Site icon Borneo Review

Kapal Cantrang: Terlacak Tapi Tak ‘Terlihat’

Kapal Cantrang

Kapal cantrang banyak digunakan nelayan tangkap dari Jawa Tengah di perairan Kalbar. Kondisi itu membuat konflik terjadi dengan nelayan lokal. (Foto Istimewa)

PONTIANAK, borneoreview.co – Dari 19 kapal luar Kalbar, baik diamankan PSDKP hingga Polair Kalbar periode 2021-2024, hanya enam kapal yang terlacak dalam web Global Fishing Watch (GFW). Umumnya, aktivitas kapal terlacak tapi tidak terlihat secara spesifik.

Bisa dikatakan, tak terlihat jelas aktivitas kapal-kapal tersebut. Bahkan, informasi alat tangkap hingga area tangkapan yang biasanya dijabarkan, tak tergambar maksimal di web tersebut.

Mereka adalah KM Kencana Enam. kapal ini terdaftar dengan MMSI 525004082 dan callsign PNVC. Berdasarkan data GFW, kapal ini dipantau pada periode (2014–2025), seperti dilansir dari Insidepontianak.com.

Tak dijelaskan detail alat tangkap, jenis kapal hanya dikategorikan sebagai “lainnya” dalam situs tersebut.

Status tersebut menunjukkan bahwa kapal ini kemungkinan tidak teridentifikasi dalam klasifikasi perikanan umum seperti kapal penangkap ikan, kapal pemrosesan, atau kapal pengangkut.

Pemantauan terhadap KM Kencana Enam dilakukan dalam kurun waktu 15 Maret 2023 hingga 25 Februari 2024. Dalam periode ini, kapal ini tercatat melakukan 113 pelayaran, semuanya merupakan kunjungan ke pelabuhan yang tersebar di beberapa titik di Indonesia seperti Jakarta, Panjang, Merak Mas Terminal, dan Suralaya.

Tak satupun menunjukkan informasi berlayar di area 771. Namun, kapal ini berhasil ditangkap nelayan dan AL dan dipastikan menggunakan cantrang tahun 2023 lalu.

Kemudian ada KM Rajawali Laut VI. kapal ini memiliki MMSI 525800496 dan dikategorikan sebagai kapal penangkap ikan dengan jenis alat tangkap utama berupa “Squid Jigger” (alat tangkap cumi-cumi).

Namun, kapal ini ditangkap nelayan dan aparat di Kepulauan Karimata, Kayong Utara karena menggunakan cantrang bukan alat tangkap cumi seperti informasi GFW di tahun 2023.

Periode pemantauan aktivitas pemantauan kapal ini dilakukan dalam periode 2 Juni 2020 hingga 6 November 2024. Dalam kurun waktu tersebut, tercatat melakukan 2 kali kunjungan Pelabuhan Jakarta dan Dobo.

Lalu ada KM Sumber Makmur. Ini adalah kapal penangkap ikan dengan MMSI 525899999. Berdasarkan data pengawasan dari Global Fishing Watch, kapal ini dikategorikan sebagai kapal “alat tangkap” baik pada tahun 2021 maupun 2022, menunjukkan bahwa fungsinya memang ditujukan untuk aktivitas penangkapan ikan secara langsung.

Periode pemantauan tercatat berlangsung dari tanggal 11 Maret 2021 hingga 6 Agustus 2022, mencakup hamper satu setengah laut aktivitas di laut Indonesia dan sekitarnya.

Selama periode pemantauan tersebut, KM Sumber Makmur tercatat melakukan 2 pelayaran, yang menghasilkan 8 peristiwa aktivitas. Aktivitas kapal terdistribusi hanya menyebutkan di laut Indonesia tanpa keterangan spesifik. Pada 2023, kapal ini pun ditangkap di zona 771 di Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara, Kalbar dengan alat tangkap cantrang ilegal.

Lantas ada KM Wahana Nilam. kapal dengan nomor MMSI 590007123. Tak ada informasi detail tentang jenis kapal dan alat tangkap, hanya mencantumkan kata “lainnya” dalam GFW dalam periode 2022–2025.

Ini mengindikasikan bahwa kapal ini tidak tergolong dalam kategori standar seperti kapal penangkap, pemroses, atau pengangkut, melainkan memiliki fungsi lain yang tidak spesifik.

Lalu ada KM Arif Wijaya Sukses. kapal mmeiliki identitas MMSI 525601369. Dalam sistem pelacakan Global Fishing Watch (GFW), kapal ini tidak tercatat memiliki nomor IMO maupun call sign.

Berdasarkan klasifikasi GFW, kapal ini tergolong dalam kategori lainnya, baik dari segi jenis kapal maupun jenis alat tangkap, yang menunjukkan bahwa kapal ini tidak termasuk dalam jenis kapal perikanan yang umum seperti pukat cincin, rawai, atau jaring insang.

kapal ini ditangkap di tahun 2022 oleh PSDKP Pontianak di perairan Karimata karena penggunaan cantrang

Untuk aktivitas kapal, kapal ini mengunjungi 2 pelabuhan Bajomulyo pada 3 September 2024, pukul 12.40 UTC selama 11 hari, lalu 18 September 2024, pukul 04.46 UTC.

Dalam periode pemantauan dari 20 Desember 2022 hingga 18 April 2025, khususnya antara 15 Maret 2023 hingga 25 Februari 2024. kapal ini terpantau melakukan 2 pelayaran dengan total 42 peristiwa yang tercatat.

Kemudian ada KM Subur Jaya. kapal berbendera Indonesia dengan MMSI 525000053. Berdasarkan catatan dari GFW, kapal ini tidak termasuk klasifikasi standar seperti kapal penangkap, pengangkut, ataupun pemroses ikan, melainkan masuk dalam kategori yang lebih umum.

Untuk aktivitas kapal, dalam periode pemantauan antara 19 Agustus 2022 hingga 16 Maret 2023, KM Subur Jaya tercatat hanya melakukan 1 pelayaran, tetapi dengan 5 peristiwa aktivitas di lautan tanpa ada catatan lokasi penangkapan secara jelas.

Data PSDKP Pontianak menyebut KM Subur Jaya ditangkap tahun 2022 lalu karena melanggar daerah penangkapan ikan. Harusnya kapal ini menangkap di WPPRI 712.

Terakhir, KM Tirta Mangkurat Jaya. kapal berbobot 116 GT ini memiliki nomor MMSI 525700861. Berdasarkan data dari Global Fishing Watch, kapal ini diklasifikasikan sebagai kapal “lainnya” untuk jenis kapal maupun jenis alat tangkap, baik dalam periode tahun 2022–2023 maupun 2024–2025.

Artinya, kapal ini tidak terdaftar secara spesifik sebagai kapal penangkap, pengangkut, atau pemroses ikan, namun tetap tercatat aktif beroperasi di lautan.

Untuk aktivitas kapal, selama periode pemantauan dari 5 Januari 2022 hingga 4 Januari 2025, KM Tirta Mangkurat Jaya tercatat melakukan 2 pelayaran yang menghasilkan total 65 peristiwa.

Namun, data PSDKP Pontianak menyebutkan kapal ini pada tahun 2024 lalu ditangkap di perairan Karimata Kayong Utara tidak melanggar zona penangkapan dan tidak mengaktifkan transmitter VMS selama di laut. Mereka menggunakan jaring tarik berkantong dalam operasionalnya.

Dalam kurun 2022-2024, PSDKP Pontianak juga mengamankan dua kapal asing, KM Semanget asal Singapura dan KM Character asal Amerika Serikat dan hanya mendapat sanksi administrasi padahal melanggar zona tangkap dan batas laut negara.

Dalam data GFW yang dihimpun, ada banyak informasi tak terdata dalam angka di web tersebut. Bisa dikatakan, kebanyakan kapal-kapal terlacak tapi tidak benar-benar terlihat Lokasi spesifik di mana operasi akurat kapal-kapal itu. Namun, sebagain data kapal dilengkapi dengan informasi valid dari PSDKP Pontianak.

Tak Ada Pilihan

Sejumlah pengakuan anak buah kapal kenapa memilih untuk menangkap ikan di area nelayan lokal terungkap. Para ABK asal Pati ini tak punya pilihan lantaran tuntutan sang pengusaha akan target yang harus mereka capai.

Seperti diungkap Ridwan dan Ari, anak buah kapal saat sandar di Pelabuhan Sungai Kakap, Kubu Raya belum lama ini. Mereka tak punya pilihan lain selain patuh dan ikut aturan tekong, sang nahkoda kapal.

Saya pun menemui mereka di sela-sela istirahat siang. Sekitar pukul 13.21 WIB pertengahan bulan Februari lalu. Cuaca panas tampaknya tak membuat dua pemuda bimbang.

Ridwan lebih mau berkomunikasi. Dengan rokok di tangan, ia dengan suara lirih mengaku tak tau aturan perikanan. Ia hanya tahu, boleh menangkap ikan asal lengkap surat-menyuratnya.

“Kami kerja, ikut aja,” katanya.

Ridwan dan rekan-rekannya berasal dari Kabupaten Rembang, mereka singgah untuk memenuhi sejumlah pembekalan yang hampir habis. Biasanya ia melaut hingga jauh, bahkan laut Arafuru.

“Kami tidak masalah. Ada sih kapal lain yang ditangkap, kalau kami ya baik dengan nelayan sini (Kalbar),” ujarnya.

Pakar Perikanan dari Politeknik Pontianak, Sadri, memberikan gambaran gamblang mengapa kawasan 711 selalu jadi tempat nyaman untuk kapal luar Kalbar. Menurutnya, meningkatnya permintaan konsumsi ikan pastinya mendorong penangkapan lebih guna memenuhi pasar.

Tak hanya pasar lokal tapi permintaan pasar internasional, terutama ikan dengan nilai ekonomi tinggi. Apalagi kawasan Kalbar, di Selat Karimata kaya sekali sumber daya perikanan.

Sumber daya nelayan Kalbar terbatas jika dibandingkan dengan kapal besar asal Jawa yang berkapasitas dan bermodal besar. Akibat ini, tak heran jika kapal besar memilih area tangkap yang berpotensi besar yang lebih menguntungkan.

“Faktanya banyak dari mereka melanggar aturan zona tangkap yang telah ditetapkan hingga penggunaan cantrang sesuai temuan lapangan.

Ia pun menemukan kerusakan ekosistem di wilayah Pantura dan sekitarnya menjadi salah satu faktor mereka sampai ke Kalbar. Belum lagi, kordinasi antara Pemerintah Pusat dan daerah menjadi salah satu kendala hingga aturan macet dan dianggap tak terlalu memuaskan nelayan lokal.

“Ini yang harus dibenahi tata Kelola perikanan kita. Jika tidak dilakukan, persoalan ini akan terus berulang,” ujarnya.

Aturan Mangkrak

Direktur Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI) Kalbar, Burhanudin Abdullah menyoroti aturan dan penegakan hukum yang tidak berjalan maksimal, banyak hukuman mangkrak di tengah jalan. Padahal, itu penting untuk membuat efek jera bagi pelanggar aturan.

Persoalan kapal luar yang menggunakan cantrang bukan masalah baru, hampir setiap tahun terjadi insiden seperti itu. Bukan hanya persoalan cantrang tapi ketimpangan antaran kapal local yang hanya di bawah 10 GT dengan kapal Pantura di atas 80 GT.

“Kita lihat kasus Kubu Raya, pembakaran terjadi karena nelayan merasa pebiaran dilakukan. Aturan ditabrak, tidak jalan, mangkrak di tengah jalan. Belum lagi ketegasan yang tidak terjadi. Akibatnya, aturan tidak tegak maksimal,” papar Burhanudin Abdullah.

Dalam aduan nelayan, ketegasan aparat hukum dan lemahnya kordinasi lintas sektor menjadi puncak ketidakpercayaan nelayan sehingga terjadi tindak anarkis tersebut.

“Kita lihat apa sebabnya terjadi. Ternyata, nelayan kecewa dan sudah gerah karena aparat tidak berbuat ketika ada laporan masuk. Ini catatan ke depan jika tidak ingin peristiwa berulang. Tegakan aturan, jangan mangkrak dan membuat ketidakpercayaan public,” tegasnya.

LKPI Kalbar sejauh ini sudah membawahi 4.000 nelayan seluruh Kalimantan Barat. Banyak yang sudah dilakukan, salah satunya kemudahan nelayan dalam memperoleh BBM subsidi.

Persoalan hukum pun juga diungkap Sekretaris Himpunan nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kubu Raya, Busrah Abdullah.

Tindakan nelayan akibat proses hukum yang tidak berjalan dengan baik dan semenstinya. Harusnya kata Busrah, aturan dan sanksi yang diatur bisa membuat pelaku jera.

Namun, faktanya masa hukuman yang singkat dan cenderung labil membuat para nelayan mencari jalannya sendiri.

“Kalau menyoal urusan lahan dan perut, semua bisa terjadi. Jangankan bentrok, bakar atau tindakan apapun bisa terjadi karena periuk nasi di rumah terganggu. Jika urusan itu bermasalah dan tidak ada penyelesaian jelas, massa akan bergerak sendiri,” ujarnya.

Persoalan ini tak hanya sebatas perseteruan antar dua kepentingan tapi lebih kepada peran pemerintah agar aturan ditegakkan. Baik LKPI dan HNSI optimis solusi bisa terjadi jika peran masing-masing Lembaga bisa lebih maksimal.***

Exit mobile version