JAKARTA, borneoreview.co – Setelah meresmikan Kabinet Merah Putih pada 21 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto segera memerintahkan Menteri Luar Negeri (Menlu) yang baru, Sugiono, untuk melakukan lawatan ke Kazan, Rusia. Kunjungan ini dilakukan dalam rangka menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus yang berlangsung pada 23-24 Oktober 2024. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia mengajukan surat expression of interest untuk mendaftar sebagai anggota resmi BRICS, organisasi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Menlu Sugiono menyatakan bahwa keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS adalah langkah konkret dalam mewujudkan politik luar negeri bebas aktif. BRICS dianggap sebagai platform yang tepat untuk memajukan kepentingan negara-negara Global South, di tengah situasi geopolitik yang semakin terfragmentasi, terutama akibat konflik Rusia-Ukraina dan ketegangan di kawasan Timur Tengah.
Keanggotaan BRICS diyakini dapat membuka peluang bagi Indonesia dalam sektor perdagangan internasional. Negara dengan komoditas unggulan seperti kelapa sawit dan batu bara ini dapat menjangkau pasar baru, termasuk Brasil dan Afrika Selatan, yang memiliki permintaan tinggi terhadap produk-produk tersebut. Ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional dan memberikan stabilitas ekonomi di tengah gejolak global.
Selain akses pasar, Indonesia juga diharapkan dapat memperdalam kerja sama ekonomi dengan China dan India, dua negara yang memiliki potensi besar dalam teknologi dan inovasi industri. Kolaborasi di bidang energi terbarukan dan digitalisasi diharapkan dapat mempercepat transformasi industri Indonesia ke arah yang lebih berkelanjutan.
Namun, langkah ini juga menimbulkan berbagai opini di masyarakat. Banyak yang mempertanyakan apakah keputusan ini sejalan dengan prinsip non-blok yang selama ini dipegang Indonesia. Selain itu, ada kekhawatiran tentang kemungkinan ketergantungan yang lebih besar pada China, terutama dalam konteks perdagangan dan investasi yang terus meningkat.
Di sisi lain, keanggotaan BRICS memberikan peluang untuk menarik investasi asing langsung (FDI) yang berkualitas, penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Dengan membangun stabilitas ekonomi dan meningkatkan kualitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih menarik bagi investor asing.
Dari perspektif geopolitik, bergabung dengan BRICS dapat mengukuhkan posisi Indonesia sebagai negara yang netral. Namun, ada potensi risiko terhadap hubungan dengan mitra tradisional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang mungkin melihat langkah ini sebagai pergeseran dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
Mengingat potensi keuntungan dan risiko yang ada, penting bagi pemerintah untuk melakukan analisis mendalam sebelum memutuskan keanggotaan resmi dalam BRICS. Dengan pendekatan yang hati-hati, Indonesia dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memperkuat posisi ekonominya di panggung internasional. (Ant)