Gelombang Usulan Amnesti Akil Mochtar, Suara Kemanusiaan Kalimantan Barat Mengetuk Istana (Bagian Satu)

Akil Mochtar dan SBY

PONTIANAK, borneoreview.co – Di Kota Pontianak, pagi kerap lahir perlahan. Sungai Kapuas mengalir tenang. Membawa cerita lama. Luka lama. Harapan baru dan optimisme.

Dari kota sungai inilah, seikat surat bergerak menuju Jakarta.

Bukan surat biasa. Dokumen tebal berisi permohonan amnesti bagi Akil Mochtar, mantan Hakim Konstitusi periode 2008–2013, dan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi, April hingga Oktober 2013.

Akil Mochtar sosok kontroversial. Ia tokoh daerah, sekaligus manusia penuh paradoks. Surat itu memikul suara kolektif, bukan sekadar pembelaan pribadi.

Permohonan resmi tertanggal 7 Desember 2025, mengatasnamakan tim pemohon amnesti Akil Mochtar.

Alamat tertulis rapi. Tanda tangan berbaris. Tembusan mengalir hingga DPR RI, Kementerian Hukum, Imigrasi dan Pemasyarakatan.

Setiap halaman memuat satu pesan sama. Permohonan amnesti berangkat dari pertimbangan kemanusiaan, rekam kontribusi sosial, serta fakta hukum berupa ketiadaan kerugian keuangan negara, maupun denda finansial.

Amnesti Akil Mochtar

Di balik frasa hukum, tersimpan narasi kemanusiaan. Hukuman seumur hidup. Hukuman seumur hidup adalah, pidana penjara yang dijalani terpidana, selama sisa hidupnya hingga meninggal dunia.

Hukuman seumur hidup, bukan berdasarkan usia saat divonis, dan berakhir saat terpidana meninggal. Ini adalah bentuk hukuman paling berat di Indonesia, selain pidana mati.

Kini, Akil Mochtar sudah 12 tahun menjalani hukuman. Bukan waktu singkat.

Dalam bundelan surat demi surat, nyaris seragam kalimat muncul.

Telah menjalani hukuman belasan tahun. Perilaku dinilai baik. Tidak ada kewajiban uang pengganti. Tidak ada denda. Tidak ada kerugian keuangan negara.

Kalimat berulang ini bukan kebetulan. Ia jadi pondasi argumen moral. Bukan sekadar teknis hukum.

Misalnya, surat dari Majelis Wilayah KAHMI Kalimantan Barat, menyampaikan permohonan keringanan hukuman dengan bahasa tertib, tenang, dan penuh hormat.

Mereka menempatkan Akil Mochtar sebagai tokoh daerah. Akil figur yang pernah berkontribusi bagi pengembangan kebudayaan,

Akil Mochtar
Akil Mochtar dalam salah satu kunjungan kerja ke pengajian dan majlis taklim.(Ist)

keharmonisan sosial, serta pemikiran hukum nasional.

Dalam pandangan mereka, amnesti tidak sekadar penghapusan hukuman, melainkan jalan pemulihan martabat sosial. Juga kesempatan rekonsiliasi masyarakat

Dukungan dari Kalimantan Barat

Daftar dukungan membentang panjang. Hampir seperti sensus sosial. Dari Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), Dewan Adat Dayak (DAD), KAHMI lintas kabupaten, KNPI, BKPRMI, Nasyiatul Aisyiyah, hingga sanggar budaya. Nama kesultanan muncul berurutan.

Pakunegara Tayan. Surya Negara Sanggau. Kessultanan Matan Tanjungpura. Di luar struktur adat, hadir pula akademisi, praktisi media, petani, pengurus RT, hingga kelompok tani desa pesisir.

Para pengusul permohonan amnesti ini, bukan saja datang dari Kalbar, tapi ada juga dari dearah lain di Indonesia. Misalnya, dari Riau, Jabar, Kepri, Bengkulu, Jambi, Sulut, Sulteng, Indramayu, Cianjur, Kota Bandung dan lainnya.

Dukungan itu bukan sekadar formalitas tanda tangan. Ia mencerminkan jaringan sosial luas Akil Mochtar, sebelum terjerat perkara.

Dalam perspektif sosiologis, ini menandakan modal sosial masih hidup. Komunitas tak sepenuhnya memutus ikatan. Mereka memilih jalan pemakluman bersyarat, bukan penghapusan ingatan.

Bagi masyarakat Melayu Kalimantan Barat, figur publik sering dipandang utuh. Kesalahan diakui. Tapi, jasa masa lalu tidak dilenyapkan.

Prinsip ini terlihat jelas dalam surat dari para Kesultanan. Raja Tayan XIV, Raja Sanggau, Raja Matan Tanjungpura menyebut, amnesti sebagai langkah membesarkan hati masyarakat. Bukan semata mengangkat individu.

Keadilan Restoratif Nasional

Dalam hukum modern, amnesti kerap diposisikan sebagai instrumen politik hukum. Namun, dokumen ini menggeser sudut pandang. Narasi amnesti digeser menuju keadilan restoratif.

Fokus bukan pembalasan, melainkan pemulihan relasi sosial. Dalam banyak surat, tersirat satu gagasan.

Hukuman telah dijalani. Efek jera sudah terjadi. Waktu panjang di balik jeruji, telah mengikis kekuasaan simbolik.

Organisasi keagamaan turut menambahkan dimensi spiritual. Rabithah Alawiyah Pontianak, bahkan mengutip ayat Al Quran, menyeru lapang dada, pengampunan, serta nilai rahmah.

Pendekatan ini memperluas makna amnesti. Bukan hanya legal formal, melainkan etika publik berbasis nilai kemanusiaan universal

Suara Pemuda Daerah

Menarik, dukungan juga datang dari struktur mahasiswa. HMI cabang Kubu Raya, Singkawang, Sambas, Sintang, Badko HMI Kalimantan Barat menyuarakan hal serupa.

Akil Kunjungan di Kampung Dayak
Akil Mochtar dalam salah satu kunjungan di Kampung Dayak di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.(Ist)

Generasi muda memilih membaca kasus ini secara kontekstual. Mereka tidak menutup mata atas kesalahan. Namun, menilai hukuman panjang telah memenuhi rasa keadilan substantif.

Bagi mereka, amnesti bukan hadiah. Melainkan penanda negara mampu bersikap proporsional. Negara tegas saat menghukum.

Negara bijak saat memberi pengampunan. Dua sikap itu tidak saling meniadakan. Justru saling menguatkan legitimasi hukum.

Di titik ini, permohonan amnesti berubah dari isu personal, menjadi refleksi negara hukum.

Presiden dan DPR RI ditempatkan sebagai pemegang kebijakan moral tertinggi. Dokumen berulang kali menyebut harapan. Harapan kemanusiaan. Harapan kebijaksanaan. Harapan rekonsiliasi.

Tidak ada glorifikasi berlebihan. Tidak ada pengingkaran kesalahan. Justru pengakuan masa lalu, berjalan beriringan dengan permintaan pengampunan.

Ini membuat dokumen terasa matang, bukan emosional.

Dalam perspektif jurnalisme naratif, kisah ini berbicara tentang perjalanan panjang manusia, komunitas, serta negara.

Dari ruang sidang menuju ruang refleksi. Dari vonis menuju pertanyaan lebih besar. Sampai kapan hukuman berhenti menjadi alat keadilan, selanjutnya berubah jadi beban sosial.

Surat telah sampai di Istana. Jawaban belum tiba. Sungai Kapuas tetap mengalir. Di hulu harapan bertumbuh pelan. Di hilir, sejarah mencatat satu bab penting lagi.

Apakah negara memilih mengampuni, atau menutup pintu maaf.

Apa pun keputusan nanti, gelombang suara dari Kalimantan Barat telah tercatat, sebagai bagian percakapan nasional tentang keadilan, kemanusiaan, serta kebijaksanaan kekuasaan.***

One thought on “Gelombang Usulan Amnesti Akil Mochtar, Suara Kemanusiaan Kalimantan Barat Mengetuk Istana (Bagian Satu)

  1. Amnesti bagi Pak Muhammad Akil Mochtar adalah wujud keadilan yang manusiawi dan kesempatan kedua bagi seseorang untuk menebus kesalahan. Keputusan ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya menuntut hukuman, tetapi juga memberi ruang bagi pengampunan dan rehabilitasi. Dengan tidak adanya denda atau uang pengganti, amnesti ini menegaskan hak prerogatif negara untuk memberikan pengampunan penuh, sekaligus membuka jalan bagi beliau untuk kembali berkontribusi positif bagi masyarakat.

    Memberikan amnesti bukan berarti mengabaikan kesalahan, tetapi menunjukkan bahwa negara percaya pada kemampuan setiap individu untuk berubah dan memperbaiki diri. Langkah ini juga menjadi teladan bahwa hukum dapat berpihak pada kemanusiaan, bukan semata hukuman belaka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *