SLEMAN, borneoreview.co – Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan gunung api aktif yang masih sering erupsi.
Gunung itu pernah erupsi dahsyat pada 2010 dan menelan banyak korban jiwa dan materi.
Namun, di balik potensi bencana tersebut, Merapi menyimpan banyak potensi yang bisa mengangkat derajat ekonomi masyarakat di sekitarnya, dan menyokong pendapatan asli daerah (PAD) yang besar.
Suasana alam yang indah dengan suhu udara dingin di kaki Merapi itu menjadikan kawasan ini tempat yang cocok untuk melepas penat.
Maka tak ayal kawasan lereng Merapi sejak zaman Belanda hingga saat ini menjadi daerah tujuan wisata.
Banyak bangunan peninggalan Belanda yang terdapat di kawasan lereng Merapi, khususnya di Kaliurang, Kabupaten Sleman.
Meski sempat luluh lantak diterjang awan panas dan muntahan lahar panas saat erupsi besar pada Oktober-November 2010, sektor pariwisata di kawasan ini tidak ikut mati.
Setelah kondisi kembali aman, sektor pariwisata di wilayah itu dengan cepat bangkit dari keterpurukan.
Bahkan, memunculkan berbagai kreativitas dan inovasi yang menarik kunjungan wisatawan.
Kreativitas pelaku wisata lereng Merapi yang banyak menyita minat wisatawan di antaranya jip wisata lava tour, yaitu menyusuri kawasan bekas terdampak erupsi menggunakan jip terbuka.
Tak ayal wisata offroad itu saat ini menjadi primadona baru kawasan wisata Kaliurang di Pakem dan kawasan Kaliadem, Cangkringan, Sleman.
Emas Hitam Merapi
Tak hanya sektor pariwisata, Merapi juga menopang ekonomi masyarakat melalui jutaan meter kubik material vulkanik, baik itu bebatuan maupun pasir yang memenuhi setiap alur sungai yang berhulu di gunung itu.
Material vulkanis berupa pasir yang digelontorkan dari perut Merapi dikenal memiliki kualitas yang sangat bagus untuk bahan bangunan.
Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai “emas hitam Merapi”.
Kondisi tersebut membuat pasir dan bebatuan Merapi banyak diburu, dan ini memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sebagai penambang pasir tradisional di sejumlah aliran sungai.
Ini menjadi peluang ekonomi masyarakat di kaki Merapi.
Saat erupsi besar pada 2010, material vulkanis Merapi tak hanya memenuhi seluruh cekungan aliran sungai.
Tapi juga menimbun sungai dan kawasan pemukiman penduduk di sejumlah desa di Kecamatan Cangkringan hingga setinggi beberapa meter.
Di antara duka hancurnya perkampungan, ada harapan baru dari masyarakat dengan melimpahnya “emas hitam” di kawasan itu.
Sejak 2011, ratusan alat berat dan ribuan armada truk angkutan tambang dari pelaku penambangan modern memenuhi wilayah itu, dengan mengantongi izin atas dasar normalisasi aliran sungai yang berhulu di Merapi.
Hanya dalam 10 tahun, material sisa erupsi di kawasan aliran sungai pun habis dari.
Akibatnya, kegiatan penambangan pasir bergeser ke lahan pekarangan dan tanah-tanah di kawasan itu. Tentu saja penambangan itu juga menyasar kawasan tanah milik Kesultanan Yogyakarta.
Lahan-lahan itu di gali dengan dalam dan lebar hingga menyisakan lubang-lubang besar dan merusak lingkungan alam sekitarnya.
Sehingga pemerintah daerah mengambil langkah cepat untuk mengatasi kegiatan penambangan ilegal.
Tanam Kopi Merapi
Melihat dampak dari aktivitas penambangan itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X, dengan tegas melarang penambangan di lereng Merapi dan mendorong warga beralih menjadi petani kopi.
Guna mendukung upaya tersebut, Sultan melalui Pemerintah Provinsi DIY menyalurkan bantuan bibit tanaman kopi.
Tujuannya, supaya masyarakat yang sebelumnya mengandalkan nafkah dari penambangan pasir, mengubah mata pencaharian sebagai petani kopi.
Sultan menegaskan bahwa saat ini aktivitas penambangan tidak boleh dilakukan lagi kecuali di pinggir sungai.
Pada 2025, tiga kali sudah panen kopi di sekitar lereng Gunung Merapi yang dulunya digunakan sebagai lokasi penambangan. Masyarakat setempat turut merasakan manfaat ekonomi dari panen kopi itu.
Menurut Sultan, alih profesi tersebut membuat masyarakat tetap memperoleh penghasilan tanpa merusak alam.
“Kami usahakan untuk alih profesi agar tidak merusak lingkungan dan bisa dijaga dengan kesadaran bersama,” kata Sultan.
Dukungan tidak hanya datang dari Pemerintah Provinsi DIY, Kementerian Pertanian pun turut hadir mendukung pengembangan kopi di lereng Merapi Sleman.
Yang menjadi salah satu upaya konservasi di wilayah itu, dan menjadi daya tarik dalam kolaborasi sektor pariwisata.
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan menyebut, upaya pengembangan budi daya kopi di lereng Merapi ini, merupakan langkah strategis.
// kata kunci: pewangi ruangan alami
Selain dikenal sebagai kota pelajar, DIY khususnya wilayah Kabupaten Sleman, dikenal dengan potensi pariwisata yang sangat kaya.
Dukungan pemerintah pusat ini diwujudkan dalam bentuk bantuan yang diberikan Kementan dengan pemberian bantuan puluhan ribu bibit kopi kepada Kelurahan Umbulharjo, dan Kelurahan Glagaharjo, Cangkringan.
Atas dukungan tersebut, Bupati Sleman Harda Kiswaya mengatakan, dukungan pengembangan budidaya kopi di Kabupaten Sleman itu simbol kebangkitan, dan semangat baru bagi petani dan masyarakat Sleman dalam mengembangkan komoditas kopi.
“Kopi Merapi baik kopi robusta maupun arabica, merupakan kopi unggulan daerah Kabupaten Sleman, di mana perkebunan yang dikembangkan masyarakat berada di lahan kebun masyarakat,” kata Harda.
Pemkab Sleman menjadikan program ini untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kopi lokal, khususnya varietas robusta yang banyak dikembangkan di kaki Merapi.
Pemkab Sleman berkomitmen untuk terus mempertahankan dan mengembangkan budi daya kopi lereng Merapi sebagai bagian dari pengembangan ekonomi kerakyatan di Sleman.
Sedangkan dalam upaya pemasaran kopi Merapi, Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Sleman menggelar berbagai promosi dan kegiatan untuk mengenalkan nikmatnya kopi Merapi ini.
Salah satu yang telah dilakukan yakni, Festival Kopi Merapi di Lapangan Denggung, Sleman.
Festival itu guna lebih mengenalkan komoditas kopi kebanggaan warga Sleman, kepada masyarakat yang lebih luas lagi.
Pada Festival yang berlangsung pada 13 hingga 14 Juni tersebut, ada sebanyak 5.000 cangkir kopi Merapi yang disediakan 40 pengusaha kopi secara gratis, bagi pengunjung yang ingin mencicipi nikmatnya Kopi Merapi.
Kegiatan ini merupakan upaya serta wujud komitmen Pemkab Sleman untuk memberikan wadah dan sarana yang diharapkan mampu mempromosikan kopi Merapi kepada masyarakat luas.
Sehingga kopi yang ditanam di lereng Gunung Merapi tersebut diharapkan bisa semakin diminati para penikmat kopi.
Juga dapat memberikan manfaat ekonomi kepada para petani, dan pelaku usaha kopi di Kabupaten Sleman.
“Jika kita bicara kopi, di situ ada petaninya, ada pedagangnya, ada baristanya, ada coffee shop-nya, ada pecintanya,” kata Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa.
Maka kalau ini dikreasikan dengan baik, dijadikan ekosistem yang baik, pasti akan ada manfaat ekonominya.
Ya, hadirnya kopi Merapi menjadi jawaban, di tengah ancaman rusaknya lingkungan alam lereng Merapi, akibat penggalian pasir.
Saatnya keindahan wisata alam dan nikmatnya seduhan kopi Merapi bersanding untuk kesejahteraan masyarakat.***