NEWYORK, borneoreview.co – Di sebuah ruang kerja sederhana di jantung Kota New York, Amerika Serikat, aroma waktu seolah berhenti di antara rak-rak kayu yang dipenuhi partitur tua.
Catatan-catatan musik terlihat mulai menguning. Foto-foto hitam putih merekam jejak kehidupan.
Di sanalah, di tengah keheningan yang hanya dipecah oleh denting lembut piano, duduk James F. Sundah. Seorang maestro yang karyanya telah menjadi bagian dari denyut ingatan bangsa.
Namanya lekat dalam sejarah musik Indonesia, tak terpisahkan dari “Lilin-Lilin Kecil”. Lagu abadi yang menemani perpisahan, menenangkan kehilangan, dan merayakan harapan di hati jutaan orang.
Namun, bagi James, hidupnya bukanlah tentang panggung dan sorak sorai penonton. Bukan pula tentang pujian atau popularitas yang datang dan pergi.
Hidupnya adalah tentang perjalanan panjang seorang seniman. Yang memilih mencipta dengan ketulusan, menulis dengan cinta, dan menghadirkan keindahan dari kedalaman jiwa. Bahkan, ketika tak seorang pun melihatnya.
Perjalanan itu kembali mencapai titik penting ketika ia merilis karya terbarunya, “Seribu Tahun Cahaya.”
Lagu ini bukan sekadar musik, tapi juga kisah tentang cinta, kesetiaan, waktu yang panjang, dan rasa syukur yang mendalam.
“Lagu ini saya tulis delapan belas tahun lalu untuk istri saya, Lia,” ujar James dengan suara yang tenang, meski sarat emosi.
Tapi hidup berjalan dengan segala kejutan dan ujian. James sempat mengalami masa kritis karena kanker.
“Lia, bersama anak kami, merawat saya dengan cinta yang tak pernah surut. Lagu ini adalah ucapan terima kasih yang tidak akan pernah cukup,” tutur James.
Di usia yang tak lagi muda, dengan rambut putih gondrong yang menandakan perjalanan panjangnya, James justru terlihat semakin hidup.
Baginya, “Seribu Tahun Cahaya” bukan hanya proyek musik, tetapi cermin dari seluruh perjalanan batin seorang pencipta yang tak pernah berhenti belajar tentang kehidupan.
Ia memilih merilisnya dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jepang. Bukan demi sensasi, melainkan sebagai simbol bahwa cinta dan pesan kemanusiaan bersifat universal.
Setiap versi menghadirkan warna budaya yang berbeda. Angklung dan kolintang yang hangat di versi Indonesia. Koto dan shakuhachi yang melankolis di versi Jepang. Nuansa luar angkasa lewat sintetis futuristik di versi Inggris.
Semua itu adalah cara James menyampaikan satu pesan sederhana. Bahwa, musik mampu menembus batas waktu, bahasa, dan geografis.
Dua Dekade
Perjalanan “Seribu Tahun Cahaya” sendiri tidak selalu mulus. Saat pertama kali digarap pada 2007, genre Pop/EDM yang ia rancang dianggap terlalu maju.
“Mendiang Djaduk Ferianto bahkan mengatakan musiknya terlalu futuristik,” kenang James sambil tersenyum.
Namun, ia tidak mundur. Ia yakin pada visinya dan terus berjalan pelan-pelan, menyempurnakan setiap nada, hingga akhirnya lagu ini menemukan bentuk terbaiknya hampir dua dekade kemudian.
Di situlah terlihat prinsip yang sejak awal ia pegang, karya seni bukanlah soal siapa yang paling cepat sampai di garis akhir. Melainkan siapa yang paling setia berjalan, tanpa kehilangan makna.
Dalam proses panjang itu, James juga membuktikan bahwa kesempurnaan bukanlah hasil kerja seorang diri.
Ia melibatkan banyak kolaborator, dari Meilody Indreswari yang menyanyikan versi awal.
Ada Claudia Emmanuela Santoso, pemenang The Voice of Germany, yang memberikan nyawa baru pada versi Indonesia dan Inggris.
“Sudah lama saya tidak menemukan lagu seperti ini,” kata Claudia. “Liriknya dalam, melodinya puitis, dan ada kejujuran yang jarang saya temui.”
Bagi Meilody sendiri, keterlibatannya bukan sekadar proyek profesional, tetapi perjalanan spiritual.
“Om James bahkan meminta bantuan native speaker untuk memastikan pelafalan saya tepat. Rekamannya berkali-kali, tapi semuanya penuh cinta,” ujarnya.
Ketika lagu itu akhirnya dirilis dan mendapatkan penghargaan MURI sebagai, “Penerbitan Serentak Single Tiga Bahasa dari Tiga Benua dengan Peran Terbanyak Berhak atas Hak Ekonomi Hak Cipta.”
James tidak tampak larut dalam euforia. Ia justru lebih banyak berbicara tentang pentingnya ekosistem musik yang adil.
“No song, no music industry,” ujarnya, mengutip pernyataannya sendiri di majalah Rolling Stone Indonesia pada 2009. “Tanpa lagu, tidak ada industri musik.
Tapi tanpa keadilan bagi penciptanya, musik akan kehilangan jiwanya.”
Hak Ekonomi
Di era ketika distribusi digital, kerap mereduksi nilai karya seni menjadi angka-angka streaming, James memilih jalur berbeda.
Ia mendaftarkan lagu barunya ke US Copyright Office dan memastikan seluruh kontributor memperoleh hak ekonomi secara proporsional.
Dalam proyek ini, ia tidak hanya menjadi komponis, tetapi juga penulis lirik, arranger, musisi, produser, publisher, sound engineer, hingga videografer.
Keputusan itu bukan karena ambisi menguasai semuanya, melainkan sebagai pernyataan tegas bahwa setiap karya adalah hasil kerja kolektif yang harus dihargai.
Bagi James, musik selalu lebih besar daripada dirinya sendiri.
Ia tidak pernah melihat lagu-lagunya sebagai produk komersial, tetapi sebagai cara untuk merawat ingatan, menyampaikan pesan, dan membangun kesadaran.
“Seribu Tahun Cahaya” memang lahir dari cinta seorang suami kepada istrinya.
Tetapi lebih dari itu, lebih merupakan metafora tentang ketekunan, kesetiaan, dan kekuatan manusia untuk terus mencipta meski waktu berjalan begitu panjang.
Jejak James membentang luas. Selain “Lilin-Lilin Kecil” yang menjadi anthem lintas generasi.
Ia juga pernah bekerja sama dengan dua personel Scorpions, Klaus Meine dan Rudolf Schenker, dalam lagu “When You Came Into My Life” yang diproduseri David Foster dan meraih sertifikasi emas di Eropa.
Ia pernah berkolaborasi dengan Titiek Puspa, dan terlibat aktif dalam berbagai organisasi musik.
Seperti, Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI), Karya Cipta Indonesia (KCI), dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk memperjuangkan hak cipta di Indonesia.
Semua itu ia lakukan bukan demi nama besar, tetapi demi satu cita-cita untuk menjadikan musik Indonesia dihormati dan para penciptanya dihargai.
Kini, di masa senjanya, James tinggal bersama Lia dan anak mereka di New York. Namun, lilin kecil yang ia nyalakan puluhan tahun lalu terus menyala.
Ia masih menulis, masih mencipta, dan masih percaya bahwa setiap nada punya kekuatan untuk mengubah dunia.
“Saya hanya ingin terus berkarya,” katanya pelan. “Kalau satu lagu bisa membuat seseorang merasa tidak sendiri, atau memberi harapan kepada yang sedang putus asa, maka hidup saya tidak sia-sia.”
Dalam dunia yang serba cepat, penuh kebisingan, dan sering melupakan makna, James F. Sundah berdiri sebagai pengingat.
Karya besar tidak lahir dari keinginan untuk terkenal. Tapi dari ketulusan hati, yang terus bekerja tanpa pamrih.
“Seribu Tahun Cahaya” bukan sekadar lagu tapi cermin hidup seorang seniman yang setia pada panggilan jiwanya.
Mencipta dengan cinta, berjuang demi keadilan, dan berbagi cahaya, bagi siapa pun yang bersedia mendengarkan.
Di situlah letak keabadian, bukan pada seberapa sering lagu itu diputar, tetapi pada seberapa dalam ia menyentuh hati.***
