PONTIANAK, borneoreview.co – Siang itu, sebuah ruangan di Hotel Harris Pontianak jadi saksi bisu dari pertemuan penting menyatukan dua dunia: industri kelapa sawit dan media.
Di tengah deretan kursi putih berjejer rapi, para pelaku usaha, jurnalis, hingga pejabat daerah hadir dalam Konferensi Wilayah III AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) Kalimantan Barat.
Acaranya? Sebuah seminar bertema “Bagaimana Bisnis Sawit dan Tambang Membawa Kemakmuran Rakyat dan Bersinergi dengan Bisnis Media di Kalbar.”
Tidak sekadar bicara angka-angka produksi atau luasan lahan, tapi ini adalah momen di mana sawit mulai bercerita—tentang kemakmuran.
Tentang kemitraan, dan tak kalah penting, tentang bagaimana media bisa menjadi mitra strategis dalam menghadirkan kebenaran di tengah gempuran hoaks dan prasangka negatif.
Dukungan GAPKI: Kantor dan NPWP Lokal Wajib
Di tengah riuh tepuk tangan peserta, Kepala Bidang Media dan Informatika GAPKI Kalbar, Mulfi Huda, menegaskan posisi GAPKI Kalbar sebagai organisasi pengusaha sawit siap mendukung seluruh kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Salah satunya, kebijakan wajibnya semua perusahaan tambang dan perkebunan memiliki kantor dan NPWP terdaftar di wilayah Kalbar.
“Kami mendukung semua kebijakan pemerintah, terutama pemerintah daerah Kalimantan Barat. Kami juga akan patuh terhadap aturan ditetapkan pemerintah,” katanya dengan nada tenang namun tegas, Kamis (12/6/2025).
Mulfi Huda—lebih akrab disapa Boni ini menambahkan, sebagian besar perusahaan sawit di Kalbar memang sudah memiliki kantor di Pontianak.
Namun, sekitar 20 persen masih beroperasi langsung dari lokasi kebun tanpa kantor representatif di kota.
Inilah yang ingin diperbaiki oleh pemerintah daerah agar transparansi pajak dan administrasi lebih mudah dilacak.
“Yang 20 persen itu rata-rata tidak ada kantor di Pontianak, mereka bergantung langsung di site atau di kebun. Jadi kantornya langsung di kebun. Tapi kalau kebijakan pemerintah wajib ada, kita selaku dari GAPKI mendukung itu,” Boni memaparkan.
Bukan Sekadar Khayalan
Kalimantan Barat, meskipun seringkali luput dari sorotan nasional, ternyata punya potensi ekonomi luar biasa besar dari komoditas kelapa sawit.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat luasan kebun kelapa sawit di Kalbar mencapai 2,16 juta hektare. Angka ini mencakup baik perkebunan milik perusahaan maupun masyarakat.
Produksinya? Tidak main-main. Setiap tahun, Kalbar mampu menghasilkan 7,19 juta ton tandan buah segar (TBS). Ini tentu saja memberikan kontribusi besar bagi perekonomian daerah.
Namun yang lebih menarik lagi adalah soal tenaga kerja. Menurut analisis GAPKI, sekitar 500.000 orang bekerja langsung maupun tidak langsung di sektor sawit.
Sementara data BPS menyebut jumlah yang lebih tinggi, yaitu 829.601 jiwa. Perbedaan ini menjadi catatan tersendiri: bagaimana data harus terus dikumpulkan secara akurat agar bisa menjadi dasar kebijakan yang tepat.
Lebih jauh lagi, sektor sawit menyumbang 20,27% terhadap pertumbuhan ekonomi Kalbar. Dengan pertumbuhan ekonomi Kalbar mencapai 4% pada kuartal ketiga, sawit jelas menjadi tulang punggung pembangunan daerah.
Kemitraan Plasma Ada Potensi dan Tantangan
Salah satu model kemitraan yang digunakan oleh perusahaan sawit adalah program plasma.
Program ini melibatkan masyarakat dalam pengelolaan lahan sawit bersama perusahaan. Tujuannya, meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus memperluas area produktivitas.
Namun, seperti kata Boni, kemitraan ini juga punya tantangan besar. “Kemitraan kerap menimbulkan persoalan keadilan dalam bagi hasil, menjadi tanggung jawab perusahaan.”
Ini adalah isu sensitif yang harus terus dievaluasi agar tidak menimbulkan gesekan antara perusahaan dan masyarakat.
Antara Pendidikan, Kesehatan, dan Gotong Royong
Perusahaan sawit di Kalbar juga aktif menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR). Bentuknya beragam, mulai dari pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, hingga kegiatan charity dan peringatan hari besar.
Selain itu, beberapa bentuk sinergi nyata antara perusahaan sawit dan pemerintah daerah telah terwujud, salah satunya perbaikan infrastruktur jalan provinsi dan kabupaten.
Jalan-jalan tersebut notabene juga digunakan oleh perusahaan untuk distribusi hasil sawit, tetapi juga dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) juga umumnya dibangun di dalam areal kebun sendiri, sehingga efisien dalam operasional.
Selain menerima TBS dari kebun internal, PKS juga menerima pasokan dari petani mitra.
Ekonomi Lokal Bangkit
Upaya perusahaan sawit dalam memajukan ekonomi lokal juga terlihat dari langkah-langkah konkret mereka.
– Menggunakan kontraktor lokal untuk panen dan pengangkutan hasil sawit, seperti ancak.
– Membina pengrajin tengkal , membuat tali pengikat berondolan yang digunakan dalam proses panen.
– Melatih masyarakat menjadi penjahit seragam karyawan, contohnya program pelatihan 10.000 penjahit.
Langkah ini bukan hanya membuka lapangan kerja, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi yang saling menguntungkan antara perusahaan dan masyarakat sekitar.
Media Itu Mitra Strategis untuk Narasi Positif
Salah satu poin penting yang disampaikan Boni adalah perlunya kolaborasi erat antara perusahaan sawit dan media.
“Perusahaan melihat media sebagai mitra strategis untuk menyampaikan narasi positif dan transparansi industri sawit,” dia mengingatkan.
Dalam era digital seperti sekarang, informasi dari pelosok cepat tersebar berkat teknologi.
Oleh karena itu, media memiliki peran penting dalam menyampaikan data dan fakta langsung dari lapangan, serta mendorong verifikasi informasi.
GAPKI sendiri telah melakukan beberapa bentuk sinergi dengan media di Kalbar, seperti: Buka puasa bersama tiap tahun. Kerja sama dengan AMSI untuk distribusi minyak goreng saat krisis. Kolaborasi dengan Antara Kalbar dalam program penanaman pohon.
Ini adalah langkah awal yang menjanjikan untuk membangun hubungan yang sehat antara industri dan media.
Dengan sinergi ini, informasi yang disampaikan kepada publik bisa lebih akurat, objektif, dan bermanfaat.
Ingat! Transparansi Adalah Kunci Percaya Publik
Boni menekankan bahwa GAPKI mendorong pelaku usaha untuk terbuka dan transparan terhadap publik. Termasuk dalam hal data, kontribusi, dan bahkan persoalan yang dihadapi industri sawit.
“Tanpa transparansi, kepercayaan publik sulit dibangun,” ujarnya. Ia percaya bahwa dengan membuka diri dan menjalin komunikasi yang baik dengan media, maka citra industri sawit bisa berubah dari yang selama ini sering kali dicitra buruk.
Menuju Harmoni Sawit, Media, dan Rakyat
Konferwil III AMSI Kalbar bukan hanya sekadar acara seremonial belaka. Ini adalah momentum di mana berbagai pihak mulai merangkul satu sama lain—industri sawit, media, dan pemerintah—dalam upaya menciptakan harmoni saling menguntungkan.
Saat ini, sawit bukan hanya soal produksi dan profit semata. Lebih dari itu, ia adalah cerita tentang manusia—petani, pekerja, anak-anak sekolah, ibu rumah tangga—yang hidupnya tersentuh oleh komoditas emas hijau ini.
Di tengah dinamika informasi yang begitu cepat, media menjadi penjaga gerbang utama.
Bukan hanya penyampai informasi, tapi juga penyeimbang narasi, pembawa fakta, dan mitra dalam membangun kepercayaan.
Sebagaimana harapan Boni, sinergi ini akan terus berkembang di Provinsi Kalimantan Barat.
Dengan dukungan pemerintah, partisipasi masyarakat, dan peran aktif media, sawit di Kalbar bisa menjadi teladan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.***