Kearifan Lokal Menjaga Hutan di Kalimantan Barat: Warisan Budaya yang Lindungi Alam

PONTIANAK, borneoreview.co – Kalimantan Barat dikenal sebagai salah satu provinsi dengan kawasan hutan tropis terluas di Indonesia. Namun, di tengah ancaman deforestasi akibat ekspansi perkebunan, pertambangan, dan kebakaran hutan, masyarakat adat setempat tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan melalui kearifan lokal menjaga hutan di Kalimantan Barat yang telah diwariskan turun-temurun.

Suku-suku Dayak seperti Dayak Iban, Dayak Kanayatn, dan Dayak Kayung memiliki sistem sosial dan nilai adat yang kuat dalam menjaga alam. Mereka menganggap hutan sebagai ruang sakral yang tidak hanya menopang kehidupan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya dan spiritual.

Contohnya, kearifan lokal menjaga hutan di Kalimantan Barat terlihat dalam praktik masyarakat adat di Kampung Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu. Komunitas Dayak Iban di sana telah menjaga lebih dari 9.400 hektare hutan adat selama ratusan tahun. Hutan dibagi menjadi beberapa zona: hutan larangan, hutan produksi terbatas, dan kawasan permukiman, semuanya diatur oleh hukum adat.

Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), pada tahun 2022 luas hutan alam di Kalimantan Barat sekitar 5,1 juta hektare. Namun, sekitar 500 ribu hektare hutan berada dalam tekanan akibat konversi lahan. Di sisi lain, kawasan hutan adat seperti di Sungai Utik justru tetap lestari. Studi dari Rainforest Foundation Norway menyebutkan bahwa hutan adat lebih tahan terhadap deforestasi dibandingkan hutan konsesi.

Laporan The Equator Initiative juga mencatat bahwa masyarakat Sungai Utik berhasil menyerap hingga 1,3 juta ton karbon dari atmosfer berkat kelestarian hutan yang dijaga melalui kearifan lokal menjaga hutan di Kalimantan Barat.

Tembawang – Hutan bekas ladang yang dibiarkan tumbuh kembali dan dikelola secara adat sebagai sumber pangan, obat-obatan, dan hasil hutan bukan kayu seperti rotan dan madu.

Hukum Adat – Pelarangan tebang pohon tanpa izin, sanksi adat bagi pelanggaran, serta kewajiban menanam pohon pengganti.

Ritual Adat – Seperti nyimbang, sebuah proses spiritual untuk menentukan apakah hutan atau lahan layak dibuka untuk ladang.

Agroforestri Tradisional – Kombinasi tanaman pangan dan pohon hutan untuk menjaga tutupan lahan dan menghasilkan pendapatan.

Semua ini adalah wujud nyata dari kearifan lokal menjaga hutan di Kalimantan Barat yang terbukti efektif menjaga ekosistem tanpa merusak alam.

Meskipun sudah diakui secara hukum melalui Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, hingga pertengahan 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru mengesahkan sekitar 20.000 hektare hutan adat di Kalimantan Barat. Banyak komunitas masih menunggu legalisasi, meskipun mereka telah menjaga hutan selama puluhan tahun.

Tantangan lain terhadap kearifan lokal menjaga hutan di Kalimantan Barat adalah masuknya investasi besar seperti perkebunan sawit dan tambang yang seringkali menimbulkan konflik lahan. Belum lagi modernisasi yang mengikis minat generasi muda terhadap tradisi leluhur.

Penjagaan hutan adat tidak hanya berdampak pada pelestarian lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan warga. Di Kampung Sungai Utik, hasil rotan, madu hutan, dan produk kerajinan memberi penghasilan rata-rata Rp3 juta–Rp6 juta per keluarga per bulan.

Selain itu, pengembangan ekowisata berbasis komunitas di beberapa wilayah seperti Danau Sentarum dan Kapuas Hulu juga memberi nilai tambah ekonomi, dengan tetap mempertahankan prinsip kearifan lokal menjaga hutan di Kalimantan Barat.

Kearifan lokal menjaga hutan di Kalimantan Barat merupakan solusi nyata dan terbukti dalam menghadapi krisis iklim, deforestasi, dan kerusakan lingkungan. Perlu sinergi antara masyarakat adat, pemerintah, dan masyarakat umum untuk menjaga dan memperluas praktik-praktik lokal ini. Mengakui dan memperkuat hak masyarakat adat atas hutan bukan hanya soal keadilan, tapi juga tentang menjaga masa depan bumi.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *