linimasa.

Tekanan inilah yang perlahan mengikis makna sejati dalam proses berkarya, di mana kualitas dan pesan humanistik sering tersingkir oleh formula viralitas.

Padahal sejatinya, algoritma hanyalah sistem buatan manusia. Ia bisa diakali dan tidak seharusnya diibadahi.

Tantangan terbesar bagi pekerja media dan kreator masa kini bukan sekadar menguasai permainan digital.

Melainkan juga, menjaga agar kreativitas tetap berakar pada nilai dan kejujuran.

Sebab karya yang lahir dari kesadaran dan makna akan selalu menemukan jalannya, bahkan tanpa bantuan algoritma.

Tanpa Jeda

Di jagat maya, setiap unggahan adalah tiket menuju perhatian. Para kreator konten kini hidup dalam lanskap yang kian riuh.

Jeda sehari tanpa unggahan bisa berarti terlempar dari perbincangan.

Di layar yang tampak gemerlap, mereka bukan sekadar pemain, melainkan petarung yang setiap hari berlomba menaklukkan algoritma, menjaga eksistensi, dan memenuhi dahaga audiens yang tak pernah puas.

Namun, di balik tawa dan gaya santai yang tersaji di konten, tersimpan beban yang tak ringan. Kamera yang seolah menjadi sahabat, perlahan menjelma pengawas.

Setiap sorotnya menuntut performa sempurna, setiap klik komentar bisa memantik gelisah.

Kreativitas yang semula lahir dari kebebasan, kini, sering dikurung oleh kebutuhan untuk tetap relevan.

Tak heran, banyak yang akhirnya terjebak dalam rutinitas produksi tanpa ruang jeda; kreatif tapi kelelahan, populer tapi kehilangan makna.

Di titik inilah, dunia digital menunjukkan paradoksnya: ruang yang semula menjanjikan kebebasan berekspresi justru menciptakan tekanan baru.

Algoritma mengatur siapa yang layak terlihat, siapa yang tenggelam di arus.

Bagi kreator, bertahan berarti menyesuaikan diri dengan ritme mesin; bukan lagi perkara berkarya, akan tetapi soal bertahan hidup di linimasa.

Fenomena ini tak hanya menimpa para kreator individu. Media massa pun kini ikut terjebak dalam arus yang sama.

Serta, menyusun tajuk dan memilih berita berdasarkan selera algoritma, bukan semata kepentingan publik.

Kehidupan di dunia digital sering kali menyerupai panggung tanpa tirai. Pertunjukan tak pernah benar-benar usai.

Para kreator dituntut untuk terus tampil, bahkan ketika ide menipis dan semangat meredup.

Dalam kejaran ritme algoritma yang tak mengenal belas kasihan, jeda menjadi kemewahan, dan diam terasa seperti dosa.

Tekanan serupa juga dialami redaksi media yang berkejaran dengan klik, impresi, dan topik terkini.

Jurnalisme yang seharusnya menjadi ruang pencarian makna, perlahan digiring menjadi industri perhatian.

Pada titik ini, banyak dari mereka mulai kehilangan arah: berkarya bukan lagi karena dorongan hati, melainkan oleh sebab tekanan untuk “tetap ada”.

Setiap unggahan menjadi semacam taruhan, antara relevansi dan kehilangan audiens, antara eksistensi dan kelelahan.

Rasa cemas akan keterlambatan posting atau penurunan engagement menjelma jadi beban psikis yang nyata.

Di sisi lain, keheningan digital sering dianggap kegagalan, padahal bisa jadi itu adalah bentuk perawatan diri.

Gejala kewalahan ekstrem (burnout) di kalangan pekerja media dan kreator konten bukan hal baru.

Mereka yang tampak bersinar di linimasa kerap memendam letih yang panjang.

Karena setiap hari harus memikirkan judul yang memancing klik, durasi yang disukai algoritma, retensi penonton, jam tayang ideal.

Bukan lagi soal “ingin bercerita”, tapi bagaimana caranya “tetap terlihat”.

Riset American Psychological Association (APA) menyebutkan, tekanan kerja di industri kreatif digital, bisa memicu gejala depresi dan kelelahan emosional. Yang serupa dengan profesi berisiko tinggi.

Ironisnya, sebagian besar tak menyadari bahwa mereka sedang sakit, karena lelah di dunia maya sering kali ditutupi dengan senyum dan filter estetis.

Menjadi Manusia

Di tengah derasnya arus digital yang menuntut kecepatan, manusia kerap kehilangan jeda untuk menimbang makna.

Kreator berlomba menembus linimasa, media massa mengejar klik dan impresi, sementara penonton tenggelam dalam pusaran konten tanpa sempat merenung.

Namun sejatinya, teknologi bukanlah musuh; ia hanyalah cermin yang memantulkan sisi paling ambisius dari diri kita.

Kita bisa memilih untuk tetap menjadi manusia, bukan sekadar akun dengan angka tayangan.

Sebab karya yang bertahan bukanlah yang viral sesaat, melainkan yang meninggalkan gema dalam hati pembacanya.

Karya yang lahir dari kejujuran, bukan dari strategi algoritma.

Mungkin sesekali kita perlu berhenti mengejar engagement, untuk kembali menulis, memotret, atau berbicara dengan nurani.

Menemukan lagi alasan awal mengapa kita berkarya: bukan demi perhatian, tetapi demi menyentuh kehidupan.

Popularitas bisa menua, tetapi makna akan selalu hidup. Di tengah riuh algoritma, biarlah karya-karya kecil yang tulus tetap menjadi pelita, sederhana tapi menerangi.

Menjadi kreator, sejati bukanlah tentang seberapa sering tampil di layar, melainkan seberapa dalam jejak yang tertinggal setelah layar padam.

Pada akhirnya, bila sengitnya kompetisi di dunia digital hanya berujung pada perkara penghasilan dan cuan, percayalah, rezeki tak pernah tertukar, sebab ada Yang Maha Mengatur.

Jadi, jangan biarkan diri tenggelam dalam perlombaan hingga lupa menjadi manusia.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *