Hoyak Tabuik Piaman, Tradisi di Kota Pariaman yang Unik dan Lestari

KOTAPARIAMAN, borneoreview.co– Tradisi Hoyak Tabuik Piaman sangat membuat orang datang dari berbagai wilayah, untuk menontonnya.

Di balik dentuman tambur dan riuh rendah keramaian Pesona Hoyak Tabuik Piaman yang bergema di Kota Pariaman, Sumatera Barat setiap 10 Muharram, terdapat belasan pasang tangan terampil merakit kayu, bambu, rotan, dan pernak-pernik menjadi ornamen setinggi belasan meter.

Tabuik adalah tradisi budaya dan keagamaan yang berasal dari Kota Pariaman, Sumatera Barat. Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat setempat setiap 10 Muharram untuk memperingati Hari Asyura, yaitu hari wafatnya Imam Husain Bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, dalam perang Karbala.

Ornamen itu dibangun menyerupai burak. Burak diyakini umat muslim sebagai kendaraan Nabi Muhammad SAW saat Isra Miraj. Makhluk ini juga dipercaya membawa jasad cucu orang yang paling dimuliakan dalam islam yakni Husain Bin Ali yang mati dipenggal di Karbala oleh tentara Yazid Bin Muawiyah.

Karena dikisahkan membawa jenazah cucu kesayangan Nabi, maka di atas makhluk bersayap dan berkepala manusia itu terdapat wadah yang difungsikan sebagai keranda.

Siang dan malam dengan cekatan para pembuat Tabuik menyelesaikan setiap tahapan agar tabuik dengan berat ratusan kilogram itu dapat selesai sebelum 10 Muharram. Mereka membuat berbagai komponen mulai dari rangka, badan burak, sayap, ekor, keranda, payung hingga hiasan dan pernik yang tidak saja untuk keindahan namun memiliki makna dan filosofi tersendiri.

Proses pembuatan yang panjang dan detail itu cerminan dari penghormatan dan kecintaan masyarakat terhadap tradisi yang berkembang di daerah itu semenjak abad ke-19 Masehi.

1 Muharram atau dilaksanakannya prosesi Maambiak Tanah atau mengambil tanah menandakan ornamen tabuik mulai dikerjakan. Semenjak itu pula para perajin berjibaku menyelesaikan tahap demi tahap ornamen tabuik.

Ornamen yang merupakan representasi simbolik dari kendaraan burung dan keranda cucu Nabi Muhammad SAW itu dibuat tidak saja satu, namun dua. Masing-masing dibuat oleh kelompok berbeda yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Keduanya saling menampilkan karya terbaik pada puncak kegiatan yakni saat prosesi Hoyak Tabuik, dan tabuik dilarung ke laut pada 10 Muharram yang pada tahun ini bertepatan dengan Minggu, 6 Juli.

Salah seorang perajin Tabuik Subarang, Ade Ratman (43), mengatakan dirinya sudah enam tahun membuat ornamen yang diangkat dan dihoyak (digoyang-goyang) oleh puluhan orang itu. Ilmu itu didapatkannya dari mengikuti orang-orang di kelompoknya saat membuat tabuik.

Menurut pemuda yang berprofesi sebagai perajin dan penjual suvenir tabuik itu, kesulitan dalam menyelesaikan ornamen tersebut yaitu saat membentuk burak. Hal tersebut karena tidak ada cetakan dan standar ukuran sedangkan badan makhluk itu direpresentasikan berlekuk.

Namun, kesulitan itu merupakan tantangan tersendiri karena bagian tersebutlah yang paling digemari oleh ribuan pasang mata. Sebab, orang ingin melihat representasi dari burung yang ditunggangi Nabi Muhammad SAW.

Daya tarik

Tidak hanya prosesi pelarungan tabuik, proses pembuatannya juga digemari oleh wisatawan. Biasanya tempat pembuatan tabuik akan banyak dikunjungi wisatawan pada malam hari.

Salah seorang wisatawan asal Padang Pariaman Muhammad Ari mengatakan dirinya sengaja membawa kedua anak dan istrinya ke lokasi pembuatan tabuik untuk mengenalkan bagaimana ornamen itu dibuat.

Ornamen yang kerap mereka lihat ketika melintasi salah satu persimpangan di Pariaman, Simpang Tabuik. Di persimpangan itu dibangun Tugu Tabuik dengan dihiasi lampu sehingga memancarkan cahaya saat malam.

Melihat proses pembuatan tabuik tersebut juga dapat menjawab rasa penasaran Ari dan keluarga bagaimana ornamen yang menarik ribuan wisatawan hingga rela berdesakan hanya untuk menyaksikan tabuik dihoyak dan dilarung ke laut itu dibuat.

Proses pembuatan ini juga ditawarkan oleh Pemerintah Kota Pariaman kepada wisatawan. Bahkan untuk menarik minat wisatawan menyaksikan kegiatan yang menguras energi, komunitas di daerah itu pernah menggelar kegiatan hiburan tradisional.

Selain itu, Pemerintah Kota Pariaman juga meminta pengelola penginapan untuk menjaga kesiapan kamar selama proses pembuatan tabuik hingga dibuang ke laut.

Tidak heran di lokasi pembuatannya, yaitu di rumah tabuik, terdapat sejumlah pedagang kaki lima yang memanfaatkan momen tersebut untuk mengais rezeki. Makanan dan minuman yang dijual tidak saja yang bersifat tradisional khas daerah namun juga makanan kekinian.

Tabuik dan maknanya

Proses pembuatan tabuik hingga terpasang sempurna dilakukan sekitar selama 10 hari. Dari awal pelaksanaannya yakni Maambiak Tanah hingga dibuang ke laut, banyak prosesi yang dilaksanakan serta memiliki makna yang menarik untuk diikuti.

Tokoh tabuik Pasa Zulbahri mengatakan, pada awalnya bentuk tabuik ketika masuk ke Pariaman tidak seperti yang dikenal saat ini. Sebab, saat awal-awal dikenalkan ke masyarakat Pariaman, tabuik mendapat respons pro dan kontra karena dinilai bermuara kepada aliran syiah. Masyarakat memutuskan perundingan dengan melibatkan tokoh adat dan agama.

Semenjak saat itu tabuik mulai disesuaikan dengan kearifan lokal dan mengacu pada filosofi Minangkabau yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Tabuik yang dijalankan oleh warga Pariaman merupakan sebuah kesenian untuk mengedukasi tentang perjuangan dan pengorbanan cucu Nabi untuk Islam. Bahkan, bagian ornamen tabuik memiliki makna dan arti yang berkaitan dengan filosofi dan karakter orang Pariaman.

“Ini merupakan sebuah budaya, sebuah seni tradisi yang merupakan hasil karya, cipta, karsa manusia, di Pariaman yang ditampilkan berupa tabuik,” kata Pasa Zulbahri.

Ia menjelaskan makna dari setiap prosesi dalam pelaksanaan tabuik. Prosesi pertama yaitu, mengambil tanah. Prosesi ini memiliki arti sesuatu yang berasal dari tanah maka kembali ke tanah. Ini juga menjelaskan kematian Husein Bin Ali yang merupakan ciptaan Allah SWT maka juga kembali kepada-Nya.

Prosesi kedua yaitu manabang (menebang) atau maambiak (mengambil) batang pisang. Arti dari prosesi ini yaitu memperlihatkan ketajaman pedang dan ketangkasan Husein. Sedangkan batang pisang memiliki makna meskipun telah ditebang, pohonnya tidak langsung mati karena masih bisa memunculkan tunas baru. Prosesi ini memiliki arti keharusan menyiapkan generasi yang tangguh dan kuat iman sebelum mati.

Lalu, prosesi ketiga yakni turun panja. Panja merupakan wadah yang akan digunakan untuk menyimpan jasad Husein. Wadah ini diturunkan dari tempat penyimpanan yaitu daraga atau tempat pembuatan tabuik guna dipersiapkan untuk menjalankan prosesi Maarak (mengarak) Jari-Jari.

Pada prosesi keempat yaitu maatam dimaksudkan mengingatkan dan merenungkan kepada masyarakat tentang perjuangan dan ajaran dari Husein.

“Prosesi ini tidak ada kaitannya dengan tauhid atau aliran-aliran tertentu. Ini hanya memperlihatkan kepada masyarakat (tentang pengorbanan Husein),” ujar Pasa.

Kemudian prosesi kelima Maarak (mengarak) Jari-Jari. Prosesi ini dilakukan dengan meminta sumbangan kepada warga sebagai tanda bahwa kegiatan itu melibatkan banyak orang. Prosesi ini merupakan manifestasi mengumpulkan jasad Husein Bin Ali di Karbala.

Pada prosesi keenam yaitu Maarak Saroban (sorban). Prosesi ini dilaksanakan sebagai manifestasi memperlihatkan penutup kepala Husein yang berlumuran darah kepada masyarakat luas.

Pada prosesi Maarak Jari-Jari dan Saroban kedua kelompok tabuik akan bertemu yang biasanya terjadi pada malam hari di Simpang Tabuik. Pertemuan itu disebut dengan basalisiah atau perselisihan. Pada prosesi ini kedua kelompok akan saling melempar sejumlah benda yang relatif ringan bahkan tambur sehingga kerap terjadi luka ringan pada kedua kelompok.

Meskipun terjadi luka namun kedua kelompok tidak pernah menyimpan dendam apalagi sampai membawa ke ranah hukum.

Kemudian di hari puncak pesta budaya dan wisata tersebut dilaksanakan prosesi Tabuik Naiak Pangkek (naik pangkat). Pada prosesi ini dilaksanakan pemasangan bagian atas tabuik agar menjadi ornamen yang sempurna. Tahapan ini dilaksanakan di kawasan Pasar Rakyat Pariaman dan Simpang Kampuang Cino.

Sore harinya dilaksanakan prosesi membuang tabuik yang memiliki arti melepas segala permasalahan yang terjadi. Hal ini menjadi simbol melupakan perselisihan yang terjadi antara kelompok Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang selama kegiatan itu dilaksanakan.

Gambaran karakter

Wakil Wali Kota Pariaman Mulyadi mengatakan pelaksanaan tabuik merupakan gambaran karakter warga yang suka bergotong-royong. Hal ini dapat dilihat pada setiap pelaksanaannya yang selalu melibatkan banyak pihak.

Hal ini juga selaras dengan kebiasaan warga Pariaman yang memiliki tradisi badoncek atau iuran guna membantu meringankan beban warga lainnya yang sedang dalam kesulitan ekonomi.

Begitu juga dalam pelaksanaan Tabuik, ornamen itu tidak saja dikerjakan sendiri namun membutuhkan banyak pihak. Dalam pelaksanaan setiap prosesi pun harus melibatkan banyak pihak yang menandakan kegiatan itu milik bersama.

Prosesi Hoyak Tabuik serta pembuangan Tabuik ke laut juga membutuhkan puluhan orang yang bekerja sama dengan kompak. Sebab, dengan kekompakan itulah ornamen seberat 300 kilogram itu dapat diangkat dan dihoyak sehingga memukau ribuan wisatawan yang menyaksikan agenda tahunan di daerah itu.

Kolaborasi dengan berbagai pihak tidak saja mampu menyukseskan kegiatan namun juga menghadirkan banyak wisatawan sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di Pariaman.

Pemerintah Kota Pariaman bersama masyarakat menjadwalkan pelaksanaan Pesona Hoyak Tabuik Piaman pada tahun ini dimulai sejak 27 Juni hingga 6 Juli 2025. Menurut Wali Kota Pariaman Yota Balad, tabuik bukan hanya sekadar tontonan belaka. Lebih dari itu, tabuik merupakan warisan budaya turun temurun yang sudah berusia ratusan tahun dan harus terus dilestarikan.

“Jangan hubung-hubungkan tabuik dengan agama. Ini adalah tradisi,” ujarnya.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *