Gendang Gendis: Ikan Khas Parit Kota Pontianak Saat Ini Sulit Ditemukan

Ikan Gendang Gendis

PONTIANAK, borneoreview.co – Masa kecil di kampong halaman di Kota Pontianak, kegiatan bermain di ruang terbuka yang kualami cukup beragam.

Ada banyak lapangan rumput luas di dalam dan sekitar tangsi militer tempatku tinggal di Kota Khatulistiwa. Kebun-kebun rambutan atau buah-buahan lainnya masih banyak, yang juga terkadang dipadukan dengan ubi kayu atau sayuran, di perkampungan yang ada di sekitaran tangsi.

Pun, gertak dan parit, menjadi tempat permainan yang menarik bagiku di masa itu, dengan ikan gendang-gendis di parit.

Karena seringnya bermain di sekitaran gertak (jalan dari kayu yang menghubungkan rumah-rumah ke jalanan beraspal) dan parit, pemahaman mengenai flora dan fauna juga bertumbuh.

Kegiatan memancing ikan dan belut, nyerok (menangkap ikan dengan serokan), mbendong (membendung parit kecil untuk dikeringkan airnya.

Kemudian, ikan yang terjebak ditangkapi atau sekedar berenang dan bermain bola di parit mewarnai hari-hariku dulu.

Dahulu, ekosistem parit yang ada di kampong halamanku cukup kaya dan beraneka. Jauh sekali berbeda kondisinya dengan keadaan saat ini.

Salah satu fauna unik, yang kini sangat sulit kutemui di parit-parit di kampong halaman adalah ikan gendang-gendis.

Ikan kecil berukuran sekitar 2-2,5 cm ini memiliki nama latin Brachyangobius doriae.

Tubuh kecilnya memiliki warna dasar hitam atau hitam kebiruan, dengan tiga lingkaran warna kuning, di kepala, di dekat sirip punggung dan di dekat pangkal ekor.

Akibat bentuknya yang menyerupai tawon, tak mengherankan, jika ikan ini di dalam bahasa dagangnya dikenal sebagai bumblebee goby.

Sebaran keberadaannya sesungguhnya tak terlampau luas. Hanya dijumpai di sebagian Pulau Kalimantan. Yakni, Serawak, Brunai dan Pantai Barat Kalimantan, serta beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau.

Literatur menyatakan, ikan ini merupakan penghuni eksosistem air tawar dan air payau, yang terbatas di dataran rendah dan pesisir, seperti: rawa mangrove, estuaria dan daerah pasang surut.

Seingatku dulu, di parit ikan ini lebih mudah dijumpai di antara tanaman air seperti alga, hidrilla atau teratai.

Agak sulit menjumpainya di kolam-kolam yang tak terhubung langsung dengan parit.

Ikan ini juga hampir sulit ditemui di parit-parit yang kotor, tercemar dan penuh sampah.

Ia bak indikator alami untuk menilai kesehatan parit yang baik, karena sifatnya yang steno, dimana kemampuannya yang rendah dalam mentolerir perubahan lingkungan.

Hampir tak ada yang mau memeliharanya ikan ini. Selain tak bernilai ekonomi, sebagian dari kami juga beranggapan bahwa ikan ini dapat berubah menjadi ular belang yang berbisa, karena warnanya yang menyerupainya.

Maklumlah, saat itu pengetahuan yang terbatas dan tingginya kepercayaan kami pada hal-hal mistis.

Beberapa kali, secara sengaja, aku mencoba mengamati parit-parit yang ada di saat pulang kampong. Namun, tak lagi pernah kujumpai ikan ini.

Pembuangan sampah ke parit dan meningkatnya pemakaian bahan kimia dalam kegiatan domestik penduduk mungkin menjadi penyebab utamanya.

Meskipun masih dikategorikan least concern dalam status konservasinya, dapat saja kelak ikan ini hanya menjadi fauna yang ada dalam cerita. Sebab, tak lagi dapat diperlihatkan wujud aslinya.(br)

Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *