HUTANABOLON, borneoreview.co – Setelah membaca tulisan ini ada baiknya kita memejamkan mata sejenak. Tiga detik saja. Untuk menghayati, apa yang sedang dialami warga Hutanabolon di Tapanuli Tengah.
Tolong, selamatkan kami! Itulah seruan paling jujur yang terus bergema dari Kelurahan Hutanabolon, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sampai Senin (8/12) atau hari ke-13.
Kampung itu porak-poranda diterjang banjir bandang dan tanah longsor. Yang datang begitu cepat dan menghancurkan.
Lebih dari 300 keluarga, kini hidup dalam keterisolasian. Akses jalan utama lenyap. Gereja dan masjid hancur.
Sebagian besar wilayah desa dan kawasan Lingkungan, tidak lagi dapat dikenali bentuknya.
Pagi di Hutanabolon, tak lagi dimulai dengan kicau burung. Atau, aktivitas warga menapaki jalan menuju kota.
Sebaliknya, udara lembap yang membawa bau lumpur menyambut setiap langkah pendatang.
Jalan utama yang dahulu menjadi nadi pergerakan warga, kini berubah menjadi aliran air dangkal. Yang terus menggerus tanah dan membawa serpihan bangunan yang sudah tidak mungkin dipulihkan.
Di masa lalu, Sungai Aek Malaka mengalir tenang di pinggir desa, menjadi sumber air, sekaligus bagian dari keseharian warga.
Banjir bandang membuat sungai itu berpindah arah. Menyeret kayu gelondongan, batu besar, dan tanah dalam volume luar biasa, lalu menumpahkannya ke pusat permukiman.
Perubahan jalur itulah yang membuat Lingkungan IV dan sekitarnya menjadi titik kehancuran terparah.
Rumah-rumah yang dulu berdiri rapat, berganti menjadi tumpukan kayu yang menggunung.
Warga yang selamat masih berusaha memahami, bagaimana kampung yang mereka tinggali selama puluhan tahun, bisa hilang dalam hitungan jam.
Suara arus kecil yang kini mengalir di bekas jalan, justru menjadi pengingat pahit tentang deru air. Yang melibas apa pun yang berdiri di hadapannya.
Di antara warga yang setiap hari tak pernah berhenti bergerak adalah Hura (35).
Ayah tiga anak itu menghabiskan waktunya memanggul karung beras, mi instan, atau air mineral menuju Tapianauli dan Siantar Gunung.
Dua wilayah perbukitan yang terisolasi total, sejak jalan akses hilang tertimbun material.
Jalur yang ia tempuh bukan lagi jalan roda dua atau roda empat. Melainkan setapak hutan yang licin setelah hujan, sempit, dan menanjak.
Dalam sekali perjalanan, ia harus menempuh hingga empat jam lebih berjalan kaki dengan beban di punggungnya.

Itu belum seberapa. Pada 2-3 hari pertama setelah banjir menerjang dan melanda pada 25 November, tak sedikit warga berjalan selama 14 jam.
Berangkat pukul 04.00 WIB subuh hingga Maghrib. Dari sebuah kampung di Desa Saurmanggita, menuju ke posko utama GOR Pandan.
Demi mendapatkan beras, minyak, mi goreng, gula, hingga biskuit bantuan dan pakaian bersih.
“Tetap harus menjemput bantuan dan naik lagi ke bukit. Mana ada yang mau orang antar sampai depan rumah, berpikir saja kita. Kita yang tahu keluarga sedang kelaparan,” ujarnya singkat.
Dia berkata sambil mengusap keringat yang turun tanpa henti. Lumpur kering yang menempel di bajunya, menjadi bukti berapa banyak langkah berat yang telah ia lalui.
Kembali ke Lingkungan IV, pemandangan yang terbentang selalu menghentikan langkahnya sejenak.
Di tepi sisa pondasi sebuah rumah, Murni (44) duduk sambil memandang tumpukan puing yang dulu menjadi tempat tinggalnya.
Tangan kirinya menggenggam pecahan genteng, sementara tangan kanannya berulang kali menyentuh tanah, di mana dapur rumahnya pernah berdiri.
Tatapan matanya sayup. Ia seolah masih mencoba merekam kembali posisi lemari, meja makan, tempat tidur anak-anaknya semua yang kini sudah tidak ada.
Setiap kali diajak bicara, ia menjawab perlahan, kemudian kembali terdiam. Seakan pikirannya ditarik kembali ke momen, ketika rumah sederhana itu terakhir kali ia lihat dalam keadaan utuh.
Kerusakan di Hutanabolon bukan hanya pada rumah. Sawah dan kebun yang menjadi sumber ekonomi warga juga hilang tersapu.
Asidin Sitompul, petani kakao dan durian, menatap bukit tempat empat hektare kebunnya berada. Jaraknya tidak jauh, tetapi jalur yang menghubungkan ke kebun itu sudah hilang sama sekali.
“Semua hilang. Kalau pun sampai ke kebun, tidak ada yang bisa dibawa turun,” katanya pelan.
Buah-buah yang sudah matang terpaksa dibiarkan membusuk. Bagi petani seperti Asidin, kehilangan kebun bukan sekadar hilangnya panen.
Tapi, musnahnya satu-satunya sumber hidup yang mereka bangun selama puluhan tahun.
Puluhan petani lain mengalami nasib yang sama. Ribuan hektare sawah yang biasanya menjadi tumpuan pangan desa sepanjang tahun.
Kini, tertutup lumpur tebal, batang kayu besar, dan batu sebesar pelukan empat-lima orang dewasa.
Tanpa alat berat, tidak ada yang dapat dilakukan warga. Namun alat berat yang dikerahkan pemerintah, hingga hari ini masih belum bisa menembus jalur yang tersumbat tumpukan material.
Meski berada dalam situasi paling sulit, solidaritas warga tumbuh tanpa perlu diperintah.
Rumah Margembira Gultom, yang kebetulan berada di dataran lebih tinggi, menjadi tempat perlindungan bagi sekitar 30 kepala keluarga.
Rumah itu untuk ruang tamu hingga dapur. Penuh dengan tikar, bantal, dan pakaian darurat.
Pakaian bersih yang ia miliki, telah ia bagikan semuanya. Bahkan pakaian yang sedang dijemur pun, ia serahkan ketika melihat tetangganya kedinginan tanpa sehelai baju kering.
Ketika bantuan makanan belum tiba dalam 3-4 hari pertama, ia rela menyembelih babi dan lembu miliknya untuk dimakan bersama.
“Tidak ada lauk waktu itu. Hanya nasi putih tersisa. Jadi apa pun yang ada, kita masak ramai-ramai. Yang penting semua makan,” ujarnya, tanpa sedikit pun ragu.

Di pos pengungsian lainnya, kehidupan perlahan membentuk rutinitas baru.
Anak-anak bermain bola di antara tenda, mandi di genangan banjir. Para ibu menjemur pakaian di tali seadanya di pinggir-pinggir jalan.
Sementara kaum lelaki sibuk memindahkan barang bantuan yang datang silih berganti, meski jumlahnya belum memadai.
Sementara itu, petugas dan relawan kesehatan melakukan pemeriksaan seadanya, bagi warga yang mulai mengeluh demam akibat cuaca dingin pegunungan.
Hingga hari ke-13 ini, jumlah korban jiwa masih terus diperbarui.
Di Hutanabolon, 10 warga telah ditemukan meninggal dunia dan 15 lainnya masih hilang, bahkan belum bisa dilakukan pencarian.
Apalagi di Lingkungan IV Hutanabolon ini yang serupa latar film bertema perang, hancur.
Data ini menjadi bagian dari total 110 orang meninggal, dan 93 orang hilang di seluruh Tapanuli Tengah.
Video banjir bandang yang viral menunjukkan, gelombang air besar membawa balok kayu berukuran raksasa, entah dari mana datangnya, menghantam rumah warga.
Itu bukan sekadar tontonan penghibur waktu penat kita. Tapi gambaran nyata.
Betapa kuat arus yang menghancurkan hampir 200 bangunan rumah tempat usaha di desa ini. Bahkan, tak sedikit segala jenis kendaraan hanyut entah kemana.
Di wilayah hilir pun demikian banyak rumah terendam lumpur yang menumpuk nyaris hingga atap.
Pemandangan itu dapat ditemui, sepanjang perjalanan sekitar 10 kilometer dari wilayah Humala Tambunan Sigotom, sampai titik keluar di simpang empat Kecamatan Tukka.
Jalan utama tertutup oleh tumpukan kayu, lumpur, dan batu setinggi orang dewasa. Upaya pembersihan manual tidak mungkin dilakukan.
Alat berat pun kesulitan bekerja, karena banjir dan longsor susulan terus terjadi setiap kali hujan sore mengguyur.
Menjelang malam, ketika sinar terakhir Matahari tenggelam di balik bukit dan langkah warga mulai melambat, Hutanabolon kembali larut dalam senyap.
Listrik padam hingga nyaris tak ada cahaya lampu rumah, hanya bayang terpal tenda yang bergerak pelan diterpa angin dingin pegunungan.
Pada saat-saat seperti itu, seruan darurat dari kampung ini terasa paling nyata. Bukan lewat suara, tetapi melalui cara mereka bertahan.
Bukan sekadar teriakan minta tolong. Mereka masih menunggu kepastian, kampung yang mereka cintai tidak ditinggalkan begitu saja.
Mereka pun mungkin tidak lagi memiliki jalan, kebun, atau dinding rumah untuk berlindung.
Tapi masih memegang keyakinan, pertolongan akan datang. Tidak boleh ada warga yang dibiarkan, sendirian dalam penderitaan.***
