KALIMANTAN, borneoreview.co – Penggunaan biodiesel telah lama dipromosikan sebagai solusi ramah lingkungan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, di Indonesia, khususnya Papua dan Kalimantan, peningkatan penggunaan biodiesel memicu kekhawatiran baru terkait keberlanjutan lingkungan.
Saat ini, pemerintah Indonesia menerapkan campuran biodiesel B35 (35% biodiesel dalam solar) dan berencana meningkatkannya ke B40 pada 2025. Kebijakan ini membutuhkan pasokan minyak sawit mentah (CPO) yang lebih besar. Namun, laporan Greenpeace Indonesia mengungkap bahwa penerapan B50 berpotensi menambah luas perkebunan sawit hingga 5,36 juta hektare dan menyebabkan deforestasi seluas 1,5 juta hektare hingga 2042.
Data menunjukkan dari 3,4 juta hektare hutan yang belum tersentuh dalam area konsesi sawit Indonesia, 1,7 juta hektare berada di Papua dan 1,4 juta hektare di Kalimantan. Ekspansi perkebunan sawit ini mengancam keanekaragaman hayati, ruang hidup masyarakat adat, serta fungsi hutan tropis sebagai paru-paru dunia.
Meski program biodiesel diklaim dapat menghemat devisa dan mengurangi impor bahan bakar fosil, dampak negatif terhadap lingkungan tidak dapat diabaikan. Menurut laporan Ekuatorial, peningkatan kandungan minyak sawit dalam biodiesel justru mendorong lebih banyak deforestasi.
Berbagai pihak mendesak pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan biodiesel ini dan memastikan keberlanjutan lingkungan diutamakan. Pendekatan holistik seperti peningkatan produktivitas lahan yang ada tanpa membuka hutan baru, serta pengembangan sumber energi terbarukan lain yang lebih ramah lingkungan, sangat diperlukan.
Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kebijakan energinya tidak merusak lingkungan, sembari menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan pelestarian alam. (Tim)