MALUKUUTARA, borneoreview.co – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Simpul JATAM Maluku Utara meluncurkan catatan pedas, terkait bisnis tambang di Maluku Utara.
Laporan bertajuk, “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara” itu menguak tabir, Rabu (29/10/2025).
Sorotan utama tertuju pada konsentrasi kekuasaan dan jaringan bisnis ekstraktif keluarga Sherly Tjoanda, sebelum dan setelah ia menduduki kursi puncak di Maluku Utara.
“Sherly juga tercatat sebagai direktur sekaligus pemegang saham 25,5 persen di PT Bela Group, perusahaan induk yang menaungi beragam lini bisnis keluarga Laos,” tegas Koordinator JATAM, Melky Nahar.
Gubernur Sherly Tjoanda tak cuma tampil sebagai aktor politik. Ia juga pebisnis tambang yang terafiliasi dengan jejaring perusahaan yang menguasai lahan dan sumber daya alam provinsi itu.
Jejak-Jejak Kuasa
Temuan inti laporan membeberkan pola dukungan pemerintahan Sherly Tjoanda kepada korporasi tambang.
Ini terjadi sementara warga menghadapi kekerasan, kriminalisasi, intimidasi, dan kehilangan ruang hidup akibat serbuan industri ekstraktif.
Narasi pertumbuhan ekonomi dua digit yang dibanggakan ternyata tak menyentuh realitas akar rumput. Dampak sosial dan ekologis justru kian dalam.
Kriminalisasi warga Maba Sangaji serta penolakan warga di Pulau Obi dan Halmahera hanyalah segelintir contoh konflik agraria dan lingkungan yang sering diabaikan.
Laporan ini mengungkap tentakel bisnis keluarga Gubernur Sherly Tjoanda yang menjalar luas. Jejaringnya meliputi:
– PT Karya Wijaya (tambang nikel di Gebe)
– PT Bela Sarana Permai (pasir besi di Wooi Obi)
– PT Amazing Tabara (emas)
– PT Indonesia Mas Mulia (emas)
– PT Bela Kencana (nikel)
Seluruhnya berada di bawah kelompok keluarga Laos-Tjoanda. Kepemilikan mayoritas, jabatan komisaris, dan kendali operasional yang erat dengan pejabat publik memunculkan isu konflik kepentingan akut.
Di PT Karya Wijaya, kepemilikan saham berubah drastis akhir 2024. Gubernur Sherly Tjoanda menjadi pemegang saham terbesar (71%), menggantikan Benny Laos yang wafat.
Sisanya dibagi rata ke tiga anaknya (masing-masing 8%). Pergeseran ini menandai fase transisi kendali bisnis keluarga.
Selain di Karya Wijaya, Gubernur Sherly Tjoanda tercatat sebagai direktur dan pemegang saham 25,5% di PT Bela Group, induk dari beragam lini bisnis.
Kepemilikan mendiang suaminya masih terlihat di entitas bawah grup: PT Bela Kencana (40%), PT Bela Sarana Permai (98%), dan PT Amazing Tabara (90%).
Anggota keluarga dekat, seperti Robert Tjoanda, juga memegang saham kecil (1%), mengonfirmasi jaringan perusahaan terintegrasi dalam lingkar keluarga.
Wilayah operasi perusahaan-perusahaan ini tersebar luas, mencerminkan cengkeraman kuat jejaring usaha keluarga Laos-Tjoanda di sektor sumber daya alam Maluku Utara.
PT Karya Wijaya mengelola dua konsesi nikel: di Pulau Gebe (500 hektare, izin 2020) dan Halmahera (1.145 hektare, izin Januari 2025).
Izin terbit Januari 2025 ini bertepatan dengan momentum Pilgub, saat Sherly mencalonkan diri menggantikan suaminya.
Kelompok ini juga aktif di emas dan tembaga melalui PT Indonesia Mas Mulia (4.800 hektar di Halmahera Selatan). Sektor pasir besi dikuasai lewat PT Bela Sarana Permai di Pulau Obi (4.290 hektare).
Potensi pelanggaran kepentingan muncul dari tumpang tindih kewenangan eksekutif dan kepentingan ekonomi.
Pembaruan izin konsesi nikel PT Karya Wijaya kerap terjadi pada masa transisi pilkada.
Proses penerbitan izinnya diduga tidak sepenuhnya sesuai prosedur: masuk sistem MODI tanpa lelang, izin PPKH belum lengkap, serta tidak ada jaminan reklamasi.

Investigasi DPR RI dan dorongan masyarakat sipil menunjukkan pengawasan terhadap operasi perusahaan milik keluarga kepala daerah sangat lemah.
Kondisi ini memungkinkan pelanggaran regulasi dan potensi kebocoran penerimaan negara.
Derita Warga Maluku Utara
Dampak ekologis dan sosial telah nyata. Deforestasi di Obi, pencemaran air di Halmahera Selatan, krisis air bersih, dan konflik di pulau Gebe akibat tumpang tindih klaim konsesi menjadi bukti tak terbantahkan.
Alih-alih melindungi warga dan ekosistem, terdapat indikasi bahwa kepentingan ekonomi keluarga justru memberi insentif bagi eksploitasi SDA yang dikendalikan pejabat publik.
Secara hukum, praktik ini bermasalah. Rangkap jabatan kepala daerah sebagai pengurus atau pemegang saham perusahaan swasta jelas dilarang.
“Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan yang secara tegas melarang pejabat publik melakukan tindakan yang berindikasi pada konflik kepentingan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat 2,” ujar Koordinator JATAM, Melky Nahar.
“Artinya, rangkap jabatan antara gubernur dan pemilik atau direktur (perusahaan tambang) adalah praktik yang dilarang dan dapat dikenakan sanksi administratif hingga pemberhentian sementara, sesuai mekanisme hukum,” lanjutnya.
Jika terjadi, maka hal tersebut masuk kategori pelanggaran etika hingga berpotensi melahirkan tindak pidana korupsi, sekaligus menjadi preseden buruk bagi kepercayaan publik kepada pemerintah, tutur Koordinator JATAM, Melky Nahar.
Praktik kepemilikan dan pengelolaan bisnis tambang kepala daerah seperti Gubernur Sherly Tjoanda, berpotensi mempengaruhi netralitas dan objektivitas keputusan pemerintah.
Jelas ini melanggar prinsip pemerintah yang bebas dari kepentingan pribadi.”
Laporan JATAM ini menjadi pengingat keras ketika kuasa politik dan kepentingan bisnis bersatu.
Yang seringkali menjadi korban adalah rakyat kecil dan lingkungan hidup yang tak bersuara.
Gurita tambang itu telah merentangkan tentakelnya, dan kini, publik menunggu tindakan tegas.
Lalu, bagaimana tanggapan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda terhadap masalah tersebut?
Dikutip dari podcast Curhat Bang Denny Sumargo, Selasa (18/11/2025), Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda lebih banyak diam menanggapi isu tersebut. Alasannya, berkaitan dengan masa adaptasi pascakehilangan sosok suami, dan kehati-hatiannya sebagai pejabat publik.
“Banyak yang bertanya kepada saya mengapa tidak memberikan klarifikasi? Sebenarnya saya enggak terlalu suka membahas masalah, mungkin karena saya belum terbiasa menjadi pejabat publik,” ucap Sherly Tjoanda .
Sherly Tjoanda butuh waktu beradaptasi dengan statusnya sebagai pejabat publik.***
