Site icon Borneo Review

Industri Pertambangan: Transformasi SDM, Ekonomi dan Teknologi di Era Keberlanjutan

Tambang Wonocolo

Tambang minyak tradisional di Wonocolo, Bojonegoro, Jawa Tengah.(Foto Borneo Review)

PONTIANAK, borneoreview.co – Ada pro dan kontra tentang arah pembangunan, dan tuntutan pada industri ekstraktif, saat ini.

Industri ekstraktif diharapkan tidak hanya mengambil, tanpa memberi membawa pada pertanyaan mendasar. Bisakah pertambangan menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar sumber persoalan?

Jawabannya, mulai tampak ketika praktik pemberdayaan masyarakat dilakukan bukan sebagai kewajiban formal. Melainkan sebagai strategi perubahan sosial yang nyata.

Kehadiran kelompok Ecoprint dari Air Upas, Ketapang, misalnya, yang menampilkan karya hasil tangan warga dalam ajang Mineral & Batubara Convention Expo 2025 di Jakarta, belum lama ini.

Hal itu menjadi simbol penting dari pergeseran itu.

Produk yang mereka hasilkan bukan hanya cermin kreativitas, tetapi juga bukti kekuatan industri dapat berpadu dengan potensi komunitas, melahirkan ekonomi baru yang tumbuh dari akar.

Di sanalah sebenarnya letak esensi program Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) menghadirkan ruang partisipasi yang setara.

Menggeser masyarakat dari posisi penerima menjadi penggerak, dan mengubah logika pertambangan dari sekadar eksploitasi menjadi kolaborasi.

Transformasi cara pandang seperti ini, penting karena selama bertahun-tahun industri pertambangan, selalu diposisikan dalam dikotomi hitam putih.

Antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan, antara keuntungan perusahaan dan kesejahteraan masyarakat.

Padahal, keduanya tidak harus saling meniadakan jika paradigma keberlanjutan dijadikan fondasi.

Ketika perusahaan seperti PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA) dan sejumlah perusahaan lain, mulai melihat masyarakat bukan sebagai beban yang harus diberi kompensasi.

Tapi sebagai mitra pembangunan, maka bentuk hubungan yang tercipta berubah secara fundamental.

Direktur Utama CITA Harry Kesuma Tanoto pernah menegaskan pentingnya konsistensi perusahaan tambang untuk membangun daerah melalui program-program PPM.

Baik dari sisi infrastruktur, pendidikan, maupun kemandirian ekonomi masyarakat.

Hal ini penting untuk menegaskan komitmen mereka dalam menjalankan praktik keberlanjutan yang tidak hanya berfokus pada aspek bisnis.

Generasi muda perlu untuk memahami literasi pertambangan yang berkelanjutan. (ANTARA/HO-MediaMIND)

Juga berorientasi pada pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat di sekitar wilayah operasionalnya.

Kolaborasi semacam inilah yang kemudian dapat melahirkan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal, memperkuat rantai nilai produksi.

Menghidupkan kembali ruang-ruang sosial. Yang selama ini tertinggal oleh arus investasi besar.

Pergeseran tersebut terlihat pula dalam komitmen membangun infrastruktur yang benar-benar menjawab kebutuhan dasar masyarakat.

Pembukaan akses jalan puluhan kilometer yang menghubungkan kampung, desa, kecamatan, hingga kabupaten.

Hal itu merupakan contoh konkret, bagaimana intervensi industri dapat memberi dampak jangka panjang.

Jalan bukan sekadar proyek fisik tapi pintu menuju mobilitas sosial dan ekonomi.

Ketika akses terbuka, petani dapat menjangkau pasar, anak-anak lebih mudah mencapai sekolah, layanan kesehatan lebih dekat, dan roda perdagangan berputar lebih cepat.

Di sinilah sinergi antara pemerintah dan pelaku industri menemukan bentuknya, infrastruktur menjadi fondasi untuk memperluas pemerataan pembangunan.

Keterlibatan perusahaan dalam penyediaannya, menjadi bagian dari strategi negara dalam memperkecil kesenjangan antarwilayah.

Kemandirian Ekonomi

Lebih jauh lagi, pemberdayaan masyarakat tidak cukup hanya menyediakan fasilitas, tapi harus menjawab tantangan nyata yang dihadapi komunitas.

Program replanting sawit yang dijalankan di perkebunan rakyat misalnya juga menjadi contoh bagaimana intervensi yang tepat dapat meningkatkan daya tahan ekonomi sekitar.

Produktivitas perkebunan rakyat sering terjebak dalam masalah klasik di mana bibit berkualitas rendah, minimnya pengetahuan teknis, serta kelembagaan petani yang lemah.

Pendekatan yang menggabungkan dukungan teknis, penyediaan bibit unggul, pelatihan pengelolaan lahan, dan penguatan organisasi petani dapat memutus lingkaran itu.

Hasilnya bukan hanya peningkatan hasil panen, tetapi juga terciptanya kemandirian ekonomi dan perlindungan terhadap kepemilikan lahan oleh masyarakat.

Dalam konteks yang lebih luas, hal ini juga mendukung agenda pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan dan memperluas basis ekonomi lokal.

Tak kalah penting adalah perhatian pada pembangunan manusia. Pendidikan merupakan fondasi bagi kemajuan jangka panjang, dan langkah untuk mengatasi tingginya angka putus sekolah.

Misalnya, melalui program “Gerakan Ayo Sekolah Ciptakan Edukasi, Relasi dan Dukungan Anak Sekolah” (GAS CERDAS) menunjukkan kesadaran akan hal itu.

Upaya mengembalikan anak-anak ke bangku pendidikan formal atau memberi mereka kesempatan, menyelesaikan pendidikan melalui jalur alternatif.

Bukan sekadar tindakan sosial, tetapi investasi strategis dalam membangun generasi yang berdaya saing.

Upaya seperti ini sejatinya sejalan dengan prioritas nasional dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Kehadiran perusahaan yang aktif berperan memperkuat agenda tersebut, mempercepat pencapaian target pembangunan jangka panjang.

Selain itu, membuka akses kerja secara langsung di ajang yang sama juga merupakan langkah yang patut dicatat.

Rekrutmen yang terbuka memberikan ruang bagi talenta lokal untuk terlibat dan berkembang dalam industri strategis.

Ini bukan hanya tentang mengisi posisi kosong, melainkan tentang membangun jembatan antara peluang dan potensi.

Sekaligus memastikan, terjadinya alih pengetahuan dan teknologi yang lebih merata.

Orientasi Keberlanjutan

Ketika sektor swasta secara proaktif menciptakan peluang kerja di daerah operasionalnya.

Turut membantu pemerintah mengatasi persoalan struktural seperti pengangguran dan ketimpangan wilayah.

Semua inisiatif ini mengarah pada satu kesimpulan penting, pertambangan yang berorientasi pada keberlanjutan bukanlah utopia.

Ini nyata ketika perusahaan tidak lagi memandang tanggung jawab sosial sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari strategi pertumbuhan jangka panjang.

Ditemukan, ada 450 titik lokasi tambang ilegal, dengan jumlah excavator yang bekerja secara aktif sebanyak 1.000 unit di dalam kawasan hutan Aceh. (borneoreview/ANTARA)

Ini juga menjadi nyata ketika pelaku industri menjadikan keberhasilan bukan hanya soal volume produksi.

Tapi soal perubahan yang dirasakan langsung oleh masyarakat dari jalan yang menghubungkan isolasi, dari petani yang kini berdaya mengelola lahannya.

Dari anak-anak yang kembali ke sekolah, hingga dari ekonomi lokal yang mulai hidup kembali.

Namun untuk menjadikan hal itu norma baru, bukan pengecualian, diperlukan komitmen yang konsisten, mekanisme pengawasan yang kuat, dan sinergi antara negara, industri, dan masyarakat.

Pemerintah perlu menetapkan standar keberlanjutan yang jelas dan memastikan setiap pelaku industri mematuhinya.

Sementara masyarakat perlu terus terlibat aktif dalam proses perencanaan dan pengawasan program.

Dengan cara itu, praktik baik tidak berhenti pada satu atau dua perusahaan, tetapi menjadi fondasi bagi seluruh ekosistem pertambangan nasional.

Apa yang dilakukan hari ini mungkin masih langkah awal, tetapi membuka jalan bagi masa depan industri ekstraktif Indonesia yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada manusia.

Pertambangan yang dulunya identik dengan eksploitasi kini berpotensi menjadi kekuatan transformasional.

Menghubungkan kepentingan ekonomi dengan kemajuan sosial, menyatukan sumber daya alam dengan nilai kemanusiaan.

Inilah yang akan mengantarkan Indonesia menuju masa depan di mana pembangunan tidak lagi berarti mengambil, melainkan memberi kembali secara berlipat.***

Exit mobile version