JAKARTA, borneoreview.co – Suatu siang, seorang siswa tingkat sekolah menengah atas (SMA) menangis di sekolah.
Setelah diajak bicara oleh seorang guru, terungkap bahwa si anak mengalami tekanan jiwa, karena semua yang dijalaninya, saat ini, tidak sesuai dengan pilihan hati atau kesukaannya.
Ia memilih jurusan favorit di sekolah yang biasanya menjadi pilihan anak-anak pintar di bidang ilmu pengetahuan alam, dan matematika karena pilihan orang tuanya.
Si siswa bercerita bahwa tekanan itu bertambah berat, ketika orang tuanya memaksa dia untuk melanjutkan kuliah di bidang teknik atau kedokteran. Padahal, si anak ingin kuliah di jurusan psikologi.
Apa yang dialami siswa SMA ini menggambarkan kurangnya, bahkan putusnya komunikasi nyaman, terbuka, dan setara antara anak dengan orang tua.
Secara umum, masyarakat kita masih menggunakan paradigma relasi kuasa dalam membangun komunikasi dengan anak.
Orang tua masih memandang anak sebagai objek, bahkan sekadar benda yang harus dibentuk, sesuai dengan harapan mereka.
Dengan sistem relasi kuasa, orang tua memandang anak sebagai sosok yang tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan.
Orang tua menganggap mereka lebih tahu tentang hidup, karena sudah ditempa sekian puluh tahun oleh pengalaman hidup.
Tentu, pengalaman hidup itu dalam konteks yang tidak selalu nyaman.
Dengan alasan klasik agar anak-anaknya tidak mengalami “penderitaan” hidup seperti dirinya, maka si orang tua telah membuat rancangan jalan hidup anaknya sedemikian rupa.
Orang tua dengan paradigma lama ini, bahkan merancang peta hidup anaknya dengan sangat detail. Seperti pendidikan yang harus dijalani anak, pekerjaan, termasuk kriteria pasangan hidupnya.
Mereka lupa bahwa anak-anaknya itu memiliki jalan hidup sendiri yang orang tua tidak mesti tahu sepenuhnya mengenai potensi dan kesukaan si anak.
Jenis orang tua yang demikian, hampir bisa dipastikan tidak memiliki keterampilan komunikasi yang baik dengan anak.
Secara psikis, orang tua jenis ini biasanya memiliki luka jiwa yang belum selesai, akibat dari pola asuh orang tuanya di masa kecil.
Orang tua dengan pendaman luka jiwa yang belum selesai, biasanya memiliki obsesi diri yang tidak mampu diraih, yang kemudian obsesi itu dibebankan kepada anak-anaknya.
Misalnya ada seorang ibu yang di masa mudanya ingin menjadi artis, kemudian tidak tercapai, ia akan memproyeksikan harapan dirinya itu kepada anaknya, khususnya pada anak perempuan.
Demikian juga dengan seorang ayah yang memiliki cita-cita menjadi atlet atau tentara dan polisi, tapi tidak mampu diwujudkan. Juga akan mengalihkan hasrat dirinya itu kepada anak laki-lakinya.
Ibu dan ayah tadi tidak sadar bahwa anak mereka berbeda dengan dirinya.
Anak-anak yang tubuh dan jiwanya tumbuh dengan budaya dan lingkungan yang berbeda, tentu memiliki keinginan atau pilihan hidup yang tidak sama dengan dirinya.
Dalam suasana yang seperti inilah biasanya komunikasi antara anak dengan orang tua menemukan masalah.
Anak merasa tidak nyaman berkomunikasi dengan orang tua, sementara si orang tua juga merasa diremehkan oleh anak.
Anak-anak menjadi tertekan jiwanya. Beruntung jika si anak tidak memilih jalan salah untuk mengalihkan atau lari dari beban jiwanya itu.
Anak-anak yang masih mampu meredam gejolak jiwanya, mungkin bisa curhat dengan buku harian atau dengan teman-temannya yang lebih senior atau dengan guru di sekolah.
Karena itulah, orang tua perlu meluangkan waktu untuk merenung, apakah komunikasinya dengan anak sudah bagus atau belum.
Indikasi komunikasi yang kurang bagus adalah anak-anaknya tidak pernah mau bercerita mengenai pendidikannya di sekolah, atau mengenai teman-temannya dan rencana masa depan pendidikan si anak.
Jika menemukan gejala seperti ini pada anak, pelan-pelan orang tua perlu mengajak anak bicara mengenai hal-hal yang mungkin terlihat remeh.
Seperti, bagaimana pengalaman di sekolah pada hari itu. Atau mungkin diajak bicara mengenai rasa jajanan yang dibelinya di sekolah.
Jika anak sudah mau bercerita, orang tua harus mampu mengendalikan diri untuk tidak langsung berkomentar. Tunggu sampai si anak selesai bercerita, kemudian meminta pendapat orang tua.
Orang tua boleh menyampaikan pendapatnya terkait cerita si anak, ketika si anak sudah mempersilakan. Jika tidak ada tanda si anak memerlukan pendapat, orang tua cukup diam dan memerhatikan.
Sementara jika anak sudah meminta pendapat, orang tua tidak boleh menyampaikan pendapat yang penuh hasrat untuk menyalahkan si anak, karena dinilai tidak sesuai dengan harapan orang tua.
Tidak boleh ada penghakiman atas cerita si anak.
Jika penghakiman ini yang dipilih, maka si anak akan kembali pada keadaan jiwa tidak nyaman untuk berkomunikasi dengan orang tua.
Orang tua memerlukan waktu lebih lama dan pendekatan lebih khusus untuk mengembalikan kenyamanan si anak.
Sementara itu, jika orang tua mendapati anak di rumah tidak mau bercerita terbuka, maka perlu pendekatan khusus.
Misalnya, anak diajak keluar untuk makan bersama atau ke tempat rekreasi tertentu, dengan hanya berdua, misalnya hanya ibu yang ikut, tanpa melibatkan ayah.
Atau sebaliknya, hanya ayah, tanpa melibatkan ibu. Dalam psikologi, pendekatan ini dikenal dengan sebutan “bounding”.
Di tempat “bounding” itu, orang tua bisa memancing anak untuk mengomentari apa yang sedang mereka lihat.
Misalnya, anak diminta mengomentari makanan atau minuman di lokasi itu, atau indahnya lokasi tempat mereka berdua berada.
Ketika si anak sudah mau bercerita mengenai sesuatu, tunjukkan antusias orang tua untuk menanggapi.
Lagi-lagi, tanggapan itu bukan bernada menghakimi.
Tentu banyak cara lain yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk menjalin komunikasi hangat dengan anak-anaknya.
Pada akhirnya, orang tua harus menghilangkan ekspektasi yang sejatinya lebih bertumpu pada ilusi, dari impian dirinya yang tidak sampai, kemudian dibebankan kepada anak-anaknya.***