Site icon Borneo Review

Gua Kafir: Menyusuri Keheningan Ekosistem Terancam Rusak di Perut Bumi

Gua Kafir

Gua Kafir di Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, tersimpan dunia lain yang sunyi,.(Foto ANTARA)

TASIKMALAYA, borneoreview.co – Di balik perbukitan kapur di Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, tersimpan dunia lain yang sunyi, lembap, dan gelap abadi.

Dunia itu bernama Gua Kafir, sebuah gua horizontal yang membentang sepanjang sekitar 450 meter, sejauh yang telah dieksplorasi oleh tim gabungan penelusur gua.

Namun, eksplorasi secara horizontal ini belum tuntas. Di dalam kegelapan, masih banyak percabangan dan lorong yang belum terpetakan karena belum terjamah.

Bahkan diduga ada jalur ke luar lain yang disebut-sebut terhubung dengan Gua Safarwadi, yang letaknya tidak jauh dari Kafir.

Gua Kafir bukan sekadar ruang batu berlumut dan berstalaktit.

Ia adalah sistem sungai bawah tanah, menjadi bagian dari jaringan hidrologi alami kawasan Bantarkalong.

Sumber airnya berasal dari area persawahan di permukaan, merembes masuk dan mengalir di bawah tanah sebelum keluar kembali ke sistem lain.

Saat musim hujan tiba, aliran ini berubah drastis menjadi deras dan berbahaya.

Ketika musim hujan, air dapat naik hingga menyentuh atap gua, menandakan betapa besar potensi banjir bawah tanah yang mengintai para penelusur.

Ketua Caves Society (CS) Aris Rifqi Mubaraq, di sela ekspedisi selama dua hari itu, mengatakan, “Gua ini hidup, airnya bergerak, dan setiap musim hujan bisa berubah menjadi sangat berisiko.”

Dalam ekspedisi pada 4-5 Oktober itu, tim penelusur menandai bekas genangan di dinding gua. Yang menunjukkan betapa tingginya muka air ketika debit sungai meningkat.

Ekosistem Tak Terlihat

Meski tampak gelap dan tak bersuara, Gua Kafir menyimpan kehidupan yang tidak kalah menarik dari ekosistem permukaan.

Di sela-sela batu basah dan genangan air, para penelusur menemukan beragam fauna khas gua (troglobit dan troglofil).

Di antaranya, kelelawar pemakan serangga, kalacemeti, kalacuka, jangkrik, kepiting gua, kodok, serta beberapa jenis laba-laba.

Kehadiran kelelawar pemakan serangga, menurut kalangan biologi, menjadi penanda penting.

Hewan malam ini bukan hanya penghuni gua, tetapi juga penjaga ekosistem pertanian di luar.

Dengan daya jelajah yang luas, kelelawar membantu mengendalikan populasi hama di area persawahan dan perkebunan sekitar Bantarkalong.

Namun, tak semua bagian gua terasa ramah. Tim ekspedisi tersebut merasakan pengapnya udara dan mencium bau menyengat di sepanjang lorong dengan panjang 200 meter pertama Gua Kafir.

Bau khas amonia itu berasal dari penumpukan guano atau akumulasi kotoran kelelawar dan burung laut yang padat yang menimbun selama bertahun-tahun tanpa pengurai alami.

Tidak adanya mikroorganisme pengurai membuat guano menimbulkan aroma kuat yang menggantung di udara.

“Begitu melewati area itu, udara mulai lebih segar. Populasi kelelawarnya semakin sedikit, mungkin karena faktor kelembapan dan sirkulasi udara yang berbeda,” kata Aris.

Jejak Ritual

Selain keindahan geologinya, Gua Kafir menyimpan kisah lain yang membuat bulu kuduk berdiri.

Di beberapa titik, tim penelusur menemukan lapak-lapak kecil ruang sederhana di batuan datar yang tampak digunakan untuk bersemedi atau bertapa.

Ada sisa-sisa dupa, kain, dan batu-batu yang disusun membentuk altar kecil yang ditemukan penelusur gua itu.

Belum diketahui sejak kapan aktivitas itu dilakukan di sana. Namun warga sekitar menyebut gua ini memang kerap dikunjungi orang-orang yang mencari “ketenangan batin”.

Atau, tujuan spiritual tertentu, bahkan ada yang dikaitkan dengan praktik pesugihan.

Fenomena ini terasa ironis, mengingat kawasan Pamijahan di Tasikmalaya dikenal sebagai pusat penyebaran Islam.

Juga masih kuat memegang tradisi keagamaan, serta adat Sunda yang berakar pada nilai-nilai religius.

“Ini jadi cermin kontras antara spiritualitas, mitos, dan keindahan alam dan dijadikan laboratorium alam,” kata Aris.

Menjaga Alam

Para penelusur gua sepakat, Gua Kafir memiliki nilai ekologis yang tinggi dan perlu dijaga kelestariannya.

Selain karena menjadi habitat alami kelelawar, ekosistem gua juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan hidrologi kawasan.

Air yang mengalir di dalam gua menjadi indikator kesehatan tanah dan daerah tangkapan air di permukaan.

Kalau wilayah sekitar gua rusak misalnya karena alih fungsi lahan, limbah, atau penebangan pohon maka sistem bawah tanah ini juga bakal akan terganggu.

Jika sudah begitu, air bisa tercemar, populasi fauna gua bisa menurun, dan fungsi ekologinya akan hilang.

Upaya konservasi yang direkomendasikan mencakup penataan kawasan sekitar mulut gua, pelarangan aktivitas destruktif, serta edukasi masyarakat tentang pentingnya peran kelelawar sebagai pengendali hama alami.

Di sisi lain, potensi Gua Kafir sebagai objek wisata minat khusus, seperti ekowisata speleologi, juga dapat dikembangkan secara terbatas, dengan tetap mengutamakan aspek konservasi dan keselamatan.

Kolaborasi 

Ekspedisi ke Gua Kafir ini dilakukan oleh tim gabungan dari berbagai komunitas speleologi dan pecinta alam.

Seperti, Caves Society (CS), Tasikmalaya Caving Community (TCC), Bandung Speleological Activity (BSA), Mapala Parahita, Mapak Alam Bandung, Guntapala, Sispala Trigawaran, Sispala Sapala 67, Sispala Tracker, Sispala Phipetala, Bardapa Adventure, dan Alkahfi Adventure.

Dengan semangat kolaborasi, mereka menelusuri lorong-lorong gelap untuk memetakan, mendokumentasikan, dan memahami ekosistem gua secara ilmiah.

Misi ini bukan sekadar eksplorasi fisik, melainkan juga upaya membangun kesadaran lingkungan bahwa keindahan alam tidak selalu berada di permukaan.

Keindahan alam terkadang tersembunyi jauh di bawah tanah, menunggu untuk dijaga dan dihargai.

Gua Kafir adalah potongan kecil dari sistem alam yang besar dan rumit. Ia menyimpan air, kehidupan, bahkan kisah spiritual manusia.

Di antara gelapnya batu dan bunyi tetes air yang konstan, gua ini menjadi saksi bagaimana alam dan manusia berinteraksi kadang bijak, kadang lalai.

Menjaga Gua Kafir bukan hanya soal melindungi kelelawar atau aliran air bawah tanah.

Lebih dari itu, ia adalah upaya menjaga keseimbangan antara manusia dan bumi, agar generasi berikutnya masih bisa mengenal keheningan dan keajaiban dunia bawah tanah ini.***

*) Adeng Bustomi, pewarta foto ANTARA yang mengikuti ekspedisi menelusuri Gua Kafir

Exit mobile version