Kapal Cantrang: Mereka Sebut Kapal ‘Compreng’

Kapal Cantrang

KAYONG, borneoreview.co – Tak beda jauh nasibnya dengan nelayan di Desa Padang, Kecamatan Kepulauan Karimata, Kayong Utara. Rodi (30) mengeluhkan kapal cantrang atau kapal cumi yang beroperasi di bawah 12 mil laut.

Nelayan seperti Rodi kerap berpapasan dengan kapal compreng, begitu nelayan setempat menyebutnya. Ukuran besar, perlengkapan lengkap, ABK banyak dengan lampu-lampu super terang membuat kapal jenis ini mudah dikenali, meski sekali lihat saja.

Kapal ikan tersebut biasanya bukan milik nelayan lokal, umumnya kapal luar Kalbar. Paling sering itu dari pulau Jawa. Ini dipastikan dari sejumlah penangkapan kapal yang bermasalah, salah satunya penggunaan alat tangkap cantrang dari PSDKP setempat, seperti dilansir dari Insidepontianak.com.

Rodi dan nelayan lokal yang hanya memiliki kekuatan 10 GT ke bawah tak kuasa berbuat banyak, hanya mampu berteriak ketika berpapasan hingga mengadu bolak balik kepada pihak terkait.

Banyak aktivitas merugikan yang dibuat banyak kapal compreng, terutama asal luar Kalbar yang mengadu nasib di laut yang sama.

Bukan rahasia umum jika kawasan Karimata menjadi salah satu favorit nelayan seluruh dunia, tak hanya kapal Indonesia yang tertarik, banyak kapal asing juga melirik selat tersebut.

“Kita yang rugi, tangkapan berkurang banyak. Bayangkan dengan kapal besar, tangkapan mereka pastinya besar juga. Tak menutup kemungkinan bisa terjadi overfishing, yang imbasnya ke kami nelayan di sana,” ungkap ayah dua anak ini.

Nelayan seperti Rodi sebenarnya tak terlalu mempersoalkan jika kapal besar cantrang itu menangkap di atas 30 mil laut sesuai aturan yang berlaku, tapi lain persoalan jika di bawah 12 mil laut. Terutama menjarah cumi dan ikan potensial yang jadi wilayah mereka. Karena jelas, mereka akan kalah saing.

“Sebenarnya kalau di desa kami bisa kita amankan, tapi itu yang ukuran tak terlalu besar dan mil lautnya jauh dari kami. Biasa mereka (kapal cantrang) sering merapat. Kami juga bisa itu tukar-tukaran kebutuhan, tapi itu kapal yang kami anggap tidak melanggar,” ujarnya.

Pembunuh Nelayan Lokal

Keluhan dan persoalan ini pun terjadi seiring longgarnya pengawasan laut. Akibatnya, banyak kapal cantrang lolos dan ‘santai’ mengeruk ikan hingga ke dasar kawasan. Sejak itu, banyak aduan yang masuk ke tingkat desa, terutama tiga desa Kepulauan Karimata.

Kapal cantrang dianggap pembunuh diam-diam nelayan di kawasan itu. Buktinya, tangkapan nelayan di titik-titik tertentu kosong. Belum lagi, persoalan bubu nelayan yang tersapu saat cantrang ditarik kapal.

Ini diungkap Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kalbar Hermili Jamani. Mereka (kapal cantrang) membuat banyak nelayan harus lebih ‘bermodal’ lagi jika ingin melaut dan mendapatkan hasil maksimal.

Jika sebelumnya nelayan melaut sehari bisa mendapatkan ikan, kini mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk balik modal. Baik untuk BBM, solar dan bensin maupun perbekalan hingga biaya cold storage di kapal.

“Tidak gampang sekarang, lebih sulit dari dulu. Penyebabnya itu cantrang, mereka main ke bawah 12 mil. Wilayah nelayan lokal habis dijarah dengan alat tangkap illegal itu,” paparnya.

Lebih miris lagi, kapal cantrang seolah-olah tutup mata akan keberadaan bubu apung milik nelayan yang tersebar di pinggir laut. Kerugian yang ditanggung nelayan tak terhitung.

“Modalnya saja ratusan ribu, bubu nelayan itu banyak tersebar. Bukan sedikit yang rusak, tapi mereka tak peduli. Jadi, ketika nelayan marah, siapa yang harus disalahkan,” tuturnya.

Saat ini, modal melaut bagi nelayan cukup besar. Bisa mencapai Rp 1 juta per hari. Tak semua nelayan punya uang untuk modal awal, meski ada yang cukup beruntung untuk menabung tapi ada yang terpaksa meminjam kepada toke atau pengepul dulu.

Jadi tak heran jika nilai jual ikan nelayan desa itu rendah dan nelayan pun tak bisa menjual di luar wilayah karena terikat pinjaman tersebut.

Seperti diungkap Camat Kepulauan Karimata, Kayong Utara, Hendra. Camat yang membawahi tiga desa yaitu Desa Padang, Desa Betok dan Desa Pelapis berujar, hampir semua warganya di tiga desa itu berprofesi nelayan.

“Karena mereka hidup di pulau dan pesisir. Laut adalah hidup mereka. Semua menggantungkan hidup di laut. Jika tidak ada hasil laut, mereka tidak bisa makan, karena tidak ada yang dijual,” paparnya.

Kehidupan nelayan Kepulauan Karimata tak seperti dulu, di mana ikan masih melimpah dan mudah dijala. Kini, persaingan tak sehat dengan kapal besar dan aturan yang lemah membuat potensi ikan makin berkurang.

“Ini keluhan bertahun-tahun nelayan di sini. Minjam jika kurang modal, jadi mereka tidak bisa berkembang. Uangnya di putar buat hutang, bayang hutang, makan, sekolah dan jajan anak. Itu pun masih kurang. Makin ke sini nasib mereka makin sulit,” papar Hendra.

Rusak Ekosistem Laut Kalbar

Dalam banyak jurnal cantrang memiliki daya rusak yang massif. cantrang adalah alat penangkap ikan menyerupai trawl atau pukat harimau. Tali cantrang itu dapat mencapai 6.000 meter dengan cakupan sapuan tali mencapai 292 hektar. Penarikan jaring menyebabkan terjadinya pengadukan dasar perairan, menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem bawah laut.

“Bisa dianggap daya rusaknya sangat tinggi. Semua ikan kecil hingga kedalaman dasar itu diceruk habis,” kata Pengamat Perikanan dari Politeknik Pontianak, Sadri.

Ini juga dikuatkan ahli perikanan IPB, Prof Ari Purbayanto. cantrang dianggap ‘pembunuh’ ekosistem laut yang mampu merusak dasar perairan dan terumbu karang, serta potensi penangkapan ikan-ikan kecil dan benih-benih ikan.

Tak heran keluar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 mengatur ketat soal cantrang ini.

Apalagi, di kawasan Kepulauan Karimata ada CAL (Cagar Alam Laut) Karimata. CAL Karimata adalah kawasan konservasi yang terletak di Kepulauan Karimata, Kalimantan Barat, Indonesia. Kawasan ini terdiri dari 43 pulau dan memiliki luas 190.945 Ha.

CAL Karimata terkenal dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi dan unik, serta menjadi rumah bagi beberapa spesies penyu dan dugong.

Ini juga yang terancam rusak dengan makin maraknya kapal cantrang yang beroperasi di bawah 12 mil laut, mengingat tiga desa, yaitu Desa Pelapis, Desa Betok dan Desa Padang ini dikelilingi CAL.

Menurut DKP Kalbar, CAL menjadi wewenang pusat dalam hal pemeliharaan, namun untuk pengawasan terutama aktivitas yang merusak CAL itu menjadi tugas bersama di Kalbar.

“Itu tugas kita, tapi apapun kegiatan merusak itu pelanggaran dan cantrang adalah illegal apalagi sudah merusak CAL yang ada di situ,” kata Kepala DKP Kalbar, Fran Zeno, belum lama ini.

Adanya peristiwa pembakaran kapal cantrang di 2023 lalu, pengusiran hingga unjukrasa soal cantrang harusnya tidak ada lagi. Nelayan harusnya bisa hidup layak dan berpenghasilan yang mampu membuat mereka sejahtera.

“Harusnya mereka bisa lebih baik hidupnya,” kata Direktur Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI) Kalbar, Burhanudin Abdullah.

Banyak pihak berharap, tindakan tegas dan mengikat soal cantrang ini bisa dilakukan optimal. Pembakaran, pengusiran, penangkapan hingga unjukrasa menuntut ketegasan isu ini pun bisa mereda dan membawa efek positif kepada nelayan lokal Kalbar.

Burhanudin Abdullah optimis perjuangan para nelayan untuk membuat hidupnya lebih baik tidak akan sia-sia. Persoalan cantrang tak akan berhenti didengungkan, meski tak menemukan titik terang.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *