Site icon Borneo Review

Kapal Cantrang: Gurita Masalah di Laut Kalbar

Kapal Cantrang

Kapal cantrang banyak digunakan nelayan tangkap dari Jawa Tengah di perairan Kalbar. Kondisi itu membuat konflik terjadi dengan nelayan lokal. (Foto Istimewa)

PONTIANAK, borneorevew.co – Bukan tanpa sebab KM Wahana Nilam IV dan KM AJB-1 dibakar ratusan ratusan nelayan di tengah laut perairan Kubu Raya, Kalbar.

Peristiwa pembakaran kapal cantrang adalah puncak masalah yang menggurita bagi nelayan di sana. Mereka kerap bersinggungan dengan kapal-kapal berbobot di atas 80 GT asal Kabupaten Pati dan Rembang, Jawa Tengah tersebut. Penggunaan jenis alat tangkap cantrang menjadi alasan utama permasalahan tersebut.

Padahal, dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, alat tangkap jenis cantrang dilarang.

Tak hanya itu puncak kekesalan nelayan setempat, area tangkapan juga menjadi persoalan, terutama kapal-kapal yang berani masuk operasi di luar zona tangkap dan pelanggaran mil laut, seperti dilansir dari Insidepontianak.com.

Dalam Peraturan PP Nomor 11 Tahun 2023, zona PIT mencakup wilayah pengelolaan perikanan di laut lepas dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Begitu juga, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 tahun 2014 yang menetapkan 11 WPPNRI dengan enam kelompok zona penangkapan ikan melalui kebijakan PIT.

Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko bahwa kapal dengan izin yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah (Gubernur). Aturan itu mengatur wilayah penangkapan di laut sampai dengan 12 mil.

Faktanya, banyak kapal di atas 50 GT masih beroperasi di bawah 30 mil dan 12 mil laut. Padahal, zona 12 mil laut ke bawah hanya diperuntukan untuk nelayan kecil di kawasan setempat. Pemicu puncak inilah yang mendorong nelayan Kubu Raya melakukan tindak anarkis membakar dua kapal itu.

Hari ini pun saya bertemu langsung dengan salah seorang saksi pembakaran kapal yang juga Sekretaris Himpunan nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kubu Raya, Busrah Abdullah.

Ia lantas menunjuk arah koordinat 0°07’000″ Lintang Selatan – 108°38’000″ Lintang Utara, tepatnya arah Muara Jungkat, Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya.

“Itu mba di ujung sana (pembakaran, red),” kata Busrah Abdullah menunjuk ke arah laut saat kami berada di area Pelabuhan Sungai Kakap, belum lama ini.

Tampak kapal-kapal motor pencari ikan berjejer penuh di sekitaran pelabuhan. Pelabuhan Sungai Kakap, merupakan pusat pendaratan ikan terbesar di Kubu Raya berbatasan langsung dengan Laut Natuna yang masuk dalam WPP-RI 771.

Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan adalah wilayah strategis pencarian ikan dan tempat kapal kecil hingga raksasa ‘mangkal’ di area tersebut.

Wilayah ini juga, terutama area Karimata jadi saksi langsung pembakaran dua kapal nelayan luar Kalbar ini.

“Masalah ini bukan sekali dua kali terjadi dan laporan sudah tak terhitung tapi, tak pernah dicarikan solusi, terutama bagaimana nelayan Kubu Raya tidak terdampak kapal-kapal bertonase besar itu,” katanya awal Februari 2025 lalu.

Pengamanan yang dilakukan Polda Kalbar dianggap tak mampu menyelesaikan persoalan hingga tuntas.

“Kami butuh solusi dan tindakan tegas agar peristiwa tidak terulang lagi. Kita percaya aparat tapi kita juga ingin penindakan dan penegakan hukum bisa membuat efek jera. Jika tidak, pastinya ada masalah dalam sistem kita,” ujarnya.

Hal sama dikeluhkan Iwan (45) nelayan asal Kubu Raya. kapal pencari ikan luar Kalbar umumnya punya GT di atas 50 hingga 100 GT ke atas.

kapal dengan kekuatan besar itu mampu meraup ikan dan cumi berton-ton, sementara kapal nelayan lokal hanya punya kekuatan di bawah 10 GT, hanya bisa maksimal di angka 50 kg.

“Ini jomplang. Mereka punya kapal besar tapi kita kecil. Sekali tangkap mereka bisa satu ton hingga dua ton jika lama di laut. Sementara kita selama-lamanya di laut pun tak bisa mencapai tinggi. Ini yang membuat kami bertindak,” katanya.

Pembakaran itu kata Iwan, merupakan kekecewaan terhadap tata kelola perikanan yang buruk. Sekaligus langkah terakhir yang dianggap bisa membawa efek jera.

Potensi Ikan Melimpah

Tak hanya nelayan di Kabupaten Kubu Raya, persoalan yang sama juga datang dari tanah Kayong Utara, tepatnya di area yang paling diincar potensi ikannya, Kecamatan Kepulauan Karimata.

Mengutip Wikipedia, Kecamatan Kepulauan Karimata secara geografis berada di paling barat wilayah Kabupaten Kayong Utara masuk dalam gugusan pulau di Selat Karimata.

Diketahui Kecamatan Kepulauan Karimata terhubung dengan Selat Karimata. Dalam WPP-RI 771, Selat Karimata bersama Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan memiliki potensi besar. Tak heran, jika negara mengatur izinnya.

Dari situ, bisa digambarkan betapa besar manfaat bagi nelayan sekitar jika bisa memanfatkan potensi itu. Ini juga sekaligus masalah karena menarik banyak ‘pesaing’ yang ingin menangkap di jalur yang sama.
Overfishing pun rentan terjadi dan ini menimbulkan masalah untuk nelayan lokal karena hasil tangkap mereka berkurang.

Dalam data administrasi, Kepulauan Karimata memiliki 130 pulau-pulau kecil. Dari jumlah itu, ada 83 pulau terbagi secara kecamatan. Bisa dipastikan dengan area kepulauan dan pesisir, mata pencarian utama penduduk adalah nelayan.

Ada 83 pulau di kecamatan ini dengan hanya 11 pulau yang berpenghuni, diantaranya Pulau Karimata, Pulau Pelapis Tengah, Pulau Panebangan dan Pulau Serutu.

Ada tiga desa di Kecamatan Kepulauan Karimata yang paling menghasilkan banyak ikan yaitu Desa Betok Jaya, Desa Padang dan Desa Pelapis.

Tiga desa ini merupakan nelayan tradisional dengan kemampuan kapal yang kecil tak sampai 10 GT. Dari tiga desa inilah yang paling banyak terjadi kasus pencurian ikan yang massif.

Camat Kepulauan Karimata Kayong Utara, Hendra mengungkapkan, 90% pekerjaan utama warga desa adalah melaut. Umumnya, hasil tangkapan mereka melimpah, baik ikan hingga cumi.

Dengan panjang 3 meter dan lebar 2 meter, kapal-kapal nelayan ini tak mampu bersaing dengan kapal-kapal luar yang bermuatan besar.

“Paling terasa ini lima tahun ini. Tangkapan nelayan yang biasa melaut berkurang, makin tahun makin sedikit bahkan ada yang tidak dapat sama sekali,” ungkap Hendra.

nelayan di tiga desa adalah nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap berupa pancing dan memasang bubu, sejenis keramba apung untuk menjerat ikan di sejumlah titik di tepi laut.

Di musim ikan, bubu nelayan bisa menghasilkan ikan lumayan banyak sehingga bisa menghidupkan dapur dan menambah penghasilan keluarga.

Penghasilan nelayan setempat bisa dibilang pas-pasan. Banyak nelayan yang bahkan tidak bisa melaut karena kurangnya modal. Tak sedikit, nelayan yang tidak punya kapal terpaksa patungan sekedar menyewa sebuah kapal dengan pembagian hasil tangkapan.

Tak jarang juga nelayan berhutang kepada tengkulak setempat untuk modal melaut atau sekedar menambah kebutuhan keluarga. Ini membuktikan, laut menjadi sumber pendapatan utama nelayan lokal dalam memenuhi kehidupan mereka.

“Di sini nelayan lokal lebih banyak memancing, menggunakan bubu, dari sore hari hingga malam hari atau ikut toke besar. Karena mereka benar-benar tradisional, seadanya untuk mencari ikan dan menjual untuk keperluan dapur mereka,” ujarnya.

Untuk penghasilan pun jika dalam kondisi basah, istilah nelayan di sana, sehari semalam itu nelayan perorangan bisa Rp 1-2 Juta. Untuk nelayan besar di sana bisa belasan juta. Terutama cumi, Ikan Tenggiri hingga Ikan Kerapu Sunu. Tapi, jika kondisi kosong hingga dua bulan pun tak berpenghasilan.

Namun, semenjak ada kapal-kapal bertonase besar masuk ke perairan Karimata, pendapatan nelayan berkurang. Bahkan, sudah setahun ini tangkapan nelayan bisa dikatakan tak sesuai harapan.

Makin membuat marah nelayan lokal adalah, kapal-kapal luar sangat berani masuk di bawah 12 mil laut, padahal di area tiga desa di Kecamatan Kepulauan Karimata itu ada Cagar Alam Laut (CAL) yang dilindungi.

“Jadi tak heran nelayan marah kepada kapal-kapal luar yang masuk dengan cantrang mereka, karena semua di sapu. nelayan hanya dapat ampasnya saja,” kata Hendra.

Dalam tiga tahun ini, nelayan makin dibuat kesal. kapal-kapal luar yang masuk ke perairan Kepulauan Karimata berani masuk di bawah 12 mil, bahkan ada yang nekat 5 mil dari daratan.

“Mereka kan pakai cantrang, yang otomatis menyapu semua jenis ikan. Bahkan ikan kecil di dalam terumbu karang. Mirisnya, bubu-bubu yang dipasang nelayan ikut terimbas padahal untuk membuat bubu cukup mahal.
Nelayan harus merogoh kocek Rp 250.000-300.000 per bubu, sementara ada ratusan titik bubu di tepi laut yang potensi ikannya banyak,” paparnya,

Di lihat dari catatan, sejak tahun 2017 hingga tahun 2025 konflik nelayan dan kapal cantrang luar sudah sering terjadi. Puncaknya di tahun 2017, pembakaran kapal cantrang tak terhindarkan. Penangkapam kapal pun kerap terjadi hingga hari ini.

“Pembakaran pernah. Saat ini hanya penangkapan saja oleh nelayan. Mereka sudah mengerti hukum jadi sekarang melibatkan aparat hukum dan desa setempat biar tak menjadi kasus,” kata Hendra.***

Exit mobile version