Gubernur Ria Norsan dan Wamen HAM Mugiyanto, Bawa Kepedulian Kota HAM dan Kemanusiaan

Rapat Kerja bidang HAM di Singkawang

SINGKAWANG, borneoreview.co – Langit Kota Singkawang, Kamis (13/11/2025) pagi, tak hanya menggantung awan lembut, dan semilir lembut angin pantai dan sejuk bebukitan.

Juga beban moral, memaknai ulang arti kemanusiaan sebagai cermin keadilan sosial dalam pembangunan.

Di Ballroom Hotel Swiss-Belinn, empat sosok penting duduk sejajar. Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan. Wakil Menteri HAM Mugiyanto. Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto. Dan, tentu saja tuan rumah, Wali Kota Singkawang, Tjhai Cui Mie.

Mereka hadir bukan sekadar berbicara tentang hak. Melainkan tentang sesuatu yang sering hilang, di balik tumpukan berkas kebijakan.

Mereka bertemu dalam rapat kerja pemerintah daerah bidang HAM. Kegiatan itu menjadi bagian dari Peringatan Hari HAM Sedunia ke-77, bertema, “Pemerintah Daerah dan Hak Asasi Manusia: Dari Komitmen ke Implementasi.”

Tema yang terdengar formal. Tapi di ruang ini, kata-kata itu menggema sebagai pengingat. HAM bukan saja tentang konsep, melainkan napas kehidupan itu sendiri.

Gubernur Ria Norsan memberikan kata sambutan, “Kalimantan Barat adalah miniatur Indonesia. Kita hidup berdampingan dalam keberagaman suku, agama, dan budaya.”

Di sinilah kekuatan kita, tutur Gubernur Ria Norsan. Suaranya mengalun lembut, tapi menyimpan tekad keras.

“Toleransi dan saling menghormati adalah nilai yang harus kita wariskan,” ucapnya menambahkan.

Kata-kata itu mengguncang ruang. Di tengah dunia yang makin bising oleh politik dan kebencian, Gubernur Kalbar Ria Norsan seolah mengingatkan:

“Manusia tetaplah pusat dari segala pembangunan. Bukan sekedar angka. Bukan pula proyek.”

Wajah Kemanusiaan

Gubernur Kalbar, Ria Norsan tahu betul, berbicara HAM di tingkat daerah, tidak semudah menulisnya dalam laporan tahunan.

Mantan Bupati Mempawah dua periode itu bicara dengan nada jujur dan tenang, “Hak asasi manusia bukan hanya soal regulasi, tapi bagaimana manusia diperlakukan dengan adil dan bermartabat.”

Rapat Kerja bidang HAM di Singkawang
Gubernur Ria Norsan memberi sambutan pada Rapat Kerja bidang HAM di Singkawang, Kamis (13/11/2025).(Ist)

Kalimat itu terasa mengalir lembut. Masuk ke relung hati peserta di ruangan yang berudara sejak AC tersebut.

Sebab, di luar gedung mewah ini, masih ada perempuan takut melapor kekerasan yang dialami. Anak belum mendapatkan kesempatan bersekolah dengan layak. Atau, warga belum merasakan pelayanan publik yang manusiawi.

Namun, Kalimantan Barat juga sedang berjuang. Gubernur Kalbar Ria Norsan memaparkan data. Bukan untuk berbangga. Tapi sebagai bukti, kerja kemanusiaan tak boleh berhenti di retorika atau sekedar wacana.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar tahun 2025, mencapai 72,09. Naik 0,90 poin dari tahun sebelumnya. Angka kemiskinan turun ke 6,16 persen, dan Gini Ratio 0,316.

“Menandakan pemerataan lebih baik,” ucapnya menjelaskan.

Ia menegaskan, pencapaian itu bukan angka kering. Itu wajah manusia. Hasil kerja keras seluruh elemen. Dari pemerintah hingga masyarakat sipil.

“Kami ingin memastikan, tak ada warga tertinggal dari pembangunan,” tegasnya.

Namun di balik keberhasilan itu, ia juga jujur mengaku. Masih ada luka. Ada konflik sosial kecil, diskriminasi menetes pelan, dan kebijakan publik, belum sepenuhnya berpihak pada yang lemah.

Di titik inilah, rapat kerja itu menemukan maknanya sebagai ruang refleksi. Bukan ruang formalitas.

Ia menegaskan, pemerintah ingin bahwa masyarakat merasakan kehadiran negara.

“Bukan hanya dalam bentuk kebijakan. Tapi dalam pelayanan yang manusiawi dan bermartabat,” ucapnya menggema.

Makna Suara Nurani

Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto memecah suasana dengan metafora yang tak biasa.

“Balai Kota Singkawang itu balai kota termahal di dunia,” ujarnya, membuat peserta tersenyum.

Ada tulisan ‘The Most Tolerant City’ di depan bangunan.

“Itu bukan soal anggaran. Bahkan, uang Rp500 miliar pun tak cukup untuk membeli, keberanian seperti itu,” ucap Wamen Bima Arya.

Ucapan itu tak hanya pujian. Ia sebentuk pengakuan moral, terhadap kota di pesisir utara Kalimantan Barat. Yang dapat hidup damai dalam keberagaman, tanpa takut identitasnya tercabik.

Singkawang bukan kota besar. Tapi, ia jadi simbol. Harmoni bisa tumbuh tanpa subsidi. Selama manusia saling menghormati.

Wamen Bima Arya menegaskan, komitmen terhadap HAM adalah bagian dari Asta Cita, visi nasional yang menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan.

“Dari ketahanan pangan, sekolah rakyat, sampai penyediaan lahan, semuanya bagian dari pemenuhan hak asasi dasar,” tutur Bima Arya.

Tapi ia tak berhenti di tataran konsep. Ia menantang kepala daerah, agar tak hanya bicara HAM di podium.

“Visi HAM tak boleh berhenti di kepala daerah. Harus sampai ke lurah dan camat. Keterbatasan anggaran bukan alasan, untuk tidak memajukan HAM,” tegasnya.

Menenun Makna Toleransi

Wakil Menteri HAM, Mugiyanto yang hadir dalam kegiatan, memberikan pesan filosofis.

“Hak asasi manusia bukan urusan kementerian semata. Melainkan urusan nurani, setiap pemimpin daerah,” kata Wamen HAM, Mugiyanto.

Rapat Kerja bidang HAM di Singkawang
Wakil Menteri HAM, Mugiyanto memberi sambutan pada Rapat Kerja bidang HAM di Singkawang, Kamis (13/11/2025).(Ist)

Di penghujung acara, tepuk tangan kembali bergema. Bukan karena protokol, tapi ada kesadaran bersama. Bahwa, manusia adalah pusat dari segalanya.

Jelang akhir kegiatan, Gubernur Kalbar Ria Norsan menutup dengan acara dengan kalimat nyaris puitis, “HAM adalah napas pembangunan. Jika manusia tak lagi dihormati, maka pembangunan kehilangan arah.”

Kata-kata itu menggema di ruang hotel. Menembus kaca jendela. Mungkin juga melayang ke jalanan Kota Singkawang.

Kota yang menolak lupa. Bahwa, perbedaan bukan ancaman, melainkan pelajaran berharga.

Rapat Kerja Pemerintah Daerah (Rakerda) bidang HAM, dan Konferensi Kota Toleran (KKT) Tahun 2025 di Singkawang, bukan hanya soal pertemuan pejabat.

Ia jadi pengingat. Tanggung jawab melindungi manusia, bukan tugas sesaat. Ia adalah perjalanan panjang. Yang harus dijaga setiap hari.

Sebab, seperti yang diucapkan seorang tokoh lokal seusai rapat, HAM itu bukan kata besar. Ia sebentuk hal-hal kecil. Misalnya, bagaimana kita saling menyapa, mendengar, dan menghargai.

Di Kota Singkawang, nilai-nilai itu hidup. Mungkin, karena di Singkawang, manusia masih punya tempat di hati negara.(AM)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *