PONTIANAK, borneoreview.co – Gula merah sawit secara nama mungkin tidak sefqmiliar gula tebu, namun bukan berarti dia kalah juga soal kualitas.
Seperti namanya, gula merah sawit terbuat dari kelapa sawit, tepatnya batang tua, yang yang sudah ditebang atau replanting.
Dengan kata lain, ketersediaan gula merah sawit mengikuti norma pengelolaan perkebunan sawit dalam menjamin stabilitas produksi minyak sawit.
Melansir berbagai sumber, Senin (8/9/2025), berdasarkan pengalaman petani di berbagai daerah, pohon batang kelapa sawit yang sudah ditebang ini dapat menghasilkan air nira selama 30-40 hari dengan produksi 5-7 liter per hari.
Apabila air nira ini diolah menjadi gula, dengan tingkat rendemen gula 20 – 30 persen maka dapat dihasilkan gula sawit 1.2 – 1.75 kg/pohon/hari selama fase produksi air nira tersebut.
Artinya selama 30 hari dapat diperoleh sekitar 6.84 ton/hektar replanting. Jika luasan replanting sawit Indonesia sekitar 572 ribu hektar per tahun, maka produksi gula merah per tahun dapat mencapai 3.9 juta ton/tahun.
Cukup menggoda bukan? Berikut beberapa kelebihan gula merah sawit:
1. Gula merah sawit merupakan gula fruktosa, bukan gula sukrosa seperti dari tebu. Secara kesehatan, gula merah sawit tersebut lebih sehat daripada gula tebu.
Gula fruktosa ini bukan hal yang baru. Amerika Serikat telah mengembangkan sirup fruktosa dari jagung (high-fructose corn syrup) sejak tahun 1970-an untuk mengurangi impor gula tebu.
2. Dari segi ketersediaan (availability) gula merah sawit tersedia sepanjang tahun mengingat adanya kebun replanting sekitar 4 persen per tahun dari luas area kebun sawit.
Sehingga produksi gula merah sawit sekitar 3.7 juta ton setiap tahun akan tersedia dari perkebunan sawit.
3. Dari segi keterjangkauan (affordability) baik secara ekonomi maupun fisik/ruang terpenuhi.
Gula merah sawit yang diproduksi dari kebun sawit replanting yang tersebar pada 26 provinsi dan lebih dari 250 kabupaten, secara alamiah telah terdistribusi dan dikonsumsi secara lokal.
Mengingat sumber gula merah sawit adalah dari batang sawit saat replanting, biaya produksi tidak diperlukan kecuali biaya pemanenan dan pengolahan sederhana sehingga harga relatif terjangkau dibanding gula tebu.
4. Dari segi keberlanjutan (sustainability) gula merah sawit jelas relatif lebih sustainable.
Pemanfaatan gula merah sawit merupakan bentuk ekonomi sirkuler karena memanfaatkan limbah batang sawit yang di-replanting.
Selain itu, sumber gula merah sawit dari batang sawit yang tidak terkait dengan land use changes atau ekspansi lahan. Produksi dan konsumsi gula merah sawit juga biasanya dalam lingkup lokal.
Implikasinya produksi gula merah sawit ini memiliki jejak karbon (carbon footprint) yang mendekati nol, atau jauh lebih rendah dibandingkan gula tebu.
5. Poduksi gula merah sawit dengan cara pemanfaatan batang pohon sawit yang demikian dapat menekan hama penyakit kumbang tanduk (Oryctes) musuh utama tanaman sawit, mempercepat pengolahan batang kelapa sawit, dan mengurangi biaya replanting (untuk chipping).***