Site icon Borneo Review

Jikalahari Ungkap Indikasi Pelanggaran Komitmen Lingkungan oleh Perusahaan HTI di Kalimantan Barat

Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mengungkapkan hasil temuan timnya dalam acara Kolase Journalist Camp yang diadakan di Sungai Kakap

Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mengungkapkan hasil temuan timnya dalam acara Kolase Journalist Camp yang diadakan di Sungai Kakap (ANTARA/Rendra Oxtora).

PONTIANAK, borneoreview.co – Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran komitmen lingkungan oleh empat perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kalimantan Barat. Temuan ini dihasilkan dari pemantauan yang dilakukan Jikalahari bersama organisasi masyarakat sipil sejak 2018 hingga 2024, mencakup delapan provinsi di Indonesia, dengan fokus pada penerapan kebijakan seperti NDEP (No Deforestation, No Peat, and No Exploitation), restorasi gambut, dan kepatuhan terhadap perlindungan lingkungan.

“Berdasarkan pemantauan kami, terdapat empat dari sebelas perusahaan HTI di Kalbar yang terindikasi melanggar komitmen lingkungan,” kata Okto pada diseminasi hasil penelitian di Pontianak, Minggu (27/10). Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Finantara Intiga, PT Mayawana Persada, PT Asia Tani Persada, dan PT Wana Hijau Pesaguan.

Okto menjelaskan, perusahaan-perusahaan ini diduga melakukan pelanggaran serius, termasuk pembukaan lahan gambut, deforestasi di kawasan lindung, konflik lahan dengan masyarakat, serta alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Contohnya, PT Finantara Intiga memiliki konsesi seluas 286.770 hektare di Sanggau, Sekadau, dan Sintang, namun hanya 12,6 persen area yang dikelola oleh masyarakat. Ini menciptakan ketimpangan akses lahan dan konflik dengan masyarakat lokal.

Lebih lanjut, PT Mayawana Persada tercatat membuka lahan seluas 49.953 hektare, di mana 22.150 hektare berada di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). “Ini merupakan indikasi pelanggaran serius, karena perusahaan seharusnya memprioritaskan perlindungan kawasan gambut, bukan membuka lahan baru,” imbuhnya.

Sementara itu, PT Asia Tani Persada tetap membuka lahan baru seluas 431 hektare di KHG Sungai Labai-Sungai Kualan meskipun PP Nomor 57 Tahun 2016 melarang aktivitas di area gambut. PT Wana Hijau Pesaguan juga ditemukan masih memproduksi kayu dari hutan alam, bertentangan dengan komitmen nol deforestasi.

Direktur Pontianak Institute (Point) Kalbar, Martin Gilang, menyoroti bahwa regulasi pemerintah yang sering berubah dan konflik kepentingan lahan dengan masyarakat kerap menghambat tata kelola HTI yang berkelanjutan. “Peraturan yang tumpang tindih menjadi masalah bagi perusahaan untuk sepenuhnya berkomitmen pada tata kelola hutan yang baik,” ujarnya.

Martin menekankan perlunya evaluasi izin konsesi bagi perusahaan HTI yang terbukti melanggar. “Kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan sangat penting untuk memperbaiki tata kelola hutan dan mengurangi konflik lahan,” tegasnya.

Melalui diseminasi ini, Jikalahari berharap agar perusahaan HTI dapat memperkuat komitmen untuk menjalankan praktik berkelanjutan, mematuhi ketentuan pemerintah terkait perlindungan lingkungan, dan melakukan upaya restorasi di kawasan hutan Kalimantan Barat. (Ant)

Exit mobile version