PONTIANAK, borneoreview.co – Mungkin bagi yang masa kecilnya dibesarkan di kampong halaman, Pontianak sejaman denganku, lagu olok-olokan ini masih terngiang buat mereka.
Entah siapa yang mengarangnya, tapi pantun yang dinyanyikan ini, rasanya kerap membuat telinga panas saat kalah dalam permainan.
Sebaliknya juga, membuat hati bangga saat kemenangan sedang berpihak.
Masa kecil yang kaya dengan permainan di luar rumah, terkadang melibatkan banyak teman sepermainan.
Karena saat bermain, sebagian kami juga nyambi menjaga adik-adik kami yang masih kecil, tak jarang mereka pun dilibatkan, walaupun perannya hanya sebagai anak bawang.
Anak bawang maksudnya hanya meramaikan saja, tak dihitung kontribusinya dalam permainan.
Banyak permainan yang berupa permainan individual, seperti main tabak, tapok kaleng, kejar combok atau guli.
Namun, banyak pula yang dimainkan dalam kelompok, seperti: galah kepong, sepak bola, voli, bentengan, lompat tali rinso atau perang-perangan.
Permainan peperangan, baik yang menggunakan senjata buatan tangan dari bambu atau bemban maupun pistol berbunyi menggunakan patrom sepeda yang diisi batang korek api.
Ada permainan yang hanya dimainkan khusus kelompok perempuan atau lelaki dan ada pula yang campuran.
Sebagian besar permainan di luar rumah cukup melelahkan. Akibatnya, sering tak sanggup kami mengerjakan pekerjaan rumah buat sekolah esok harinya.
Padahal, bisa jadi esoknya hukuman dari guru sudah siap menanti.
Entah mengapa, di masa itu tak kudengar pelaporan orang tua ke pihak berwajib, atas tindak pendisiplinan para guru pada muridnya.
Padahal ada juga teman-temanku yang bercerita mendapatkan hukuman yang lebih keras dari yang dilaporkan para orang tua pada anaknya di masa kini.
Kurasa, jika dahulu aku melaporkan hukuman guruku pada orangtuaku akibat kelalaianku, yang ada bukannya aku yang dibela, hukuman tambahan lah yang akan kuperoleh.
Kalah dalam permainan pun bukan lah sebuah kenistaan. Olok-olokan seperti nyanyian di atas, hanya lah dianggap sebuah gurauan.
Padahal lagu itu terus dinyanyikan sepanjang perjalanan sampai ke rumah kami. Tak ada dendam dan amaran.
Paling memunculkan tekad untuk balas dendam atau revance di permainan berikutnya. Tentunya, agar bisa menyanyikan lagu serupa kepada yang kalah.
Bagi anak jaman sekarang, tentunya lagu itu mungkin tak relevan lagi. Sebab permaian mereka di luar rumah amatlah terbatas.
Tak lagi mereka rasakan, bagaimana ketiak basah bak lendir basi, pun tak perlu mencuci baju dengan sabun batangan.
Seperti yang disampaikan lagu tersebut.
“belender ketiak basik…
beli sabon duak tukuk…
balek-balek cuci bajuk…”
Penulis: Dr Pahrian Siregar