KALSEL, borneoreview.co – Kalimantan Selatan, yang dikenal sebagai penghasil batu bara terbesar di Indonesia dengan produksi hampir 160 juta ton per tahun, menyimpan sebuah ironi besar. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah, termasuk luasnya perkebunan kelapa sawit yang mencapai 427.000 hektare dengan 86 perusahaan, ternyata tidak mampu menjamin kesejahteraan masyarakat lokal.
Meski menjadi pusat aktivitas ekonomi besar seperti pertambangan dan perkebunan, kesenjangan sosial di Kalimantan Selatan terlihat sangat mencolok. Masih banyak masyarakat miskin yang tinggal di rumah tidak layak huni, beratapkan dan berdinding daun nipah, sementara para taipan tambang dan pemilik perusahaan perkebunan tinggal di rumah bak istana.
Berdasarkan data, terdapat 43.921 rumah di Kalimantan Selatan yang masuk kategori rumah tidak layak huni (RTLH). Hingga 2023, baru sekitar 31,63% atau 13.891 rumah yang telah diperbaiki. Di sisi lain, jumlah penduduk miskin di provinsi ini masih mencapai 183,31 ribu jiwa per Juni 2024.
Keberadaan tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit yang seharusnya menjadi penggerak ekonomi justru belum banyak memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Ironi ini semakin diperparah dengan adanya tambang ilegal yang turut mengeksploitasi sumber daya tanpa kontribusi nyata terhadap kesejahteraan rakyat.
Masalah ini mencerminkan perlunya perhatian lebih dari pemerintah dan pelaku usaha untuk memastikan pemerataan hasil kekayaan alam. Tanpa adanya upaya nyata untuk mengatasi kesenjangan sosial ini, tembok pemisah antara si kaya dan si miskin akan terus menjadi luka sosial yang menganga di Kalimantan Selatan, salah satu provinsi terkaya di Indonesia. (Kom)