JAKARTA, borneoreview.co – Kearifan lokal diyakini sebagai “vaksin” ampuh untuk menangkal radikalisme dan ekstremisme di Indonesia. Keyakinan ini diperkuat oleh hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menunjukkan bahwa masyarakat masih memegang nilai-nilai kearifan lokal yang berperan efektif dalam melawan paham kekerasan.
Survei BNPT ini melibatkan diskusi dan wawancara dengan tokoh budaya, tokoh agama, akademisi, serta penyebaran kuesioner kepada 14.400 responden di 32 provinsi. Dari survei ini, tercatat bahwa kepercayaan masyarakat terhadap kearifan lokal sebagai penangkal radikalisme mencapai skor tinggi, yakni 63,60. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai lokal masih relevan dalam menjaga keharmonisan sosial.
Namun, BNPT juga menemukan tantangan dalam melaksanakan strategi ini. Tidak adanya dokumentasi yang lengkap tentang kearifan lokal membuat inventarisasi dan penyebaran nilai-nilai ini ke berbagai kelompok masyarakat menjadi sulit. Selain itu, pemahaman masyarakat tentang makna kearifan lokal juga masih terbatas, yang kadang menimbulkan kesalahpahaman, terutama terkait dengan nilai-nilai agama.
Mengatasi radikalisme dan ekstremisme membutuhkan pendekatan ganda. BNPT telah mengadopsi strategi pentahelix yang melibatkan akademisi, sektor bisnis, kelompok masyarakat, pemerintah, dan media massa dalam pencegahan radikalisme. Di tingkat daerah, BNPT bekerja sama dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang menjadi perpanjangan tangan untuk mengoptimalkan peran kearifan lokal.
Di Kalimantan Utara, khususnya Bulungan, kearifan lokal terbukti berperan menjaga perdamaian, terutama saat konflik etnis di Kalimantan Tengah pada 2001. Para tokoh masyarakat menggelar ikrar damai dan melestarikan tradisi budaya yang menghargai keberagaman etnis. Tugu Cinta Damai di Tepian Sungai Kayan pun menjadi simbol persatuan.
Kesultanan Bulungan, yang memegang semangat “Bhinneka Tunggal Ika,” sejak dahulu menjalankan nilai triwarna untuk memelihara kerukunan. Warna kuning melambangkan budaya lokal, biru untuk masyarakat pendatang, dan hitam bagi suku pedalaman. Kearifan lokal ini terus menghidupkan semangat “Tenguyun Bebatun Benuanta” atau gotong royong untuk membangun daerah.
Setiap daerah diharapkan dapat menggali dan memanfaatkan kearifan lokal sebagai strategi pencegahan radikalisme, mengingat tantangan yang dihadapi bukan hanya persoalan individu, tetapi juga ideologi yang memerlukan pendekatan yang komprehensif. (Ant)