IMA Optimistis Prospek Batu Bara Indonesia Stabil di Tengah Transisi Energi

JAKARTA, borneoreview.co – Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia meyakini bahwa prospek pasar batu bara Indonesia akan tetap stabil di tengah kebijakan dan tren transisi energi global.

Pernyataan tersebut disampaikan Hendra dalam taklimat media yang digelar CERAH di Jakarta, Selasa, (17/6/2025), merespons laporan terbaru dari Energy Shift Institute (ESI) berjudul “Coal in Indonesia Paradox of Strength and Uncertainty”.

Laporan tersebut menekankan bahwa perusahaan batu bara Indonesia perlu segera bertransisi. Salah satu alasannya adalah lanskap energi global yang bergeser, terutama di China selaku importir batu bara terbesar Indonesia, yang lebih dari tiga perempat pertumbuhan permintaan listriknya dipenuhi oleh energi bersih.

“Kami optimistis karena kebijakan China lebih terprediksi, yang berarti masih menguntungkan bagi Indonesia,” kata Hendra.

Hendra meyakini bahwa meskipun China saat ini gencar mengembangkan energi bersih, batu bara masih akan tetap menjadi konsumsi energi primer setidaknya dalam 10 tahun ke depan.

Meskipun ada proyeksi penurunan permintaan batu bara secara bertahap dari China, batu bara Indonesia diprediksi akan tetap diminati. Pasalnya, batu bara Indonesia memiliki kalori yang lebih rendah, dan banyak pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) baru di China dirancang khusus untuk mengakomodasi jenis batu bara ini.

“Penurunan permintaan di China tentu akan berpengaruh, tetapi dampaknya ke Indonesia mungkin tidak akan terlalu signifikan. Ini karena batu bara kita kompetitif, terutama dari segi kualitas,” ucapnya.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2024, Indonesia mengekspor 555,34 juta ton batu bara senilai 37,77 miliar dolar AS. Sebagian besar ekspor ini ditujukan ke China dan India, yang merupakan pasar utama batu bara Indonesia.

Sementara itu, laporan ESI menekankan bahwa perusahaan batu bara Indonesia perlu segera melakukan diversifikasi usaha. Meskipun saat ini industri ini meraup keuntungan besar, ketergantungan pada bisnis batu bara tunggal berpotensi menciptakan situasi yang kompleks di masa depan.

ESI juga menggarisbawahi beberapa risiko utama yang dihadapi industri ini: ketergantungan ekspor yang tinggi pada China dan India, yang mencapai 63 persen pada 2023, serta ketergantungan bisnis pada batu bara sebagai komoditas utama yang produksinya hanya ditopang segelintir tambang besar.

Peringatan ESI kian mendesak mengingat lanskap energi global sedang bergeser. Di China, importir batu bara terbesar Indonesia, lebih dari tiga perempat pertumbuhan permintaan listriknya kini dipenuhi oleh energi bersih.

“Ini menunjukkan arah yang tidak bisa lagi diabaikan oleh Indonesia dan harus segera direspons dengan strategis,” demikian laporan ESI. (Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *