Kapal Cantrang: Nelayan Karimata Mati Perlahan

Nelayan di Kalbar

KAYONG, borneoreview.co – Dulu, laut adalah impian dan lumbung harapan nelayan. Kehidupan generasi dimulai dari laut. Namun, kedatangan kapal-kapal cantrang merusak impian nelayan akan masa depan.

Merenggut semangat, dan daya juang para pelaut ini. Wajah-wajah keruh dan payah mereka pun makin kentara. Lesu dan hilang sinar.

Siang itu, Among (62) hanya bisa terdiam saat bubu, sejenis keramba apung miliknya teronggok karam di pinggiran laut, tak jauh dari bibir pantai.

Terlihat 12 tiang pancang kayu cerucuk sebagai penyangga bubu apung itu patah. Jaring kasa hitam terkulai menyedihkan di antara kayu dan air laut. Rumpon, yang ia tanam mengambang berserak di ombang ambing air laut.

Warga Desa Pelapis, Kecamatan Kepulauan Karimata, Kayong Utara ini hanya bediri di atas perahu motor 3 GT miliknya itu sambil melihat hasil kerja kerasnya selama Seminggu hilang. Berharap ikan terjaring, malah fakta berkata lain.

Ini bukan bubu pertama milik Among yang rusak. Ini bubu ketiga miliknya dalam beberapa bulan ini. bubu sengaja ia tanam untuk menangkap ikan di perairan dangkal tak jauh dari desanya itu.

bubu dengan panjang hampir 2 meter dan lebar 1,5 meter ini biasanya jadi andalan nelayan di sana untuk penghasilan tambahan selain melaut di area yang lebih jauh.

bubu menjadi favorit nelayan karena banyak ikan karang berkualitas yang bisa terjerat. Di Kepulauan Karimata, biasanya ikan kerapuk, terutama kerapuk sunuk (Plectropomus leopardus), ikan semerah (Lutjanus argentimaculatus), ikan ekor kuning (fusilier Caesio teres) hingga ikan baronang (Siganus sp) paling banyak masuk perangkap bubu nelayan.

Sebagai nelayan, cukup sulit untuk membuat bubu apung, bukan soal merakit tapi biaya yang dibutuhkan tak sedikit. Among dan nelayan lain harus merogoh kocek Rp250-Rp300 ribu per bubu.

Bukan hanya satu bubu yang disebar, satu nelayan bisa menebar beberapa bubu. Tak heran, jika di sepanjang pinggiran laut, banyak bubu nelayan, tak hanya nelayan Desa Pelapis, tapi desa tetangga, Desa Betok Jaya dan Desa Padang ikut memasang perangkap ikan tersebut.

Bertaruh Peluh di Laut

Menahan rasa kantuk, Among ayah lima anak ini berjalan lamban. Ia membuka pintu dapur dan mendapati sang istri sedang memasak. Sekitar pukul 03.00 WIB dini hari, biasanya sang istri bangun duluan sebelum giliran Among.

Subuh itu, sang istri memasak untuk keperluan melaut Among. Maklum, subuh itu ia akan melaut hingga pagi selalanjutnya. Satu harian ia akan berada di tengah laut. Tak sendiri, ia mengajak dua rekan nelayan lain. Patungan, biar biaya tak terlalu mahal.

Azan tak lama berkumandang. Usai berbersih diri, Among lantas bergegas salat. Pria berusia 63 tahun mengaku merasa tenang, ketika ia melaksanakan salat sebelum melaut.

“Biasanya subuh udah turun. Bisa sore atau besoknya pulang. Kita kan nelayan kecil, buat makan dan dijual hari itu sudah cukup,” katanya.

Dalam sehari melaut, Among dan nelayan kecil lainnya harus merogoh biaya dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 Juta, terutama biaya BBM yang menyita.

Sebagai nelayan yang hanya bermodal perayu sederhana bermesin 3 GT, sangat susah mendapatkan BBM harga rendah. Ia selalu mendapat biaya tinggi karena membeli harga eceran. Letak desa yang terisolasi dari pusat kota menjadi penyebab biaya BBM mahal.

Namun, karena sejak muda bekerja sebagai nelayan dan laut adalah mata pencaharian tunggal Among, ia tak terlalu mempermasalahkan itu.

Tak tentu pendapatan laut pria tua ini. Bisa puluhan hingga jutaan. Bisa hanya Rp 50 ribu per hari atau Rp 3 jutaan bahkan lebih. Ada juga pendapatannya kosong hari itu.

“Namanya melaut, tak pasti. Kalau musim ikan bisa jutaan tapi kalau musim kosong, yaa ga ada ikan. Ada pun jadilah buat jajan anak,” ujarnya.

Kerap kali ia menabung, pendapatan tak seberapa sebagai nelayan selalu ia sisihkan untuk modal membuat rumpon dan bubu apung. Cara tangkap ini membantu Among menambah cuan, terutama ketika tubuhnya tak bisa lagi melaut terlalu lama dan jauh.

“Umur segini, tidak bisa seperti dulu kagi. Ada kalanya sakit lama, perlu rehat. Jadi, bubu menjadi alternatif. Makanya kalau ada lebih dari penjualan ikan saat melaut, saya tabung ke istri,” ujarnya.

bubu jadi pendapatan lain bagi Among dan nelayan Desa Pelapis atau desa tetangganya. Tak perlu menghabiskan waktu lama tapi menguntungkan, meski biaya pun tak sedikit.

Tapi semenjak lima tahun belakangan ini, pendapatan melaut dan hasil tangkap bubu dan rumpon berkurang, malah makin ke sini makin habis. Penyebabnya, kapal cantrang yang membabat hampir semua bubu nelayan di sejumlah titik di Kepulauan Karimata.

Puluhan tahun digeluti, banyak hal sudah ia lewati. Asam garam kehidupan laut pun banyak menggurat kenangan Among dan rekan nelayan lainnya. Peluh keringat dari basah hingga kering pun jadi saksi perjuangan pria kurus ini. Tapi, ia malah bingung ketika menghadapi persoalan cantrang ini.

“Pas mau ngecek bubu, sudah berantakan. Setelah cari tahu, ternyata disapu sama jaring cantrang. Bukan sekali, berkali-kali, mengadu sudah sering. Minta keadilan pun sudah sering, tapi yaa itu berulang terus. Selama jadi nelayan, cantrang ini buat kita mati akal,” ungkapnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *