PONTIANAK, borneoreview.co – Warga Paloh, Sambas, Kalimantan Barat tentu sudah tidak asing lagi dengan Festival Perang Telur Penyu.
Festival Perang Telur Penyu adalah acara budaya tahunan yang telah berlangsung sejak 2011, bahkan jauh sebelumnya.
Dan, sejak 2011, Festival Perang Telur Penyu tidak menggunakan telur asli lagi, hal yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Melansir berbagai sumber, Kamis (28/8/2025), kini kegiatan ini tidak menggunakan telur penyu asli, melainkan media ramah lingkungan seperti bola tenis meja.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk edukasi dan komitmen terhadap pelestarian penyu di wilayah perairan Paloh.
Selain itu, festival ini juga bertujuan untuk mempromosikan Pantai Tanjung Api sebagai destinasi wisata unggulan di pesisir Kalimantan Barat, yang dikenal sebagai tempat singgah penyu bertelur.
Dengan mengusung semangat pelestarian lingkungan dan budaya lokal, acara ini menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Selain perang telur penyu yang menjadi ikon utama, festival ini juga menghadirkan berbagai kegiatan menarik dan edukatif.
Sebut saja pelepasan tukik (anak penyu), aksi bersih pantai, voli pantai, adu layangan dan lomba layangan indah, dan sebagainya.
Seperti apa sejarahnya hingga muncul Festival Perang Telur Penyu yang sekarang? Berikut penjelasannya:
1. Komoditi Dagang
Sejak dulu, telur penyu asal Paloh merupakan komoditi perdagangan di Kalimantan Barat maupun di Sarawak (Malaysia).
Populasinya yang melimpah menjadikan telur penyu sebagai salah satu pendapatan daerah Kabupaten Sambas dan juga merupakan wahana utama festival perang telur penyu.
Festival yang ditandai dengan saling lempar telur penyu ini umumnya diselenggarakan diawal musim puncak peneluran (bulan Mei).
Festival ini untuk mengekspresikan rasa syukur masyarakat setempat terhadap melimpahnya telur-telur penyu di wilayah tersebut.
2. Populasi Menurun
Akibat eksploitasi masif telur penyu yang terjadi sejak lama, maka populasinya pun menjadi sangat berkurang.
Sehingga sejak 2005, bersamaan dengan pencabutan regulasi Pajak Pendapatan Daerah terhadap Pelelangan Telur Penyu oleh Pemerintah Kabupaten Sambas, festival ini dihentikan.
3. Kontra Regulasi
Alasan lain penghentian kegiatan pesta rakyat dan pelelangan telur penyu adalah karena kontra regulasi.
Yakni, bertentangan dengan perundangan dan peraturan pemerintah tentang perlindungan penyu yaitu UU No.5/1990 dan PP No.7/1999.
4. Tetap Belum Terlindungi
Pasca 2005, telur penyu di Paloh kembali menjadi sumber daya akses terbuka.
Masyarakat umum sangat leluasa mengambilnya karena mayoritas bagian pesisir Paloh belum terlindungi dan hanya sebagian kecil wilayah Paloh (810,30 ha) yang telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) Tanjung Belimbing.
Wilayah di luar TWA ini masih belum terlindungi sehingga menjadi sasaran perburuan telur penyu sepanjang tahun.
5. Pasar Lintas Negara
Telur hasil perburuan ini dijual baik untuk memenuhi pasar lokal maupun lintas Negara (Malaysia).
Pemburu lebih memilih menjual telur ke Malaysia karena memiliki nilai jual yang jauh lebih tinggi dengan rata-rata harga Rp4.300-Rp5.000.
Saat musim puncak peneluran, pengumpul telur dapat menghasilkan lebih dari 10 juta rupiah per malam.
6. WWF Turun Tangan
Berangkat dari kondisi itu, WWF Indonesia sejak 2009 hadir di Paloh membantu pemerintah setempat melakukan program konservasi pesisir dan spesies penyu.
WWF Indonesia berhasil menggugah kesadaran warga setempat untuk memproteksi reptil langka tersebut dengan membentuk kelompok Masyarakat Pengawas atau Pokmaswas, salah satunya yakni Pokmaswas Kambau Borneo di Desa Sebubus.
7. Insafnya Mantan Pemburu
Keanggotaan Pokmaswas sebagian besar adalah mantan pemburu telur penyu yang telah insaf.
Melalui upaya pendekatan, sosialisasi dan pelatihan yang diberikan hingga akhirnya sang pemburu beralih menjadi pahlawan penjaga penyu.
8. Konservasi yang Beda
Aktivitas konservasi penyu di Paloh tak terlihat seperti halnya di wilayah peneluran penyu lainnya, yaitu penyu direlokasi ke penetasan buatan dan dibesarkan kemudian dilepaskan ke laut.
Kelompok dampingan WWF Indonesia ini berjuang semampunya menjaga pantai, menetaskan telur secara alamiah hingga tukik-tukik menuju ke lautan lepas dengan sehat tanpa sentuhan manusia.
Dan, hanya cangkang telur yang menetas menjadi indikator keberhasilan konservasi yang dilakukan oleh Pokmaswas Kambau Borneo.
9. Ego Negeri
Tak dapat dipungkiri, kehadiran Pokmaswas Kambau Borneo di Desa Sebubus Kecamatan Paloh itu, sejauh ini cukup berhasil menekan aktivitas perburuan dan perdagangan telur penyu di batas negeri ini.
Mereka tak rela plasma nutfah asal Paloh ini akan punah dan berpindah ke negeri jiran yang jauh lebih menyayangi penyu. **