Ikan Kembung dan Generasi Emas Kota Cirebon

Panen Ikan

CIREBON, borneoreview.co – Tidak biasanya Lapangan Kebon Pelok di Kota Cirebon, Jawa Barat, seramai pada Kamis (16/10) pagi itu.

Matahari baru separuh naik, tapi warga sudah mengerumuni tenda-tenda putih yang berdiri di beberapa titik.

Suasananya meriah, mirip pasar kaget. Deretan meja dipenuhi beras, minyak goreng, gula, cabai, telur, hingga sayur.

Beberapa ibu-ibu membawa tas belanja sembari menggandeng anaknya yang masih mengucek-ngucek mata. Petugas hilir mudik, memastikan semua berjalan lancar.

Tak ada pengeras suara nyaring yang memekakkan telinga. Namun, tawa dan percakapan para pembeli membuat lapangan tersebut terasa hidup.

Gerakan Pangan Murah (GPM) memang selalu ditunggu warga. Di sini, mereka bisa mendapatkan bahan pangan dengan harga lebih bersahabat. Daging ayam misalnya, dijual Rp27 ribu per kg, selisih Rp3 ribu dari harga pasar.

Namun, yang paling menarik perhatian di kegiatan ini bukanlah sembako murah, melainkan satu meja panjang berisi paket olahan ikan yang tersusun rapi.

“Dapat juga akhirnya. Lumayan bisa dimasak jadi lauk makan untuk anak saya,” kata Rahma (34), salah satu warga yang berceloteh saat menerima bingkisan paket berwarna ungu tersebut.

Tak berselang lama, seorang perempuan lanjut usia menyalami petugas yang menyerahkan bantuan serupa.

Wajahnya keriput, namun matanya berbinar. Mungkin karena lauk makan untuk keluarganya sudah pasti hari itu.

Dari sinilah, hilirisasi sektor perikanan di Kota Cirebon menemukan bentuk paling sederhana. Ikan hasil tangkapan nelayan maupun dari budidaya, bisa berpindah tangan langsung kepada warga.

Membeli Ikan

Cirebon adalah kota pesisir, sehingga tak mengherankan komoditas perikanan, sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Nurul (36), ibu dua anak dari Harjamukti, Kota Cirebon, sudah hafal jam berapa ikan segar tiba di pasar tradisional. Ia datang pagi-pagi sekali, agar tak kehabisan kembung atau tongkol.

“Ikan kembung sekarang (sekitar bulan Oktober) harganya Rp30 sampai Rp35 ribu per kg, bandeng Rp33 ribu, tongkol sekitar Rp28 ribu,” katanya sambil menunggu pedagang membersihkan ikan pesanannya.

Nurul mengatakan tidak terlalu sering belanja ikan, cukup dua kali dalam sebulan, lalu menyimpan stok di kulkas agar bisa dipakai beberapa kali masak.

Anak bungsunya masih balita, sedang belajar makan sendiri dan ikan goreng jadi menu andalannya.

Uniknya, beberapa kali Nurul menonton video di YouTube tentang pola makan sehat untuk anak. Dari situ ia belajar pentingnya protein ikan dibanding lauk lain.

“Katanya bagus buat otak, jadi saya usahakan tetap beli,” tuturnya singkat.

Pasar tradisional jadi tempat yang paling sering dikunjunginya untuk membeli ikan, karena harganya masih relatif terjangkau.

Hal serupa dilakoni warga Cirebon lainnya bernama Wamad (33). Ia bersama istrinya rutin membeli ikan setiap minggu, biasanya sekitar 1-2 kg di Pasar Kanoman.

Di lokasi tersebut tersedia beragam pilihan ikan. Namun, dirinya hanya memilih ikan layar atau kembung yang harganya masih ramah di kantong.

Wamad sudah membiasakan diri mengonsumsi ikan sejak beberapa tahun terakhir. Ia mengaku kebiasaan itu masih diterapkan sampai sekarang.

Hanya saja, ia kadang merasa khawatir dengan kondisi laut di Cirebon. Khususnya soal kondisi perairan yang banyak sampah.

“Kadang kepikiran juga soal itu, tapi ya mau gimana lagi. Adanya cuma itu,” ucapnya.

Komoditas perikanan di Kota Cirebon sebetulnya cukup melimpah, walaupun luas wilayahnya hanya 39,48 km persegi dengan garis pantainya sekitar 7 km.

Data dari Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) setempat menunjukkan sektor perikanan di Kota Cirebon mengalami perkembangan yang konsisten selama beberapa tahun terakhir.

Di bidang perikanan tangkap, total produksinya tercatat sebesar 5.958,75 ton pada 2020. Meskipun kondisinya berfluktuasi, tetapi angkanya bisa meningkat sampai 7.784,42 ton di tahun 2024.

Untuk total produksi perikanan budidaya secara keseluruhan naik dari 206,32 ton di tahun 2020 menjadi 376,49 ton pada 2024, atau meningkat sekitar 82,5 persen selama kurun waktu tersebut.

Jumlah segitu memang relatif kecil ketimbang daerah lain. Ambil contoh Kabupaten Indramayu, yang produksi perikanannya sebanyak 523.265,16 ton pada 2024.

Mengingat Cirebon merupakan kota perdagangan di pesisir utara Jawa Barat, maka suplai ikan bisa dipasok dari daerah sekitarnya.

Akan tetapi, sampai sekarang tidak semua keluarga di Kota Cirebon rutin ke pasar untuk membeli ikan segar.

Di sinilah peran pemerintah masuk, untuk menghubungkan hasil sektor perikanan dengan rumah tangga yang paling membutuhkan.

Menyambung ke Dapur

Meningkatkan konsumsi ikan di tingkat keluarga, merupakan salah satu hal krusial yang menjadi perhatian pemerintah pusat hingga daerah.

Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggagas program gerakan memasyarakatkan makan ikan (gemarikan) untuk membiasakan warga mengonsumsi bahan pangan tersebut.

Kepala DKP3 Kota Cirebon Elmi Masruroh, menjelaskan program ini rutin dilaksanakan setiap tahun di seluruh kelurahan dengan sasaran utamanya adalah keluarga berisiko stunting (KRS).

Program ini dilakukan dengan membagikan makanan berbahan dasar ikan segar maupun bentuk olahannya seperti otak-otak, kepada setiap KRS di kelurahan.

“Masyarakat biasanya mendapatkan ikan kembung yang memiliki kandungan omega-3 lebih tinggi daripada salmon,” katanya.

Sebelum disalurkan, pihaknya lebih dulu melakukan pendataan bersama kelurahan dan puskesmas. Dari hasil rekonsiliasi itu, ditetapkan keluarga penerima bantuan ikan.

Hal serupa kini diadopsi oleh DKP3 Kota Cirebon. Program tersebut dinamai “pojok stunting” (posting) yang dilaksanakan beriringan dengan kegiatan GPM.

Biasanya 30 paket bantuan berisi ikan segar, disalurkan kepada masyarakat di setiap pelaksanaan GPM.

Sampai Oktober 2025, acara ini sudah digelar 26 kali dan setiap kegiatan selalu menyertakan pembagian ikan.

Respon masyarakat dinilai positif. Setidaknya pada hari itu, mereka bisa mengonsumsi ikan untuk memperbaiki gizi keluarga.

Ikan yang dibagikan itu berasal dari sumbangan para pengusaha kapal di Pelabuhan Kejawanan. Jenisnya beragam mulai dari ikan layur, selangat, hingga layar.

Para pemilik kapal menyisakan hasil tangkapannya secara cuma-cuma, karena merasa terbantu dengan kebijakan pemerintah kota terkait retribusi jasa usaha.

Elmi menyebutkan lebih dari 300 kapal berukuran di bawah 30 gross tonnage (GT) melakukan bongkar muat di Kejawanan.

Pemiliknya sudah patuh membayar retribusi untuk aktivitas tersebut. Realisasi kini mencapai Rp1,37 miliar.

“Mereka patuh membayar retribusi, sehingga kami bisa menerbitkan rekomendasi untuk BBM subsidi. Di sinilah kepercayaan antara kami terjalin,” ungkapnya.

Menurutnya, program ini menghidupkan hubungan antara pelaku usaha perikanan dan warga.

Sekaligus menjadi bentuk nyata, bagaimana hasil laut bisa langsung masuk ke rantai konsumsi lokal tanpa berputar terlalu jauh.

Berkat program gemarikan dan posting yang terus digencarkan, angka konsumsi ikan di Kota Cirebon perlahan merangkak naik. Dari 33,49 kg per kapita pada 2020, menjadi 42,85 kg per kapita selama 2024.

“Trennya menunjukkan peningkatan. Walaupun angkanya masih jauh dari realisasi nasional (sekitar 62,5 kg per kapita). Ini menjadi pekerjaan rumah kami,” tuturnya.

Manfaatkan Lahan Sempit

Selain distribusi ikan, pemerintah daerah mengembangkan budidaya di tingkat masyarakat, dengan memanfaatkan lahan sempit.

Melanjutkan perbincangan dengan ANTARA, Elmi menyebutkan ada beberapa titik di kota ini memiliki kelompok kecil yang cukup aktif dalam budidaya.

Wilayah Pekiringan, kata dia, menjadi contoh lokasi yang sejak lama memanfaatkan kolam darat untuk memelihara nila.

Selain itu, beberapa kelompok lainnya menerima sarana kolam bioflok dari KKP, nilainya sekitar Rp10 juta per unit.

Bantuan ini memungkinkan warga memulai budidaya tanpa harus menyediakan modal besar untuk sarana awal.

Kelompok masyarakat di wilayah pesisir pun mendapat dukungan, khususnya dari pemerintah daerah. Namun bentuknya disesuaikan dengan karakter perikanan laut.

Santriwati Cirebon
Sejumlah santriwati saat menunjukkan paket bantuan ikan yang jumlahnya sekitar 10 ton dari KKP saat perayaan Hari Santri Nasional di Cirebon, Jawa Barat, Rabu (22/10/2025). ANTARA/Fathnur Rohman.

Pola ini diberlakukan agar penguatan perikanan di darat dan pesisir berjalan seimbang, sekaligus memberi ruang bagi kedua pelaku di sektor tersebut untuk berkembang sesuai kebutuhan.

Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris DKP3 Kota Cirebon Yudi Lukmana Hakim menyampaikan dukungan pemerintah kota, mencakup penyediaan sarana budidaya beserta benih dan pakan.

Jenis bantuan menyesuaikan komoditas yang diajukan masyarakat, seperti lele, nila, kerang hijau, udang vaname, bandeng, atau kepiting.

Pengajuan dilakukan melalui proposal, kemudian diverifikasi sebelum ditetapkan sebagai penerima.

Tentu saja keterbatasan anggaran daerah menjadi tantangan, sebab baru sekitar 20 persen pengajuan warga yang bisa dipenuhi. Namun program ini tetap berjalan karena manfaatnya jelas dirasakan.

Kelurahan Kebonbaru, lanjut dia, menjadi salah satu contoh kelompok yang merasakan manfaat program tersebut. Warga di sana mengelola beberapa unit kolam terpal yang diisi lele.

Warga bersama kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) biasanya memanen ikan lele setiap 2,5 hingga 3 bulan. Hasilnya memang belum besar, rata-rata 20 hingga 40 kg.

Lurah Kebonbaru Shufi Pelangi Jiwa menuturkan dalam setiap panen, sekitar 30 persen hasil ikan diberikan ke posyandu untuk penanganan stunting.

Sedangkan sebesar 50 persen dijual ke masyarakat umum, dan sisanya untuk para kader.

“Harganya pun dibedakan, Rp25 ribu per kg untuk masyarakat, Rp20 ribu untuk kader,” cetusnya.

Ia menilai pola ini cukup efektif. Apalagi, angka stunting di wilayah tersebut tergolong tinggi sehingga intervensi protein hewani sangat diperlukan.

Pola penjualan kecil-kecilan ini, kata dia, berjalan organik, menciptakan perputaran ekonomi sembari menyentuh kebutuhan gizi masyarakat.

Program Berkelanjutan

Wakil Wali Kota Cirebon Siti Farida Rosmawati sudah mengunjungi beberapa titik budidaya, sekaligus melihat bagaimana warga memanfaatkan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Kehadiran sarana budidaya, benih, dan pakan memungkinkan mereka memulai usaha tanpa beban modal tinggi.

Farida menyampaikan selain membantu ekonomi rumah tangga, program ini sangat mendukung upaya penanganan stunting di Kota Cirebon.

Pihaknya mencatat adanya penurunan angka stunting dari 19,9 persen pada 2023, menjadi 14,9 persen di tahun 2024.

Capaian ini lahir dari kolaborasi lintas sektor, termasuk kontribusi perikanan dalam menyediakan sumber protein.

Pada tingkat nasional, pemerintah terus mendorong hilirisasi sektor perikanan, dengan membina nelayan, termasuk di Kota Cirebon.

Untuk menyesuaikan diri dengan standar internasional dalam praktik penangkapan ikan yang menekankan aspek ramah lingkungan.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP Lotharia Latif mengatakan penyesuaian tersebut menjadi penting karena negara-negara tujuan ekspor.

Seperti, Amerika Serikat dan wilayah Eropa, menuntut standar yang semakin ketat terkait legalitas serta keberlanjutan hasil tangkapan ikan.

KKP, lanjutnya, terus memberikan pembinaan terhadap nelayan agar mereka memahami tata kelola perikanan yang sesuai dengan ketentuan global.

Program yang digulirkan mencakup penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, pencatatan data kapal, hingga sertifikasi hasil tangkapan.

Lotharia menjelaskan sektor perikanan tangkap nasional saat ini masih dalam tahap transisi, dari sistem konvensional menuju praktik modern yang lebih tertib dan berkelanjutan.

Meski belum sempurna, menurut dia, berbagai pembenahan terus dilakukan agar nelayan dapat menyesuaikan diri dengan skema aturan yang diterapkan saat ini.

Selain aspek penangkapan, KKP juga menekankan pentingnya konservasi laut agar sumber daya perikanan tetap terjaga.

Ia mengajak nelayan dan pemerintah daerah memperhatikan kelestarian ekosistem pesisir.

“Kita pelan-pelan mentransformasi saudara-saudara kita nelayan supaya mereka bisa mengikuti aturan ini,” tuturnya.

Pada intinya dari hulu hingga hilir, rantai panjang itu sudah tersambung. Di Kota Cirebon, distribusi perikanan tidak selalu berbentuk pabrik atau ekspor besar-besaran.

Wujud paling nyata justru terlihat di meja makan warga. Atau, di kolam kecil di belakang rumah. Yang hasilnya dipakai memperbaiki asupan gizi anak sejak usia dini.(Ant)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *