YOGYAKARTA, borneoreview.co – Geolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Pri Utami menyebut penelitian geosains penting sebelum melakukan eksplorasi panas bumi dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Pri dalam keterangannya di Yogyakarta, Jumat, (12/9/2025), mengatakan pengembangan panas bumi pada tahap eksplorasi memiliki risiko investasi yang tinggi, dengan biaya pemboran per sumur sekitar 10 juta dolar AS.
“Menurunkan risiko tersebut diperlukan investasi berupa penelitian geosains (geologi, geokimia dan geofisika) untuk menduga keadaan bawah permukaan secara lebih rinci,” ujar dia.
Ia menuturkan pengembangan energi panas bumi saat ini difokuskan pada sistem hidrotermal bertemperatur tinggi di daerah gunung api berumur muda (Kuarter), dengan syarat ditemukannya fluida panas bertemperatur 225-300 derajat Celsius, pH netral pada batuan permeabel, dan kedalaman 1-3 kilometer.
Meski eksplorasi panas bumi memerlukan biaya besar, Pri menilai proyek PLTP ini membuka berbagai manfaat sosial dan ekonomi.
“Pelaksanaan proyek mulai dari eksplorasi hingga pengembangan lapangan membutuhkan tenaga kerja lokal yang banyak, serta membuka peluang usaha pendukung seperti katering, akomodasi, transportasi dan jasa lain,” kata dia.
Selain itu, beberapa lapangan panas bumi juga mampu menghasilkan produk samping berupa mineral yang dapat diolah menjadi penyubur atau penguat tanaman, sehingga upaya peningkatan pasokan energi listrik lewat PLTP turut mendorong ketahanan pangan.
Kendati begitu, Pri mengingatkan pengembangan area panas bumi tetap berisiko terhadap lingkungan.
Dampak yang mungkin timbul antara lain debu dari mobilisasi peralatan berat, kebisingan saat pemboran, hingga perubahan lanskap akibat instalasi PLTP.
Namun, langkah mitigasi seperti pembersihan area terdampak, penggunaan mesin pemboran modern, instalasi peredam suara, dan penanaman kembali area yang dibuka sementara dapat meminimalkan dampak tersebut.
“Dengan cara pembersihan area terdampak, memasang instalasi peredam suara, penggunaan mesin pemboran yang modern, penanaman kembali pada area yang dibuka sementara untuk operasional pemboran, dan masih banyak lagi,” kata dia.
Dalam aspek sosial, Pri menekankan pentingnya edukasi publik terkait energi panas bumi.
Menurut dia, panas bumi bukan komoditas seperti migas atau batu bara, melainkan aset energi kompetitif yang memerlukan investasi SDM untuk menurunkan risiko eksplorasi.
“Harus ada investasi SDM untuk menurunkan risiko biaya eksplorasi dan meningkatkan keandalan teknologi pemanfaatannya,” ujar dia. (Ant)