PONTIANAK, borneoreview.co – Perkembangan media dan media sosial yang begitu cepat, membuat berbagai negara harus menanggapi dengan berbagai program.
Satu diantaranya, Maritime Silk Road Media Cooperation Platform di Guangzhou, 1 Desember 2025.
Peuncuran itu menandai babak baru dalam upaya membangun ekosistem pemberitaan yang lebih kolaboratif dan konstruktif di kawasan Asia, Afrika, dan Pasifik.
Di tengah dunia yang sebagian besar narasinya ditentukan oleh kecepatan, persaingan algoritma, dan bias geografis, kehadiran platform ini mencerminkan kebutuhan.
Untuk menghadirkan kembali jurnalisme yang mampu menjembatani perbedaan, memulihkan kepercayaan, dan memperluas ruang dialog lintas negara.
Inisiatif yang digagas oleh South, media internasional unggulan di bawah Nanfang Media Group ini, menjadi titik temu bagi 11 negara.
Terutama negara di sepanjang Jalur Sutra Maritim, untuk menyatukan kembali cara mereka menarasikan dan menceritakan dunia.
Peluncuran tersebut tidak dibingkai sebagai seremoni biasa. Tetapi berlangsung dengan suasana yang menegaskan.
Kehadiran platform ini berangkat dari kesadaran bersama, arus informasi global telah memasuki fase yang menuntut pendekatan baru.
Delegasi dari Indonesia, Mesir, Fiji, Malaysia, Myanmar, Vanuatu, Vietnam, Timor Leste, Kamboja, Kepulauan Solomon, dan sejumlah negara lain.
Mereka hadir bukan sekadar untuk menyaksikan lahirnya wadah kerja sama baru.
Tapi untuk membicarakan masa depan jurnalisme di kawasan yang selama berabad-abad terhubung melalui perdagangan, migrasi, dan pertukaran budaya.
Editor-in-Chief Nanfang Media Group Huang Can menggarisbawahi pergeseran mendasar yang ingin diwujudkan platform ini.
Bahwa, kolaborasi bernilai lebih daripada kompetisi dalam membangun narasi global.
Ia menekankan pentingnya membangun kisah yang menonjolkan perdamaian, kesalingpahaman, dan keberhasilan bersama.
Sebuah pendekatan yang terasa semakin relevan, ketika dunia menghadapi fragmentasi informasi dan meningkatnya sensitivitas geopolitik.
Ungkapan itu mencerminkan upaya untuk membentuk kembali paradigma jurnalisme yang selama ini terlalu akrab dengan dikotomi antara apa yang dianggap “laku” dan apa yang dianggap “penting bagi publik”.
Editor-in-Chief South Zhao Yang merinci enam agenda kerja sama yang menjadi fondasi operasional platform ini mencakup liputan bersama.
Ada produksi konten lintas negara, koordinasi dalam peliputan isu besar, berbagi materi lintas platform, dialog strategis berkelanjutan, serta eksplorasi kolaborasi bisnis dan budaya.
Enam agenda itu mungkin tampak teknis, tetapi di baliknya terdapat arsitektur baru jurnalisme internasional, yang berusaha membangun jaringan lintas batas.
Menghadirkan kerangka produksi konten yang tidak lagi berpusat pada satu negara, serta membuka ruang dialog bagi media dari negara berkembang untuk berpartisipasi setara.
Audiens Alami
Dialog yang lahir dari peluncuran platform menegaskan, nilai timbal balik yang ingin dibangun.
Zhao menekankan bahwa cerita dari negara-negara di sepanjang Jalur Sutra Maritim memiliki audiens alami di wilayah Greater Bay Area.
Mengingat banyaknya simpul hubungan melalui perdagangan, diaspora, dan pariwisata.
Pernyataan itu membuka kemungkinan liputan bersama yang lebih bernilai strategis, termasuk laporan perdagangan Indonesia–Guangdong.
Menjelang penyelenggaraan APEC tahun depan, maupun produksi konten perjalanan lintas kawasan.
Lebih dari itu, ia menunjukkan bahwa jurnalisme kolaboratif dapat menjadi sarana diplomasi yang lebih cair dan efektif.
Dalam seminar yang berlangsung setelah sesi peluncuran, sejumlah pemimpin redaksi membicarakan perlunya paradigma baru dalam pemberitaan internasional.
Leone Kacimaimuri Cabenatabua dari Fiji Sun menyampaikan refleksi yang menggugah tentang dominasi pola pikir bad news sells di industri media.
Pengalamannya melihat dukungan China saat Fiji menghadapi ketidakstabilan politik membuatnya memahami bahwa berita yang menonjolkan pembangunan, ketahanan sosial.
Juga kerja sama multilateral sering kali lebih dekat, dengan kebutuhan masyarakat daripada narasi konflik yang terus berulang.
Ia menilai platform ini sebagai ruang uji untuk membangun pola penceritaan baru yang lebih berpihak pada pembangunan.
Pandangan serupa muncul dalam diskusi tentang peran jurnalisme sebagai jembatan antarmanusia dan antarbangsa.
Mohamed Elmehalawy dari Cairo 24 di Mesir menyoroti, bagaimana Guangdong mampu menyeimbangkan inovasi industri dengan pelestarian budaya.
Sebuah keseimbangan yang menurutnya penting dibagikan kepada negara lain.
Kesan tersebut meneguhkan gagasan bahwa liputan tentang perubahan sosial dan inovasi tidak cukup dituturkan oleh satu negara.
Tapi perlu dirangkai melalui berbagai perspektif agar gambaran yang tercipta menjadi lebih utuh dan manusiawi.
Keseluruhan rangkaian kegiatan sebelum peluncuran platform termasuk kunjungan ke pusat teknologi mobil otonom di Shenzhen, kampung budaya Hakka yang direvitalisasi.
Hingga liputan konferensi Understanding China 2025, memberikan gambaran tentang bagaimana kolaborasi media, dapat bergerak melampaui retorika.
Delegasi melihat bagaimana Provinsi Guangdong menampilkan dua wajah yang saling melengkapi.
Yakni, pusat inovasi yang agresif sekaligus wilayah yang mempertahankan warisan budaya sebagai fondasi identitas.
Pengalaman seperti ini memperkaya wawasan para delegasi tentang model pembangunan yang dapat ditranslasikan ke berbagai negara.
Diplomasi Media
Bagi Indonesia, urgensi keterlibatan dalam platform ini tidak bersifat seremonial, melainkan strategis.
Indonesia berada di tengah transformasi media yang sangat cepat, menghadapi tantangan disinformasi, kebutuhan adaptasi teknologi digital, serta persaingan untuk mengangkat isu-isu nasional di panggung global.
Platform ini menyediakan akses pada jaringan produksi berita internasional. Yang mampu memperluas jangkauan narasi Indonesia.
Menghubungkan diplomasi ekonomi dan kebudayaan dengan publik lintas negara, serta memperkuat ekosistem jurnalisme yang berstandar tinggi.
Kerja sama lintas negara dalam produksi konten juga memungkinkan munculnya liputan yang dapat menggambarkan Indonesia.
Melalui perspektif kolektif Asia dan Pasifik, bukan hanya sudut pandang internal atau Western-centric yang sering mendominasi pemberitaan global.
Dalam konteks perdagangan, pariwisata, inovasi teknologi, dan hubungan masyarakat, kemampuan membangun kisah bersama dengan negara lain.
Juga memberikan nilai yang signifikan bagi reputasi Indonesia, di mata publik internasional.
Narasi yang disampaikan oleh jurnalis dari berbagai negara berpotensi memiliki bobot yang lebih kuat dan lebih meyakinkan daripada pesan tunggal yang disampaikan secara unilateral.
Selain itu, platform ini memungkinkan Indonesia untuk memperkuat diplomasi media dalam isu-isu strategis.
Seperti, transisi energi, ketahanan pangan, pembangunan berkelanjutan, dan integrasi ekonomi kawasan.
Banyak kebijakan nasional memerlukan dukungan naratif di luar negeri agar dipahami dalam konteks yang tepat.
Kolaborasi lintas redaksi dapat menghadirkan penjelasan yang lebih komprehensif dan meminimalkan distorsi informasi.
South telah memulai langkah awal dengan meluncurkan kolom multimedia yang menampilkan pengalaman para delegasi.
Kehadiran ruang seperti ini membuka peluang bagi jurnalis Indonesia untuk terlibat sebagai penulis bersama dalam cerita-cerita yang menjangkau audiens regional, bukan sekadar pembaca domestik.
Hal ini menandai perubahan penting bahwa narasi Indonesia kini dapat bergerak sebagai bagian dari jaringan internasional yang lebih luas, bukan berdiri sendiri.
Platform Maritime Silk Road Media Cooperation juga menjadi bukti bahwa jurnalisme di abad ke-21 membutuhkan strategi baru yang melampaui batas administratif dan ideologis.
Ajang ini juga menegaskan bahwa kerja sama lintas negara bukan ancaman bagi independensi.
Melainkan fondasi bagi kualitas pemberitaan yang lebih kaya, lebih berimbang, dan lebih relevan dengan kehidupan masyarakat global.
Bagi Indonesia, partisipasi aktif di dalamnya bukan hanya pilihan diplomatik.
Tapi sebuah investasi strategis untuk memastikan bahwa kisah tentang bangsa ini disampaikan dengan cara yang cerdas, manusiawi, dan diakui dunia.***
