JAKARTA, borneoreview.co – Berbicara soal kemiskinan dan ketahanan pangan di Indonesia, kita seakan sedang membicarakan dua hal yang saling terkait dan sulit dipisahkan.
Kemiskinan membuat orang kesulitan mendapatkan makanan bergizi. Sementara keterbatasan pangan, justru memperkuat jerat kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada Maret 2025, persentase penduduk miskin di Indonesia turun menjadi 8,47 persen, atau setara dengan 23,85 juta orang.
Angka ini merupakan yang terendah dalam dua dekade terakhir, dan menunjukkan kemajuan dalam penanggulangan kemiskinan. Meski demikian, jumlah itu tetap besar.
Kemiskinan bukan sekadar soal uang. Lebih dari itu, kemiskinan adalah keterbatasan pilihan hidup.
Saat sebuah keluarga hanya mampu membeli beras, kebutuhan gizi lain seperti sayur, lauk, dan buah terpaksa dikorbankan.
Pola makan seperti ini berkontribusi pada masalah gizi buruk dan stunting.
Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa potensi optimal, dan produktivitas tenaga kerja pun rendah.
Rantai kemiskinan ini sulit diputus tanpa intervensi serius.
Data menunjukkan bahwa lebih dari separuh orang miskin Indonesia masih tinggal di desa dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian.
Meskipun pertanian merupakan lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja paling banyak di Indonesia.
Pada kenyataannya para petani sering kali kesulitan memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.
Meskipun pada Juli 2025 nilai tukar petani (NTP) nasional, sebagai salah satu indikator dalam melihat daya beli petani di perdesaan.
NTP menunjukkan kenaikan sebesar 0,76 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Pendapatan petani ini rapuh, karena bergantung pada harga pasar yang fluktuatif.
Cuaca yang makin tidak menentu akibat perubahan iklim, biaya produksi tinggi, serta keterbatasan infrastruktur.
Perhatian khusus perlu diberikan kepada kawasan timur, terutama Maluku dan Papua.
Di wilayah ini, angka kemiskinan justru meningkat dengan infrastruktur yang terbatas, biaya hidup tinggi, dan keterisolasian geografis.
Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan secara sederhana didefinisikan sebagai kondisi ketika setiap individu memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, bergizi, aman, dan berkelanjutan setiap hari.
Food and Agriculture Organization (FAO), atau dalam bahasa Indonesia Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
PBB menggarisbawahi empat pilar utama ketahanan pangan. Yaitu, ketersediaan, aksesibilitas, pemanfaatan, dan stabilitas.
Ketahanan pangan sering dipersepsikan soal produksi beras semata. Padahal, definisinya jauh lebih luas, terkait ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan.
Dalam Global Food Security Index (2022), Indonesia berada di peringkat 63 dari 113 negara, lebih baik dari sebagian negara berkembang, tetapi masih tertinggal dibanding Malaysia atau Vietnam.
Di Indonesia, ketersediaan pangan terutama beras relatif aman. Namun, masalah mulai muncul ketika kita bicara soal akses dan pemanfaatan.
Tidak semua orang bisa mendapatkan makanan bergizi dengan mudah. Di daerah terpencil, harga sayur atau ikan bisa berkali-kali lipat dibanding kota.
Pola makan masyarakat pun masih monoton, lebih banyak nasi, lebih sedikit protein atau buah-buahan.
Stabilitas juga menjadi tantangan tersendiri. Awal 2024, kenaikan harga beras sempat membuat banyak orang panik.
Peristiwa itu menunjukkan betapa rapuhnya sistem pangan kita terhadap perubahan cuaca, spekulasi pasar, hingga kebijakan impor.
Fluktuasi harga akibat gangguan iklim, spekulasi pasar, maupun kebijakan impor-ekspor sering memicu gejolak sosial.
Kerentanan Pangan
Kemiskinan dan kerentanan pangan memiliki kaitan erat. Oleh karena itu, solusi pangan tidak bisa dipisahkan dari upaya pengentasan kemiskinan.
Meningkatkan produksi saja tidak cukup. Hal yang lebih penting adalah membuat masyarakat bisa membeli dan mengonsumsi makanan bergizi.
Masalah pangan kita tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga dari luar.
Perubahan iklim membuat musim tanam makin tidak menentu, panen gagal, dan lahan makin rentan.
Petani kecil yang mengandalkan sawahnya jadi kelompok paling merasakan dampaknya.
Selain itu, konflik geopolitik di belahan dunia lain juga berpengaruh. Ketegangan di Laut Hitam, misalnya, membuat harga gandum dunia naik.
Padahal Indonesia masih sangat tergantung pada impor gandum untuk industri mi dan roti.
Inilah yang membuat diversifikasi pangan, seperti kembali ke sagu, jagung, atau umbi-umbian menjadi penting.
Pemerintah tentu tidak tinggal diam. Ada program bantuan pangan, PKH, hingga food estate. Namun di lapangan, masalahnya sering klasik.
Seperti, data penerima yang tidak tepat, distribusi yang lambat, hingga pengawasan yang lemah.
Di sektor produksi, petani kecil masih kesulitan mengakses modal dan teknologi. Mereka sering terjebak dalam harga pupuk yang mahal dan pasar yang tidak berpihak.
Memutus Lingkaran Kemiskinan
Memutus lingkaran kemiskinan dan kerentanan pangan memang bukan hal yang mudah, tapi kita harus bersama-sama mencari berbagai cara untuk mengatasinya.
Pertama, kita perlu memberikan dukungan yang kuat kepada petani dan nelayan kecil, agar mereka bisa mendapatkan akses modal, teknologi, dan harga jual yang adil.
Kedua, penting untuk mengembangkan beragam sumber pangan, tidak hanya bergantung pada beras saja, karena Indonesia kaya akan pangan lokal yang layak dikembangkan.
Ketiga, kita perlu memperbaiki sistem perlindungan sosial dengan data yang tepat, sehingga bantuan yang diterima bukan hanya sekadar beras.
Tetapi juga makanan bergizi yang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat bagi penerimanya.
Indonesia memiliki peluang besar untuk terlepas dari jeratan kemiskinan dan masalah pangan jika kita sungguh-sungguh membangun sistem yang adil dan berkelanjutan.
Bonus demografi yang kita miliki hanya akan bermakna jika generasi muda kita tumbuh dengan sehat dan mampu berkontribusi secara produktif.
Ketahanan pangan bukan hanya soal pertanian semata, tapi juga berkaitan erat dengan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan yang baik, dan semuanya harus berjalan selaras.
Pada akhirnya, kemiskinan dan ketahanan pangan adalah masalah kehidupan nyata yang dirasakan oleh banyak orang, bukan sekadar angka di dalam laporan.
Mereka hadir di meja makan setiap keluarga di Indonesia.
Jalan menuju Indonesia Emas 2045 sangat bergantung pada keberanian kita untuk memutus lingkaran ini dengan mengutamakan mereka yang membutuhkan, melindungi petani kecil, serta membangun sistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan.
*) Dr. Nenden Budiarti adalah statistisi dan pemerhati isu sosial ekonomi.