JAKARTA, borneoreview.co – Indonesia kini berada di garis depan revolusi energi dunia, yaitu nikel.
Sebagai produsen nikel terbesar dunia dengan produksi mencapai 1,6 juta ton pada 2022, Indonesia menyumbang lebih dari 38 persen pasokan global.
Nikel memegang peran strategis dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV), yang digadang-gadang sebagai solusi masa depan energi bersih dan rendah emisi.
Pemerintah pun mendorong hilirisasi nikel secara masif dengan membangun kawasan industri smelter di berbagai wilayah, mulai dari Sulawesi hingga Maluku Utara.
Langkah ini telah membuahkan hasil. Nilai ekspor produk turunan nikel meningkat hampir delapan kali lipat dalam lima tahun terakhir, dan sejumlah provinsi seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi nasional.
Namun, di balik semangat transisi energi, muncul paradoks yang mengkhawatirkan.
Hilirisasi yang ditujukan untuk mendukung ekonomi hijau justru menyisakan jejak ekologis dan sosial yang besar, terutama jika tidak dibarengi dengan tata kelola berkelanjutan dan perlindungan lingkungan serta masyarakat.
Program hilirisasi nikel memang menjanjikan peningkatan nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, dan penguatan posisi Indonesia dalam industri global. Namun, di sisi lain, proses ini menyisakan dampak lingkungan yang nyata.
Kajian yang dilakukan oleh LPEM UI pada 2025 dan Earth Journalism Network (EJN) pada 2024 menunjukkan, di Morowali, Halmahera Tengah, dan Konawe Utara — tiga kawasan industri nikel terbesar — kerusakan lingkungan telah menjadi pemandangan sehari-hari.
Di sana, hutan-hutan dibabat, sungai dan air tanah tercemar lumpur serta logam berat dari tailing tambang, bahkan air sungai berubah warna dan mengandung kontaminan berbahaya, sehingga masyarakat adat kehilangan akses serta ruang hidupnya.
Ironisnya, sebagian besar smelter nikel di Indonesia hingga kini masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
Laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyebutkan bahwa kapasitas captive coal plants untuk sektor industri telah mencapai sekitar 13 gigawatt, dan akan bertambah 21 gigawatt lagi dalam tahap pengembangan (IEEFA, 2024).
Sementara itu, Global Energy Monitor mencatat bahwa kapasitas captive PLTU meningkat tiga kali lipat sejak 2019 menjadi 16,6 gigawatt pada 2024, sebagian besar untuk mendukung industri smelter nikel dan aluminium (Global Energy Monitor, 2024).
Tentu saja Pemerintah tidak tinggal diam. Beberapa smelter kini mulai menggunakan energi bersih—seperti PLTA dan sertifikasi Renewable Energy Certificate (REC)—sebagai sumber daya operasional.
Limbah Baterai
Selain ancaman di hulu, bahaya lain mengintai di hilir: krisis limbah baterai.
Kendaraan listrik berbasis baterai lithium-ion menyimpan berbagai logam berat seperti nikel, kobalt, dan lithium.
Tanpa sistem daur ulang dan pengelolaan limbah yang baik, peningkatan penggunaan baterai akan menghasilkan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dalam jumlah besar.
Logam berat dalam limbah baterai dapat mencemari tanah dan air, serta memicu berbagai gangguan kesehatan seperti kerusakan ginjal, gangguan sistem saraf, dan bahkan kanker.
Lebih buruk lagi, limbah ini (dalam kasus baterei-baterei kecil untuk kebutuhan domestik seperti remote TV, AC, dan mainan anak) sering kali masih dibuang bersama sampah rumah tangga ke tempat pembuangan akhir (TPA), tanpa perlakuan khusus.
Sayangnya, Indonesia belum memiliki sistem pengelolaan limbah baterai yang terintegrasi. Prinsip extended producer responsibility (EPR) belum berjalan optimal, dan kesadaran publik terkait daur ulang baterai juga masih rendah.
Jika tidak ditangani sejak dini, Indonesia berpotensi menghadapi bencana ekologis baru dalam bentuk timbunan baterai bekas mobil listrik.
Indonesia Battery Corporation (IBC), perusahaan BUMN yang bergerak di ekosistem Battery Electric Vehicle (BEV) dan Electric Vehicle (EV), telah merancang peta jalan fasilitas daur ulang baterai EV pada 2031 dengan teknologi yang mampu memulihkan lebih dari 99 persen komponen baterai.
Beberapa perusahaan juga sudah mulai memproses baterai lithium-ion dengan pendekatan daur ulang, sekaligus mengembangkan teknologi bioleaching dan nanoteknologi untuk mengurangi konsumsi energi dan limbah pada proses smelter.
Strategi Lanjutan
Eksploitasi nikel secara besar-besaran juga menyimpan risiko strategis jangka panjang.
Saat dunia bergerak menuju era robotika dan kecerdasan buatan (AI), kebutuhan baterai justru akan meningkat tajam.
Robot industri, perangkat pintar, kendaraan otonom, hingga sistem pertahanan militer masa depan sangat mungkin bergantung pada baterai sebagai sumber energi utama.
Jika cadangan nikel Indonesia habis dalam satu dekade ke depan tanpa strategi keberlanjutan, maka kita bukan hanya kehilangan sumber daya, tapi juga kehilangan posisi tawar dalam teknologi masa depan.
Untuk itu, Indonesia perlu segera merumuskan kebijakan cadangan strategis (strategic reserve) bagi logam-logam kritis.
Transisi energi sejati tidak cukup hanya mengganti bahan bakar, tapi juga menata ulang tata kelola sumber daya, memperkuat keadilan sosial, dan memastikan keberlanjutan lingkungan.
Negara-negara seperti Jepang, Uni Eropa, dan Korea Selatan telah mulai membangun sistem ekonomi sirkular dalam pengelolaan baterai, termasuk teknologi daur ulang, pelabelan bahan kimia, dan sistem pengumpulan limbah baterai nasional.
Indonesia belum terlambat. Tapi waktu untuk bersikap pasif sudah lewat.
Pemerintah dan para pemangku kepentingan di sektor energi perlu menyusun peta jalan komprehensif terkait pengelolaan limbah baterai dan cadangan nikel nasional.
Ini mencakup penguatan teknologi daur ulang, sistem pengumpulan baterai bekas, serta edukasi publik agar tidak membuang baterai sembarangan.
Bappenas dan WRI Indonesia telah meluncurkan peta jalan dekarbonisasi industri nikel yang menargetkan pengurangan emisi hingga 81 persen pada 2045.
Nickel tailings juga tengah diuji coba sebagai bahan konstruksi ramah lingkungan, memperluas pendekatan berkelanjutan dalam sektor pertambangan.
Lebih jauh, evaluasi menyeluruh terhadap proyek hilirisasi yang sedang berjalan mutlak diperlukan. Keuntungan ekonomi jangka pendek tidak boleh mengorbankan keselamatan ekologis dan keberlanjutan sosial di masa depan.
Energi masa depan yang benar-benar hijau adalah energi yang bukan hanya bersih saat digunakan, tetapi juga bijak dalam perencanaannya dan adil dalam dampaknya.
Kita tidak boleh membangun masa depan di atas kerusakan hari ini—terlebih tanpa cadangan untuk hari esok.
*) Rimun Wibowo adalah Dosen Ilmu Lingkungan dan Wakil Dekan Fakultas Teknik dan Sains, Universitas Ibn Khaldun Bogor