Site icon Borneo Review

Evaluasi Kritis Ekonomi Pemerintahan Prabowo: Sorotan dari INDEF dan Universitas Paramadina

JAKARTA, borneoreview.co – Universitas Paramadina bekerja sama dengan Institut for Development of Economics and Finance (INDEF) mengadakan diskusi publik bertajuk “Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi” pada Rabu, (22/1/2025). Diskusi ini menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang, sebutlah Ekonom INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, Ph.D, Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri, Ph.D dan Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, MPP.

Acara ini dimoderatori oleh Nurliya Apriyana, M.M., dosen Universitas Paramadina, dengan sambutan pembuka dari Prof. Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina yang mengungkapkan, kinerja ekonomi Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam. “Vietnam berhasil tumbuh 7-8% karena ekspor mereka telah melampaui Indonesia. Saat ini, ekspor Vietnam mencapai 405 miliar USD per tahun, sementara Indonesia stagnan di sekitar 250 miliar USD, angka yang tidak jauh berbeda dari capaian 20 tahun lalu,” ungkapnya.

Prof. Didik menyoroti sektor industri sebagai kunci untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%. Namun, selama satu dekade terakhir, sektor industri Indonesia hanya mampu tumbuh 3-4%, sangat jauh dari angka pertumbuhan industri Vietnam yang mencapai 9-10%. Bahkan, ekspor Vietnam tumbuh hingga 14-15%, mencerminkan keberhasilan strategi ekonomi negara tersebut.

“Situasi ini mirip dengan kondisi Indonesia pada 1985, ketika ekonomi tumbuh 7%, sektor industri tumbuh 9-10%, dan ekspor melonjak hingga 20%. Namun, saat ini kita kehilangan momentum tersebut,” jelas Prof. Didik.

Untuk mengembalikan performa sektor industri, Prof. Didik menyarankan agar pemerintah kembali mengadopsi strategi yang pernah diterapkan pada era Orde Baru. “Zaman Pak Harto dulu, separuh birokrasi di Departemen Keuangan dirumahkan, dan kegiatan ekspor diserahkan ke SGS. Diplomat pun diberi target neraca perdagangan surplus. Akibatnya, ekspor melaju kencang,” tambahnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa situasi ekonomi global dan kebijakan investasi memainkan peran besar. Tanpa masuknya investasi asing, pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit mencapai angka 6-7%. “Diperlukan investasi 3-4 kali lipat dari Rp1.400 triliun untuk mendongkrak pertumbuhan,” ujarnya.

Meski menghadapi tantangan besar, Prof. Didik tetap mengapresiasi semangat Presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Ia mengajak semua pihak untuk tetap optimis dan belajar dari keberhasilan Vietnam.

Sebagai penutup, Prof. Didik menyoroti pentingnya konsistensi kebijakan dan perbaikan iklim investasi. Ia mengingatkan bahwa pergeseran investasi asing dari Indonesia ke Vietnam mirip dengan kondisi Filipina pada era Marcos di 1985, ketika banyak investasi pindah ke Indonesia karena buruknya ekonomi Filipina.

“Tanpa penguatan sektor industri dan masuknya investasi asing, target pertumbuhan ekonomi yang ambisius akan sulit terwujud,” pungkasnya.

Dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 7-8% di era pemerintahan Prabowo, Eisha M. Rachbini, Ph.D, menekankan pentingnya strategi yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Menurutnya, pendekatan yang inovatif dan sektor-sektor pengungkit baru sangat diperlukan untuk merealisasikan visi tersebut.

Eisha menyoroti bahwa perkembangan teknologi digital yang pesat membuka peluang besar bagi ekonomi digital. Sektor-sektor seperti hilirisasi industri, pariwisata, dan teknologi ekonomi digital harus menjadi prioritas. Lebih lanjut, ia menekankan perlunya digitalisasi di seluruh sektor ekonomi guna meningkatkan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Saat ini, ruang ekonomi digital masih terbuka luas. Kontribusi sektor e-commerce terhadap PDB, misalnya, baru mencapai 3,7% pada 2024, dan diproyeksikan tumbuh hingga 7,1% pada 2025,” jelasnya.

Meski nilai transaksi e-commerce masih mendominasi dibanding sektor transportasi, traveling, dan media online, beberapa platform digital di Indonesia mengalami penurunan transaksi dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini, meskipun tetap bertumbuh, terjadi akibat melemahnya daya beli masyarakat yang dipengaruhi kondisi ekonomi nasional. Bahkan momentum seperti Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) hanya memberikan sedikit dorongan pertumbuhan dibandingkan periode yang sama pada 2023.

Eisha juga menyoroti potensi besar di sektor keuangan digital seiring dengan meningkatnya akses internet dan adopsi teknologi di Indonesia. Survei menunjukkan bahwa konsumen perbankan mulai beralih ke layanan keuangan digital, termasuk fintech. Namun, tantangan tetap ada, seperti penurunan minat di beberapa segmen.

Meski demikian, layanan fintech mulai menarik perhatian kelompok marginal, seperti Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang dapat menjadi motor penggerak aktivitas ekonomi. “Secara teori, aktivitas ekonomi di sektor keuangan menjadi kunci pendorong pertumbuhan ekonomi. Karena itu, penting untuk menciptakan iklim yang mendukung akses modal dan keuangan,” ungkap Eisha.

Sementara Yose Rizal Damuri, Ph.D, Ekonom Universitas Paramadina menyoroti kurangnya koherensi dalam kebijakan dan koordinasi antarinstansi. Hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai arah program-program pemerintahan yang telah digariskan.

Salah satu perhatian utama adalah belum diterbitkannya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi di tahun 2015, RPJMN sudah dipublikasikan kepada masyarakat pada awal Januari, memberikan panduan yang jelas mengenai program-program strategis. Keterlambatan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan ekonom, pengusaha, dan akademisi yang menunggu kejelasan arah kebijakan pemerintahan.

“Pemerintahan Prabowo juga menghadapi berbagai tantangan yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya. Masalah seperti ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian regulasi, stagnasi pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir, perubahan iklim, serta transformasi digital menjadi tantangan besar. Di tingkat internasional, pelantikan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, membawa dampak yang tidak dapat diabaikan bagi ekonomi global,” bebernya.

Meski sejumlah kebijakan telah diumumkan, arah strategis yang jelas dalam bidang ekonomi masih dinanti. Kebijakan-kebijakan ini diharapkan mampu menyelesaikan berbagai masalah yang ada, khususnya di sektor perdagangan dan industri nasional. Namun, hingga kini, hal tersebut masih sulit untuk dipetakan.

Salah satu kebijakan yang menarik perhatian adalah pengumuman kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6%, yang menjadi langkah bersejarah oleh Presiden RI. Namun, kebijakan ini tidak lepas dari tantangan, terutama setelah Mahkamah Konstitusi mencabut beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), termasuk formulasi UMP.

“Tanpa formulasi yang jelas, kenaikan UMP menjadi sulit diprediksi dan berpotensi lebih besar untuk dijadikan alat politisasi. Lebih jauh, dampak kenaikan UMP terhadap kesejahteraan pekerja juga dinilai terbatas. Data tahun 2023 menunjukkan hanya 36% pekerja yang mendapatkan upah di atas UMP, angka yang menurun dibandingkan 42% pada tahun 2019,” tegasnya.

Sisi lain, nenurut Wijayanto Samirin, MPP, saat ini belum dapat dinilai secara pasti kinerja pemerintahan karena belum terlihat kapasitas yang jelas. “Setelah setahun baru kita bisa mengetahui kapasitas sebenarnya, sementara saat ini hanya ada sinyal-sinyal yang terlihat,” ujar Wijayanto.

Meskipun ada beberapa kebijakan yang diambil, seperti pembatalan PPN 12% untuk barang mewah yang kemudian digantikan dengan insentif lainnya, pengeluaran negara justru terus bertambah.

Wijayanto mengungkapkan bahwa terdapat enam kecenderungan yang menonjol dalam respons pemerintahan saat ini. Pertama, ada perbedaan respons antara narasi kementerian, Menteri, Wakil Menteri, pemerintah pusat, hingga daerah, yang mengindikasikan kurangnya kesolidan. Kedua, komunikasi publik yang buruk dan terlalu banyak janji yang tidak realistis. Ketiga, penggunaan pendekatan yang bersifat parsial, bukan sistematis dan komprehensif. Keempat, dominasi pendekatan populis. Kelima, basis teknokratis yang kurang kuat dan terlalu didominasi oleh politik. Dan keenam, adanya kesenjangan yang lebar antara narasi dan implementasi di lapangan.

Wijayanto juga menyoroti hasil survei yang menunjukkan adanya kecenderungan masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami masalah yang ada, serta kecenderungan untuk bersikap pasif dan terlalu positif thinking. Ia menegaskan bahwa secara ideal, pemerintah seharusnya mengandalkan data statistik yang kredibel sebagai ukuran kinerja, bukan hanya survei persepsi yang sering kali tidak objektif.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan Sertifikat Reksadana Bank Indonesia (SRBI) senilai Rp. 915 triliun dengan bunga 7,23%, dimana sekitar 50,4% atau Rp. 461 triliun dikuasai oleh sektor perbankan. Surat Berharga Negara (SBN) menjadi pilar utama fiskal, namun tingginya bunga SBN memberikan beban berat bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, SDB dan SRBI berpotensi menyebabkan fenomena crowing out yang dapat melemahkan sektor riil dan membuat pasar modal stagnan. Saat ini, bank memegang SBN dan SRBI senilai Rp. 1.427 triliun, dengan risiko yang semakin tinggi jika investor asing mendominasi kepemilikan, yang mencapai 25,8% untuk SRBI dan 17,9% untuk SBN.

Wijayanto menilai bahwa Prabowo Subianto memimpin Indonesia pada era yang sangat kritikal, sebuah titik krusial yang menentukan masa depan negara. “Sukses bukanlah sebuah pilihan, melainkan keharusan,” tegas Wijayanto. Tahun 2025 dan 2026 diprediksi menjadi titik kritis dalam hal fiskal, dengan penurunan penerimaan negara, lonjakan pengeluaran, dan utang yang mencapai Rp. 1.600 triliun yang harus dibayar. Ditambah lagi dengan dinamika ekonomi global yang tidak menentu.

Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat penerimaan negara, efisiensi pengeluaran, serta perbaikan manajemen utang sangatlah krusial. Jika tidak, Indonesia berisiko terjebak dalam masa sulit pada 2025-2026. Dalam kondisi fiskal yang berat dan rendahnya tingkat kepercayaan investor, tantangan terbesar terletak pada sektor moneter, terutama dalam menghadapi kemungkinan reversal dari investasi portofolio. Perbaikan regulasi yang jelas, pengelolaan utang yang lebih baik, serta kebijakan yang lebih fokus pada pendanaan fiskal yang berkelanjutan menjadi langkah-langkah prioritas yang harus diambil oleh pemerintah saat ini.

Diskusi ini menyimpulkan bahwa pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan besar untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi. Strategi penguatan sektor industri, digitalisasi ekonomi, serta perbaikan iklim investasi menjadi prioritas mendesak.

Melalui diskusi ini, diharapkan pemerintah dapat mengambil langkah konkret untuk mengatasi tantangan ekonomi dan mengarahkan Indonesia menuju pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.*

Exit mobile version