Site icon Borneo Review

IPB: Serangga Penyerbuk Penentu Keberlanjutan Industri Sawit Indonesia

BOGOR, borneoreview.co – Dari total Rp 440 triliun nilai produksi dan pengolahan kelapa sawit yang diperoleh Indonesia setiap tahun, Rp 300 triliun di antaranya diprediksi berpotensi hilang.

“Ya, sekitar Rp 300 triliun di antaranya berpotensi hilang jika serangga penyerbuk tidak hadir dalam ekosistem kebun sawit,” ucap Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof Purnama Hidayat, seperti dikutip Mediaperkebunan.id dari laman resmi IPB University, Sabtu (7/6/2025).

Hal itu diungkapkan saat Prof Purnama Hidayat berbicara dalam konferensi pers pra-orasi ilmiah Guru Besar IPB University melalui secara daring melalui aplikasi Zoom, belum lama ini.

Purnama Hidayat mengingatkan bahwa industri perkebunan dan pengolahan kelapa sawit menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia dengan nilai produksi mencapai Rp 440 triliun per tahun. Namun, kata dia menambahkan, justru hanya sedikit yang menyadari bahwa pencapaian yang begitu besar ini justru sangat bergantung pada jasa serangga penyerbuk.

“Kelapa sawit tanpa kehadiran serangga penyerbuk akan mengalami penurunan produksi hingga 70-80 persen,” tutur Purnama Hidayat melanjutkan.

Ia mengatakan bahwa dari total nilai produksi sawit yang mencapai Rp 440 triliun, sekitar Rp 300 triliun berpotensi hilang jika serangga penyerbuk tidak hadir dalam ekosistem kebun sawit. Menurut Purnama Hidayat, Indonesia beruntung memiliki kondisi ekologi yang mendukung keberadaan serangga penyerbuk alami.

Sebagai contoh, Malaysia bahkan harus mengimpor serangga bernama Elaeidobius kamerunicus dari Afrika untuk menjamin keberhasilan penyerbukan kelapa sawit.

“Karena asal tanaman kelapa sawit sendiri dari Afrika, serangganya pun dibawa dari sana,” ucapnya.

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa masyarakat kerap menganggap kehadiran serangga sebagai hal yang remeh. Padahal, tegasnya, serangga merupakan pekerja ekosistem yang sangat vital.

“Jika tidak ada serangga, maka penyerbukan harus dilakukan secara manual, sebuah pekerjaan yang hampir mustahil mengingat jutaan hektar kebun sawit tersebar di seluruh Indonesia,” paparnya.

Selain membahas peran penting serangga penyerbuk, Prof Purnama juga menyoroti potensi serangga sebagai sumber protein masa depan. Di beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, dan Tiongkok, konsumsi serangga sudah menjadi bagian dari budaya.

“Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan telah menyatakan bahwa serangga adalah sumber protein paling murah dan efisien secara energi,” katanya.

Dalam konteks pertanian berkelanjutan, penggunaan musuh alami sebagai pengendali hama juga mulai diadopsi oleh industri, seperti yang dilakukan oleh sebuah perusahaan gula tua di Lampung.

“Mereka (perusahaan gula di Lampung – red) berhasil menurunkan penggunaan insektisida hingga 80 persen melalui budi daya serangga predator,” beber Purnama Hidayat.

“Ini menunjukkan bahwa serangga tidak hanya penting bagi sawit, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan ekosistem pertanian secara luas,” ucapnya lagi.

Karena itu Prof Purnama Hidayat mengajak semua pihak untuk lebih menghargai dan mengembangkan potensi serangga, baik sebagai penyerbuk, pengendali hayati, maupun sumber pangan masa depan.

“Mungkin saat ini kita menganggap makan serangga aneh, tapi 20-30 tahun lagi, bisa jadi itu hal biasa,” tegas Prof. Purnama Hidayat.***

Exit mobile version