Site icon Borneo Review

Indonesia dan Tantangan Menghadapi Ancaman Gempa Megathrust

JAKARTA, borneoreview.co – Hidup damai tanpa ancaman bencana adalah impian setiap bangsa, termasuk Indonesia. Namun, sebagai negara kepulauan yang berada di lingkar Cincin Api Pasifik dan zona subduksi tektonik, Indonesia menghadapi risiko gempa megathrust dan tsunami yang dapat terjadi kapan saja.

Gempa megathrust, yang merupakan gempa berkekuatan besar di zona subduksi, terjadi akibat gesekan lempeng tektonik yang menumpuk energi hingga akhirnya dilepaskan. Indonesia memiliki 13 zona megathrust, seperti di Selat Sunda, Mentawai-Siberut, dan Nusa Tenggara Timur. Segmen Selat Sunda dan Mentawai-Siberut menjadi perhatian serius karena potensi gempa hingga 9,0 magnitudo yang dapat memicu tsunami besar.

Peristiwa gempa-tsunami Aceh 2004 menjadi pembelajaran penting bagi mitigasi bencana di Indonesia. Dengan dukungan internasional, Indonesia membangun sistem peringatan dini Ina-TEWS pada 2008. Sistem ini memungkinkan peringatan dini dalam waktu tiga menit setelah gempa terjadi, menggunakan sensor seismik, alat tide gauge, dan pemancar informasi melalui televisi, radio, serta internet.

Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Alat pendeteksi tsunami berbasis buoy, seperti Ina-Buoy, berhenti beroperasi akibat vandalisme dan kurangnya pemeliharaan. Selain itu, alat yang ada saat ini belum cukup akurat mendeteksi tsunami non-seismik, seperti yang dipicu erupsi Gunung Anak Krakatau pada 2018.

Selain teknologi, kesiapsiagaan masyarakat sangat penting. Program Desa Tangguh Bencana (Destana) telah melatih komunitas menghadapi ancaman bencana. Namun, dari sekitar 53.000 desa rawan bencana, baru 36.000 desa yang mendapatkan pelatihan.

Dengan kombinasi teknologi canggih dan masyarakat yang tangguh, Indonesia dapat meminimalkan dampak bencana, mewujudkan pembangunan berkelanjutan meski berada dalam ancaman alam. (Ant)

Exit mobile version